Friday, 12 June 2015

Selfie Et Galleria


www.idigitaltimes.com

Sebut aku Jaka, seorang pemuda desa yang berkuliah di salah satu perguruan tinggi negri di Kota Pelajar, Yogyakarta. Sebagai seorang penikmat karya seni (baca: high-art!), aku memiliki impian untuk selfie dengan karya seni seniman keren yang dipamerkan Seni Jogja. Kenapa? Bukankah setiap penikmat seni dan orang “femes” melakukan hal itu. Jika tahun lalu aku belum bisa selfie karena “hangphone”-ku belum memadai untuk selfie. Tahun 2015 ini, impianku segera menjadi nyata. Sebuah smartphone buatan Cina hasil dari uang beasiswa aku tumbalkan untuk mewujudkan impianku itu. Betapa membahagiakan.

Hari yang ditunggu-tunggu pun telah tiba. Halaman depan TBY penuh sesak, manusia berjejal-jejal menunggu pembukaan. Ada petruk yang menjelma menjadi perempuan manis dengan baju-baju ala-ala kombinasi jawa dan modern. Ada pula musik top 40 yang dicampur dengan racikan DJ. Sangat populer sekali gaya-gayanya. Memang benar, kali ini Seni Jogja sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Sesuai dengan tema yang digiringnya “Infinity flux (perubahan terus menerus)”. Aku begitu sangat antusias menemukan kebaruan dan kekerenan yang disuguhkan acara ini. 

Tapi, pembukaan pameran terlalu lama. Baru jam 9 malam ratusan penikmat high-art diperbolehkan memasuki ruang gallery yang sangat prestise itu. Gelombang manusia-manusia terhuyun-huyun, berdesakan, dan aku pun tak mau kalah menjadi yang pertama untuk masuk dan selfie. Terdengar saut teriakan amarah, beberapa orang berkelahi di depan pintu masuk. Baru kali ini aku melihat penikmat seni bertarung umpatan dan fisik di sebuah ajang seni macam ini. Mereka sangat ndhesit! Duh!

Setelah menahan nafas beberapa kali untuk menyelinap kesana-kemari, aku berhasil dekat dengan karya seni seorang seniman tersohor di Indonesia. Ah, sial mereka datang duluan. Kilat flash saling menyambar. Kurogoh sakuku untuk mengambil smartphoneku, kupegang erat-erat agar tak jatuh terhempas desakan. Kulihat tubuh mungilnya yang dipenuhi dengan layar sentuh mulus. Kutengok kanan-kiri, tiba-tiba aku merasa minder untuk mengeluarkan smartphoneku. Merk-merk terkenal seperti i-phone, samsung, LG, terpegang gagah mengudara dengan cahaya blitz dasyat bagai petir yang terpendar dari tubuh-tubuh mereka yang canggih.  

Aku mengurungkan niatanku untuk selfie di depan karya high-art dari seniman tersohor seantero Indonesia. Mungkin aku harus mencari waktu yang lebih sepi agar bisa lebih leluasa untuk selfie dan aku tak malu-malu untuk mengeluarkan smartphone versi proletariatku. Aku pun bergegas keluar untuk mencari lega dari udara malam.

Malam terasa sangat sendu, seharusnya ini adalah malam dimana impianku terwujud.Tetapi apa daya, toh masih ada besok. Papan informasi Seni Jogja menjadi tujuanku untuk mencari tahu keseluruhan acara tersebut. Betapa kaget diriku ketika sebuah angka dengan simbol rupiah terlihat jelas dengan ukuran font yang lebih besar dari huruf-huruf sekitarnya dan dicetak bold. Lima puluh ribu adalah tumbal berikutnya yang harus kukorbankan.

Tetes air mata tetiba meluncur mengiris pipiku. Membelah pecah impianku. Apakah Seni Jogja memang bukan untukku? Aku pasrah, menyerah untuk populer.

Mereka terlalu jauh.