Ketika sejarah datang kepada manusia, ia mulai membuat tangal-tanggal
sebagai pengingat. 8 Maret, yang sempat aku lupa. Ada yang abadi disana.
Aku tulis sederhana, bukan sebagai persembahan. tetapi untukku semata.
Yang hidup sendiri di kehidupanku.
Monday, 11 March 2013
Malam itu
Aku tak berlari
sendirian lagi. Serigala menemukan kawan untuk berburu. Berburu kehidupan.
Aku baru saja selesai berdiskusi
dengan kawan-kawanku, membicarakan satu hal yang fundamental bagi organisasi
yang aku ikuti saat ini, pelik sekali kelihatannya. Padahal menurutku, semua
bisa diselesaikan dengan lapang dada, asal semua mau sama rendah (setara).
Jam tanganku menunjukkan pukul 12
malam, aku buru-buru menuju kamarku. Agenda besok menanti dengan rentetannya
yang panjang. Ku buka pintu kamar, dia berbaring sambil membaca majalah. Hingga
saat ini aku belum sepenuhnya sadar, entah nyata atau mimpi. Dia benar-benar
ada di kehidupanku saat ini. Aku masuk dan berbaring di sampingnya. Kecupan
manis melayang satu-satu tepat di bibir dan pipi sampingnya.
Kami mematikan lampu dan
berbaring setara. Dia memegang tanganku sambil mendekap bantal yang ia peluk. Seketika
kurasakan hangat menjalar bersatu di kepalan kami. Seperti ada aliran listrik
yang mengalir dan di ujung tangan. Aku menoleh dan memeluknya.
“Gimana rapatnya?” Tanyanya.
“Masalah elit, aku kasihan bagi
mereka yang tak tahu apa-apa dan nantinya akan terperangkap dalamnya.” Jawabku
risau.
“Sudahlah, saatnya tidur.” Dia
mengelus-elus kepalaku.
“Eh mas, apakah ada hal yang
membuatmu tak nyaman dengannku?”
“Kenapa bertanya seperti itu?”
Tanyanya heran.
“Karena aku ingin tahu saja. I
will open my mind. Apa yang kita bicarakan, tidak akan keluar dari ranjang ini.
Selesai disini. Just wanna open with you.”
“Hmmm….” Seolah dia tak yakin.
Aku meraba wajahnya, mencoba
untuk mentiadakan ketakutannya.
“Jadi apa?” Tanyaku lagi.
“Aku itu planned person,
sedangkan kamu kan cenderung spontanous person.”
“Lha itu kan karakter kita mas,
maksudku hal-hal yang membuatmu tidak nyaman. Misalnya aku ni nggak sensitif.”
“Hmm…ya seperti yang kamu bilang.
Kamu nggak sensitif.”
“Terus?”
“Kamu tu pelupa, pikun karena
udah tua.”
“Hahaha…” Aku tertawa lepas.
Entah kapan perbincangan kami
usai malam itu. Malam begitu tenang waktu itu hinga suara alam terdengar jelas membisikkan
kedamaian malam.
Pagi harinya aku tersadar,
rangkulan tangan merangkul perutku, hangat. Dia masih disini…