Ah..ah..ah..aggrr….
Aku bangun terengah-engah, menatap
langit-langit yang tampak gelap. Keringat mengucur deras membasahi seluruh
tubuhku. Kusibakkan sarung yang aku kenakan, basah. Sekali lagi ini terjadi,
aku memimpikannya. Bukan mimpi biasa, ini mimpi yang menyenangkan sekaligus
membingungkan. Aku bermimpi bersetubuh dengannya, Lathief. Entah kenapa aku
bisa bermimpi seperti itu dengannya.
Kuusap cairan lengket yang membasahi
selangkangan dan separuh perutku. Aku tak tahu secara pasti kenapa cairan ini
bisa keluar. Jariku malu-malu merasakan cairan yang melengket pekat, ini bukan
kencing. Rasanya menjijikkan.
Kenapa semua ini harus aku alami?
Kadang aku berpikir untuk membicarakan masalah seperti ini dengan ustad atau
teman dekatku. Namun aku takut kalau mereka justru mentertawakanku atau bahkan
menganggapku sakit. Aku kira lebih baik menyimpannya dan berusaha mencari tahu
sendiri. Entah bagaimana caranya.
***
Tidak terasa sudah lima bulan kami
menjalani sekolah di Aliyah, sebentar lagi kami akan menghadapi ujian akhir
semester. Walau kami agak khawatir dengan datangnya ujian, tetapi kami juga
tidak bisa menyembunyikan kegembiraan kami atas datangnya masa liburan. Namun
sepertinya bayangan kami harus kami kubur dalam-dalam.
Sore Hari setelah sholat ashar Ustad
Fajri mengumpulkan kami di kamar asrama. Sebuah ta’limat dari Kyai, pemimpin
pesantren, mengatakan bahwa kami akan dikirim ke daerah untuk membantu masyarakat
disana, serta belajar dari sumber ilmu berasal.
Aku membaca lembar yang dibagikan
Ustad Fajri. Kelihatannya kelompok kamar kami dipecah dan digabungkan secara
acak. Setiap kelompok didampingi oleh seorang ustad. Sayang seribu sayang Ustad
Fajri yang baik hati bukan pendamping kelompokku. Tertulis Ustad Sholeh yang
akan membimbing kelompokku.
Ada sedikit keraguan apakah aku bisa
membaur dengan teman-teman baruku nanti. Apalagi aku dan Lathief harus
terpisah, padahal selama ini dia banyak membantuku mengerjakan tugas dan
berbagai pekerjaan di asrama.
Kulihat Lathief yang sedang membaca
kertas pembagian kelompok. Dia terlihat antusias membaca, seolah dia bisa
membayangkan petualangan fantastis yang akan dia hadapi. Jika saja dia bisa
membaca hatiku.
***
Mataku terbelalak tajam mendengar
dentuman detik jam. Aku terbangun tidak tahu ada apa gerangan. Remang mengisi
ruang kamar, semua terlihat samar. Aku mencoba untuk tidur kembali, tetapi
tidak bisa. Ada rasa gelisah yang tidak bisa aku terjemahkan. Aku mencoba untuk
merenung dan bertanya ada apa denganku.
Pikiranku berkecamuk hebat, hanya ada
satu hal disana, Lathief. Aku meremas bantalku erat-erat, mencoba untuk meredam
pikiranku. Berkali-kali aku berkata pada diriku sendiri bahwa pikiranku itu
salah, dosa!
Aku bangkit dari tempat tidurku, aku
benar-benar tak punya kuasa atas diriku. Pelan-pelan aku berjalan mendekati
cahaya, disana Lathief tertidur. Aku duduk di samping tempat tidurnya,
mendekatkan diriku lebih dekat, memandangnya sangat dekat. Raut mukanya sangat
polos dan jujur. Selintas keinginanku untuk mengecup keningnya, tetapi ada
ketakutan luar biasa untuk melakukannya. Bagaimana jika dia terbangun nanti?
Bagaimana aku mempertanggungjawabkan perbuatanku kelak di hadapan Allah? Beribu
bayangan ketakutan melayang-layang.
Aku melihat raut muka Lathief sekali
lagi, menenangkan. Sudah sedekat ini kataku dalam hati. Aku condongkan tubuhku
berniat untuk mengecup keningnya. Aku memejamkan mataku untuk menghilangkan
rasa takutku. Namun tiba-tiba.
“Dzik, ngapain kamu?” Teman kamarku
memergokiku.
Aku kaget dan menjadi salah tingkah.
Aku tak tahu harus berbuat apa, apalagi Lathief ikut terbangun dan menyadari
keberadaanku di sampingnya.
Temanku bangkit dari tempat tidurnya
dan menghampiri aku. Dia menarik bajuku dengan sangat kuat, melemparkanku
kearah tembok. Teman-teman lain juga ikut mengelilingi dan menghakimiku.
“Kamu homo ya?” Tuduhnya.
Aku tak bisa mengelak dan diam saja.
Bulir air mata mengalir begitu saja tak bisa aku tahan. Kulihat mata mereka
satu-satu. Pandangan mereka menyiratkan betapa hina dan jalangnya diriku.
Mereka lalu ramai-ramai mengusirku
dari kamar. Sama sekali tak ada welas asih kulihat dari mata mereka. Apakah
mereka tidak pernah tahu betapa dinginnya malam hari diluar sana. Pintu kamar
ditutup dengan kasar setelah mereka mengeluarkanku.
Aku berlari kedalam gelap menuju
entah kemana. Muncul penyesalan yang amat dalam atas perbuatanku tadi. Tetapi
semua sudah terlambat. Aku buka pintu masjid dan berbaring di pojokan serambi masjid yang terlihat gelap
dan tenang. Kunaikkan sarungku sampai menutup dada, kudekap tubuhku erat-erat.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hari-hari kedepanku di pesantren.
Dalam hati aku berdoa memohon petunjuk
dari Allah SWT. Sebuah petunjuk pencerahan atas batasnya kemampuan manusia
untuk berpikir. Jalan yang terang.
***
Beberapa Hari setelahnya…..
Angkot yang aku tumpangi terhenti
oleh kemacetan pasar. Tumpukan kendaraan dan manusia lalu lalang berebut jalan
memaksa supir harus lebih bersabar menembusnya. Aku duduk bersama teman-teman
baruku, tim yang akan bekerja sama selama satu bulan kedepan. Ada rasa lega
ketika aku bertemu dengan mereka. Seolah aku bisa melupakan masalah yang baru
saja aku hadapi.
Angkot memasuki area perkampungan, aku
melihat rumah-rumah berdinding bambu dengan ilalang sebagai atapnya. Jalan
kampung belum diaspal, kadang kami harus tergoyang-goyang ketika angkot yang
kami tumpangi melintasi jalan yang tak rata.
Dari angkot aku melihat sosok yang
cukup ganjil. Seseorang yang cukup tua, rambutnya beruban samar, dandanannya
serba hitam dengan gaya pendekar jawa klasik. Tiba-tiba dia menatap tajam ke
arahku, aku segera berbalik seolah-olah tak melihatnya. Ada kengerian yang
muncul ketika dia menatapku balik. Bulu kudukku tiba-tiba berdiri seolah
tatapannya melemparkan sebuah serangan ghoib.
Kami berhenti di pelataran masjid
yang tak begitu luas, di sampingnya berdiri sebuah rumah yang cukup besar dan
lebih mewah daripada rumah-rumah yang aku lihat sebelumnya. Ustad Sholeh
menyuruh kami untuk keluar dari angkot dengan rapi dan sopan. Di depan masjid
yang cukup sederhana itu berdiri seorang tua dengan sarungnya yang cukup
istimewa untuk seumurannya. Ustad Sholeh memberikan salam dan berbincang
kepadanya sementara kami hanya mengikuti dari belakang. Beliau adalah Kyai
Jumali, seorang pemuka agama setempat yang berasal dari kampung ini.
***
Sore hari yang biasa, aku mengajar
ngaji anak-anak di masjid. Semua berjalan lancar-lancar sampai seorang bapak tua
datang dan membentak salah satu anak di masjid.
“Ngopo kowe neng kene, ayo muleh![1]”
Bentaknya.
Anak yang dipanggil terlihat
ketakutan, dia segera keluar dari masjid mengikuti bapak tua itu dari belakang.
Si bapak tua kelihatan gusar. Aku kebingungan berada di situasi itu. Kulihat
bapak itu dengan seksama, sepertinya aku pernah melihat dia sebelumnya. Aku
ingat, bapak tua itu adalah bapak yang pernah aku lihat waktu aku berada di
angkot menuju kampung ini. Siapakah dia gerangan?
Anak-anak kembali melanjutkan
aktivitasnya masing-masing seolah tidak terjadi apa-apa. Mungkin
kejadian-kejadian seperti ini cukup sering terjadi dan dianggap biasa saja. Aku
juga mencoba untuk bersikap biasa saja, melanjutkan mengajar anak-anak.
Selesai sholat maghrib aku
menghampiri teman sebaya anak yang tadi dibentak-bentak oleh pak tua itu.
“Mau tanya, anak yang dipanggil sama bapak tua
tadi namanya siapa ya?”
“Namanya Slamet, mas.”
“Bapak tua itu bapaknya Mas Slamet
ya?”
“Bukan mas, Pak tua itu Warok yang
tinggal di kampung sini. Nuwun sewu[2],
Mas Slamet itu gemblaknya.” Hadi menjelaskan.
“Apa itu warok dan gemblak?” Tanyaku
heran.
“Itu lho mas yang main reog
ponorogo.”
Aku sama sekali tidak tahu menahu apa
yang dia coba jelaskan kepadaku. Kami berpamitan karena aku tak punya hal lagi
yang ingin aku tanyakan.
Bada isya aku kembali ke rumah kyai
untuk beristirahat. Aku melihat Ustad Sholeh sedang berbincang dengan Kyai
Jumali di serambi rumah. Dengan ramah aku menyapa mereka. Aku juga mengutarakan
kebingunganku mengenai gemblak dan warog kepada mereka.
“Oiya Kyai, Ada suatu hal yang ingin
saya tanyakan, gemblak dan warok itu apa ya kyai?” Tanyaku kepada Kyai Jumali.
“Warok dan gemblak itu haram! Mereka
musyrik, kaum Nabi Luth.” Jawabnya dengan nada tinggi.
Mendengar nadanya yang tinggi aku
tidak berani melanjutkan perbincangan. Raut muka kyai yang tenang tiba-tiba
berubah. Seolah aku telah membangkitkan emosi yang sudah lama dia pendam dengan
pertanyaanku. Dan tanya itu pun masih terngiang-ngiang, entah dimana aku bisa
mencari jawabannya.
***
Hari Minggu pagi, kabut terlihat
tipis di pesawahan sekitar kampung. Aku tertatih-tatih berjalan di pematang
sawah yang sangat sempit mengindari lumpur dan rerumputan yang basah oleh
embun. Menghirup udara pagi sungguh menyenangkan, rasanya begitu membebaskan.
Dari kejauhan aku melihat sekumpulan
anak-anak yang bermain di dekat gubuk. Aku mempercepat jalanku menghampiri
mereka. Dari kejauhan aku mendengar sayup-sayup suara olokan.
“Gemblak, gemblak, gemblak…!”
Kulihat seorang anak dikepung oleh
teman-temannya sambil disoraki dan dilempari dengan lumpur sawah. Setibanya aku
disana anak-anak membubarkan dirinya masing-masing. Seorang anak mendekam
menangis tersenggut-senggut. Aku mendekati dia dan mencoba menenangkan. Ketika
dia melihat kearahku aku baru menyadari bahwa dia adalah Slamet, bocah yang aku
bicarakan beberapa hari yang lalu. Dia berdiri, lalu pergi meninggalkanku. Aku
mengejarnya.
“Mas Slamet diejek ya tadi?” Dia
terlihat diam saja. Aku mencoba untuk mengiringi kecepatan langkahnya.
“Tak ada yang salah menjadi gemblak,
mas.” Aku sontak berkata. Entah apa yang merasukiku hingga aku berkata
demikian. Slamet menghentikan langkahnya. Aku terkejut dengan reaksinya, aku
sempat khawatir jika dia marah atau sedih dengan kata-kataku.
“Kok mas bisa bilang begitu?”
Tanyanya.
“Ya tidak ada yang salah menjadi
gemblak.” Aku kebingungan untuk mencari alasan.
“Huh…. Mas kan nggak tahu apa itu
gemblak.” Slamet bernada menyepelekan.
“Bukankah itu bagian dari budaya kita
mas, kenapa kita harus rendah diri?”
“Ah siapa yang bilang. Gemblak itu
ibarat pesuruh rendahan, laki-laki murahan yang dibeli dengan harta. Masih
berpikir bisa bangga?” Pertanyaannya menohokku.
“Apakah Mas Slamet terpaksa menjadi
gemblak?” Aku bertanya mencari tahu bagaimana perasaannya.
Dia terlihat gundah dengan
pertanyaanku. Ada sesuatu kejanggalan yang dia pikirkan. Pelan-pelan dia
melanjutkan langkahnya. Sampai di gubuk pinggir sawah dia berhenti dan duduk
disana. Dia menghela nafas dan melihatku dengan seksama. Raut mukanya berubah melas
membuang jauh bayangannya ke masa silam yang pernah dia lalui.
“Mas, kedua orang tuaku itu hanya
buruh petani. Mereka hidup dari pekerjaan membantu petani yang sedang menggarap
sawahnya. Kami dulu pernah dililit hutang karena ibuku sakit-sakitan. Lalu
datanglah seorang tua dengan sebuah jalan keluar dari masalah. Orang tuaku
sangat senang dengan tawarannya. Tetapi, ada pertukaran yang harus kami berikan
kepadanya. Aku adalah harga tukar yang ditawarkan itu.”
“Pasti Mas Slamet sangat sedih waktu
itu.” Aku mencoba untuk berempati.
“Aku tidak tahu kesepakatan antara
orang tuaku dengannya. Yang aku tahu, setelah kedatangannya kerumahku. Orang
tuaku menyuruhku untuk ikut dengannya. Belajar, menuruti perintah, dan
melayaninya. Pada awalnya aku kecewa dengan keputusan orang tuaku. Tetapi aku
berpikir ulang bahwa kepergianku dari rumah bisa mengurangi beban orang tuaku.”
Raut wajahnya sedikit tenang. Dia menatapku penuh arti. Aku merangkulnya
sebagai tanda keterbukaanku kepadanya.
“Seandainya mereka tahu ya mas.”
“Apa yang mereka tahu hanyalah
olok-olokan bagiku. Mereka berkata haram dan rendah tanpa bertanya kenapa?”
“Apakah Mas Slamet berbahagia
sekarang?” Aku bertanya. Dia cukup kaget dengan pertanyaanku.
“Hmmm…memang hidupku terdengar sangat
berat dan tidak adil. Pada awalnya aku juga merasa seperti itu. Tetapi dalam
perjalanannya aku menemukan suatu hal lain yang mungkin tak akan pernah
disangka oleh orang-orang. Warokku bukan hanya guru dan pelindungku, tetapi dia
adalah orang yang aku cintai.”
“Cintai? Maksudnya?”
Dari kejauhan pak tua yang beberapa
Lathief yang lalu membentak-bentak di masjid datang menghampiri. Dia berhenti
dan menjaga jarak cukup dekat dengan kami. Mas Slamet beranjak dari tempat
duduknya, dia datang menyambutnya.
“Mas pasti tahu apa itu cinta.”
Aku tertegun diam dengan perkataannya
sampai lupa untuk mengucapkan selamat tinggal. Aku mencoba untuk memahami apa
yang ia maksudkan, tetapi bagiku hal itu sangat ganjil. Kulihat Slamet nyambut
pelukan terbuka dari bapak tua itu.. Mereka kemudian pergi, saling bergandengan
tangan, mesra sekali. Semesra itu? Lalu mereka hilang bersama kabut yang
semakin tipis.
Sejak saat itu aku tidak pernah
melihat mereka berdua. Sempat aku tanyakan mengenai Slamet kepada anak-anak
pengajian. Kata mereka Slamet tidak ada di rumahnya. Dia pergi bersama bapak
tua itu, entah kemana. Katanya mereka sedang ada pentas di luar kota.
***
Teman-teman sedang tiduran di kamar,
beristirahat setelah melakukan rutinitas yang cukup padat hari ini. Aku sedang
membaca buku di ruang tengah, menunggu sampai aku merasa kantuk. Ustad Sholeh
memanggilku, dia mengajakku berbicara di serambi rumah kyai.
“Antum tahu soal gemblak dan warok dari mana?”
Dari kerutan dahinya, kulihat Ustad Sholeh heran dengan keingintahuanku.
“Dari anak pengajian, ustad.”
“Oh gitu….. Antum penah lihat reog
ponorogo? Warok itu seniman reog.” jawab
Ustad Sholeh.
“Cuma liat di televisi, ustad.”
Jawabku singkat.
“Kalo antum liat orang yang pake baju
hitam-hitam, biasanya pake blangkon dan berjenggot, dia disebut sebagai warok.
Nah terus ada penari yang mengelilingi reog kan? Biasanya dia pake seragam
putih menunggangi jaran kepang, dia desebut sebagai gemblak.” Papar Ustad
Sholeh.
“Terus kenapa tadi Kyai Jumali marah,
malah mengharamkan warok dan gemblak ustad?” Aku bertanya heran.
Aku melihat Ustad Sholeh tersenyum
tipis. Dia mengelus rambutku, mungkin gemas mendengar pertanyaanku.
“Antum kritis juga ya? Dibalik pertunjukkan
reog, ada hubungan yang cukup dekat dan ganjil antara warok dengan gemblak.”
“Hubungan seperti apa, ustad?” Aku
menyela pembicaraan.
“Stt…sabar dulu. Ana jelaskan.
Hubungan antara antara warok dan gemblak ini terjadi di luar pertunjukkan.
Warok adalah sosok yang digambarkan sebagai orang yang bijaksana secara batin
dan spiritual. Kadang setiap warok memiliki gemblak, sosok muda yang selalu
mengikuti warok. Dzikri tahu jenis kelamin dari gemblak?” Tanya Ustad Sholeh.
“Dia laki-laki kan, ustad?” Jawabku
singkat.
“Betul, gemblak itu laki-laki.
Hubungan mereka sangat dekat, mungkin tidak terlihat seperti guru dan murid
atau bahkan ayah dan anaknya. Setahu ana hubungan mereka lebih mirip seperti
hubungan antara suami-istri.”
“Apa? Berarti seperti kaum Sodom dan
kaumnya Nabi Luth ya?” Aku terkaget.
“Hahahaha…tunggu sebentar. Dzikri
harus mendalami sejarah turunnya ayat yang menceritakan Kaum Sodom dan Nabi
Luth sebelum mengatakan hal seperti itu. Tapi yang jelas, sepemahaman ana,
Islam itu hanya mengharamkan perilaku seks-nya, bukan cinta-nya.” Ustad Sholeh
terlihat bijak dan berhati-hati dengan penjelasannya.
“Dzikri bisa pelajari lagi apa itu
reog ponorogo, warok dan gemblak selagi masih di sini. Dzikri benar-benar dekat
dengan mereka saat ini. Seperti Kyai di pesantren katakan, kita berada di
sumber ilmu berasal, masyarakat.” Ustad Sholeh menambahkan.
“Jazakallah ustad. Saya akan belajar
lagi mengenai hal itu.” Aku menundukkan kepalaku sebagai tanda hormat dan
terima kasih.
“Silahkan kalo antum mau
beristirahat, besok kita diskusi lagi.” Ustad Sholeh mempersilahkan diriku
untuk beristirahat. Aku beranjak dari tempat duduk dan pergi menuju rumah Kyai.
“Dzikri!” Panggil Ustad Sholeh
tiba-tiba.
“Ya, ustad, ada apa? Aku membalikkan
badanku menghadap kearahnya.
“Ingat ya, tak satupun Tuhan pernah
mengharamkan cinta.”
Pernyataan Ustad Sholeh membuatku
berpikir lebih jauh dan dalam. Cinta, kata yang beliau tekankan di akhir
diskusi. Aku mengaitkan antara Kaum Sodom, perilaku seks dan cinta.
Bertanya-tanya kenapa dulu Allah meng-adzab Kaum Sodom. Apakah Allah juga meng-adzab
cinta-cinta mereka? Atau?