Adakah
seorang laki laki yang mengatakan lelah menjadi seorang “laki-laki”?
Aku sempat bertanya kepada seorang teman yang merasa dirinya
laki-laki. Dia malah bertanya balik, apakah aku ingin menjadi seorang
waria? Aku tercekat.
Tidak
ada yang salah dengan pertanyaanku. Pertanyaanku muncul karena
pengalaman pribadi yang menanggung beban menjadi laki-laki. Laki-laki
yang harus terlihat kuat, maskulin, bisa diandalkan, menopang
kehidupan keluarga, memiliki anak dan banyak hal lain yang tak bisa
tertuliskan. Bayangkan semua peran itu harus dilakukan oleh seorang
manusia biasa? Hebatnya kebanyakan manusia berpenis melakukan hal itu
dengan cukup sukses. Setidaknya hal itu yang aku lihat dari luar
dengan kacamata sebagai manusia yang juga berpenis. Aku tidak
menyerah menanyakan pertanyaan itu kepada kawan-kawan yang aku anggap
sebagai laki-laki. Akhirnya aku bertemu dengan manusia berpenis yang
mengatakan lelah menjadi laki-laki.
Fakta
bahwa laki-laki dianggap lebih tinggi kedudukannya di dalam budaya
ternyata tidak semata memberikan sebuah hak khusus dan kemudahan.
Dibalik semua itu terdapat sebuah peran yang harus ditanggung sejak
seseorang dinyatakan sebagai seorang laki-laki. Seperti yang aku
sebutkan di atas, laki-laki diasosiasikan dengan nilai dan norma
tertentu yang jelas membedakannya dengan gender lain, perempuan.
Kelelahan
kawan-kawanku berasal dari peran yang harus diperankannya. Gender
adalah suatu hal yang diperankan. Bayangkan sebuah pertunjukkan di
mana ada banyak tokoh dan setiap tokoh memerankan karakternya
masing-masing. Karakter adalah sebuah perumpamaan sederhana dari
gender yang sedang diperankan. Di dalam budaya populer hanya mengenal
dua karakter, laki-laki dan perempuan. Masing-masing gender diberikan
sebuah model yang harus diperankan dari mulai kepercayaan, sikap
sampai penampilan. Lalu, bagaimana jika seseorang tidak memerankan
peran tersebut? Dari itulah obrolan kami mengenai lelah ini berawal.
Orang-orang
yang tidak bisa memerankan dengan baik akan kehilangan label “sejati”
dalam dirinya. Ia tak bisa dianggap laki-laki seutuhnya. Ia cacat,
menyimpang, atau berpenyakit. Manusia berpenis mungkin tidak pernah
bermaksud untuk memerankan perannya dengan buruk. Namun banyak faktor
yang menyebabkan dirinya tidak bisa memerankan perannya dengan baik
atau ada orang-orang yang sengaja memilih untuk tidak memerankannya.
Jika
budaya itu tumbuh sebagaimana manusianya tumbuh. Pemikiran soal
gender pun harus tumbuh. Mungkin sudah saatnya untuk beranjak untuk
mengatakan tidak ingin lelah lagi menjadi laki-laki karena ada
pilihan gender lain bagi para manusia berpenis. Bisa jadi konsep
laki-laki ini didekonstruksi menjadi laki-laki baru. Tetapi aku
meragukan jika konsep ini akan berhasil. Selama masih ada laki-laki
yang diidentikkan dengan kelamin, maka konsep itu masih terpaku pada
pola biner dan patriarkhi yang berlaku umum saat ini. Gender akan
tetap memiliki kelas, walau bisa jadi konsep laki-laki akan lebih
ramah terhadap perempuan. Namun, menurutku naif rasanya jika kita
tahu bahwa kita memiliki opsi lain untuk tidak memilih dua pilihan
tersebut.
Mari
kita bayangkan sebuah dunia dimana kita tidak perlu memikirkan
tentang siapa gender kita. Kita bisa memerankan peran kita
masing-masing sesuai dengan yang kita inginkan. Apa yang akan
terjadi? Mungkin tidak ada lagi yang menanggung beban gender dan
lelah karenaya. Tidak ada lagi kekerasan berbasis gender. Ini bukan
ide euforis. Pelan-pelan ruang-ruang alternatif yang tidak
mempedulikan gender mulai hidup. Sekarang pilihan kita untuk tetap
menerima menjadi laki-laki atau membuat pilihan lain dan melawan.
Menjadi sesuatu yang baru. Mungkin Queer.