Kabut tipis merayap perlahan malalui
punggung Gunung Merbabu. Cahaya fajar yang kami nikmati sesaat di batas horison
hilang tenggelam ke dalam gumpalan awan yang muncul tiba-tiba di angkasa. Aku
dan dia masih duduk di bibir puncak Kenteng Songo, puncak tertinggi gunung ini.
Samar-samar terlihat tujuh puncak lainnya diatas sini.
Tak seberapa lama rintik hujan
jatuh dan saat itu pula kami memutuskan turun dari puncak Kenteng Songo. Perlahan-lahan
kami turun melewati bongkahan batu-batu sebesar setengah truk yang terserak di seluruh
seluk penjuru gunung.
Rintik hujan semakin deras ketika
kami melintasi jembatan setan, sekitar 15 menit dari puncak gunung. Kami
mengambil mantel yang ada di dalam tas dan memakainya untuk menjaga kami tetap
kering. Ketika kami berhenti memakai mantel kulihat dia terengah-engah.
“Loe baik-baik saja kan.” Aku
Bertanya kepada dia.
“Yeah, I am oke. Jangan khawatir.”
Dia tak melihatku dan fokus berbenah di tengah hujan yang smekain deras.
“Jangan bilang kalo asthma kamu kambuh.”
“I’ve told you I am okey. Lebih
baik kita turun segera. Kabut udah naik.” Dia menatapku dengan tajam. Terlihat
sebesit kekhawatiran di dalam mukanya.
“I am sorry. But please take your
time.” Aku memegang bahu dan mencoba meyakinkannya.
Ada rasa khawatir ketika melihatnya
berjalan menuruni bongkahan batu dengan ritme yang seolah dia paksakan. Langit perlahan
berubah gelap, gumpalan awan pekat seolah tepat beberapa meter di atas kepala
kami. Angin semakin kencang membawa sentuhan dinginnya bersama air yang membus
mantel kami. Ah, kenapa alam berubah tiba-tiba seperti ini bisikku dalam hati.
Batu tua besar dengan berbagai
coretan terlihat. Kami berhasil turun sampai di Pos Watu Tulis. Kami mencoba
untuk memaksimalkan kemampuan tubuh kami melawan alam yang semakin ganas.
“Aggrrrr…..” Dia berteriak. Dia
terpeleset batuan yang menjadi licin karena air hujan. Aku segera berlari
menghampirinya.
“Loe baik-baik aja?” Tanyaku.
“Auw…kakiku!” Dia mengerang
kesakitan. Aku memegang pergelangan kakinya kirinya, menaikkan celana panjang
yang ia kenakan dan membuka celah kaos kaki untuk melihat kondisinya. Goresan
batu membuatnya pergelangannya memar, mungkin keseleo. Aku tidak berani membuka
sepatunya jika-jika ada dislokasi yang akan membuat lukanya semakin parah.
Kupetik beberapa ranting pohon
dan mengikat diantara pegelangan kakinya untuk mengurangi gerak. Sekarang aku
kebingungan, kulihat atas dan bawah tidak ada pendaki satu pun. Seingatku tadi
pagi hanya kami berdua yang naik ke puncak.
“What we gonna do now?” Tanyaku
khawatir.
“Don’t worry, I can walk. Just
help me lil bit. Give me your shoulder.” Pintanya.
Aku berusaha membantu dia
berdiri, berjalan pelan-pelan menuruni batu demi batu. Tubuhnya yang lebih
besar dariku seolah tak memberi banyak bantuan baginya untuk bersandar ketika
berjalan. Kulihat mukanya yang menahan sakit, sementara dia berusaha semaksimal
mungkin untuk bernafas seperti biasa.
Kulihat jam tanganku, sudah 30
menit kami berjalan tetapi jarak yang kami tempuh tidaklah begitu signifikan. Aku tidak tahu berapa lama kami akan tiba di pos 2 sehingga aku bisa mencari
bantuan.
Sepetak bidang tanah datar di
belakang batu besar terlihat. Di bawahnya terlihat pemandangan kota Magelang
yang megah. Dulu tempat ini menjadi
tempat favorit kami berkemah sebelum menuju puncak.
“Bisakah kita berhenti sejenak
disini?” Pintanya.
“Ya, lebih baik kita istirahat
disini dulu.”
Aku menyandarkannya pada batu,
kuambil air dari tas ransel dan menawarkannya. Air hujan belum juga reda walau
angin sudah mulai jinak. Aku segera memeriksa kondisi pergelangan kakinya. Aku
terkaget karena luka memarnya semakin parah.
“Loe nggak usah lihat-lihat, guwe
baik-baik aja kok.” Dia tersenyum kepadaku.
“Gini-gini guwe dulu pengen jadi
dokter, jadi tahulah luka kaya gini.” Jawabku ketus.
“Ah di tempat seperti ini, walau
elu dokter sekalipun apa yang loe bisa lakuin?” Balasnya.
Aku hanya bisa diam dan mulai
menyadari akan semua hal yang aku bayangkan sebelumnya hanyalah sia-sia.
Satu-satunya jalan keluar hanyalah turun dari sini menuju pos 2 dimana pendaki
lain berkemah disana. Dan semua kemungkinan hidup hanyalah masalah kami melawan
alam dan keterbatasan fisik kami.
“Sudah lama ya kita nggak kesini?”
Tanyanya.
“Iya sudah lama sekali, guwe
bahkan udah lupa betapa indahnya pemandangan kota dari sini. Sangat manusiawi
sekali.”
“Ah elu melankoli banget.”
Ejeknya.
“Guwe puitis bukan melankolis,
itu beda!” Balasku. Dalam kondisi seperti ini, dia masih saja bisa menggodaku.
“Eh loe masih ada makanan kan?
Minta dong.” Pintanya.
Aku mengeluarkan roti sobek dari
tasku. Sialnya air masuk ke dalam ransel sehingga makanannya pun ikut basah.
Dia seolah tak peduli dan melahapnya. Kulihat perutnya yang kembang-kempis
berjuang bernafas di udara yang dingin. Aku menghentikan tangannya yang memegang
roti.
“Eh, pelan-pelan. Keep your
breathing first.” Aku menyarankan.
Tanpa banyak berargumen seperti
biasa dia menuruti saranku dan mulai mengatur nafasnya kembali. Dia menepuk
bahuku seolah mencoba menenangkanku yang terlihat khawatir.
“Eh, loe sekaang dekat ma siapa?”
Tanyanya tiba-tiba.
“Maksudnya?” Tanyaku balik
memperjelas pertanyaannya.
“Ah loe pura-pura nggak ngerti.
Loe sekarang sedang dekat sama siapa?” Dia memukul bahuku.
“Banyak.” Jawabku singkat.
“Ya siapa? Dia manusia kan, bukan
iblis?”
“Namanya Kun.” Balasku singkat.
“Is he good?” Tanyanya penasaran.
“Dia baik sekali denganku, guwe
malah kadang ngerasa akward dengan kebaikannya.” Aku menunjukkan fotonya dari
dalam dompetku.
“Eh doi kelihatannya tua ya. Eh,
loe sukanya tubang[1]!”
“Setan loe!” Balasku ketus.
“Kalian sudah lama jalan?”
Tanyanya.
“Aku kenal dia setahun lebih,
tetapi deket ya baru sekitar 6 bulan ini. Eh loe masih denial?”
“Masih, guwe pengen normal.
Persetan dengan binan-binan yang gonta-ganti sana-sini.” Emosinya memuncak.
“Loe cemburu?” Tanyaku.
“Hahaha..guwe sekarang lagi deket sama cewek.”
Mimik mukanya berubah.
“Siapa namanya?”
“Namanya Kana. Dia sangat cantik,
tapi sepertinya guwe bakal susah deket sama dia. Banyak cowok yang suka sama
dia.”
“Well, u just need to do it.”
“Guwe masih mau fokus kuliah
dulu. Eh ngomong-ngomong kuliah, kaan loe wisuda?” Tanyanya dengan nada
mengejek.
“Anjing loe!”
Hujan perlahan mulai reda, awan
hitam itu pun sedikit demi sedikit menipis membuka cahaya yang terbungkam.
Cukup lama kami terdiam satu sama lain sembari mengumpulkan energi.
“Mau lanjut jalan?” Aku bertanya.
“Hmm…..guwe mau ngomong sesuatu
sama loe.”
“Apa?”
“I am sure that no one love you
so hard like I used to love you before it tortured me. But if it’s not, lucky
you. I just wanna to say another love you. Have
good day with them, your love.”
Aku tidak tahu bagaimana merespon
kata-katanya. Ada emosi bercampur gundah setelah dia mengatakan hal seperti
itu. Apa tujuannya berkata seperti itu? Bukankah semua sudah berakhir? Kataku
dalam hati. Aku mendekatkan diriku kepadanya. Kulihat matanya berkaca-kaca
menahan bulir air mata yang keluar.
“Are you oke?” Aku meraba
pipinya.
Dia mengalungkan tangannya
kepadaku dan memelukku dengan erat. Seolah hati kami saling terhubung, kurasakan
hatinya yang sedang beraduk diantara ketidakpastian. Disaat itu, aku
benar-benar merasakan bahwa aku berada disana. Di antara pohon-pohon gunung dan
batu-batuan tua. Kulepas pelukannya pelan-pelan sembari memandang mukanya yang
tulus.
“ I am sure nobody I love as much
I love you. But I think we have no same vision and I have to deal with it. I am
sure you will get what you want. Change.”
“But I don’t think I have time to
do that.” Balasnya.
“Of course you will get the time.”
Aku memotivasinya.
“You don’t understand, I mean I
wanna stuck at this time. Future is just another question that’s should be
fight. I am done with this.” Betapa kuat keyakinannya hingga aku hanya bisa
terdiam, seperti biasa.
Aku kira dibawah sana waktu terus
saja berlari dan kami berdua disini. Jika kami turun kebawah sana, sampai kapan
kami akan terus berlari. Berlari untuk apa? Bagiku tak ada keabadian selama
waktu masih
ada. Aku ingin terjebak bersamamu disini, sepertinya. Menuju
kebadian.
“Let me stay here with you, my
love.”
Pendakian Terakhir
Monday, 5 November 2012
Enam belas puisi,
Lima kilometer tempuh,
Tigaribu meter atas laut,
Sepuluh derajat Celcius,
Dan Cerita-cerita yang terapal
indah,
Kini mereka ulang,
Bermaksud melupa, tapi...
Untuk seribu tahun tak akan
lupa,
Seperti ketika terbangun tengah
malam,
Merasakan benci dan sepi,
Untuk seribu tahun,
Aku rela mati tua,
Demi melihat sebidang tanah
datar dipinggir lereng,
Batu besar, pohon pinus kerdil,
pemandangan kota malam,
Dan selanjutnya yang disebut
keabadian,
Hatiku bersemayam disana,
Menunggu abuku terurai kelak,