Tuesday, 26 February 2019

Menjadi Laki-Laki?


Adakah seorang laki laki yang mengatakan lelah menjadi seorang “laki-laki”? Aku sempat bertanya kepada seorang teman yang merasa dirinya laki-laki. Dia malah bertanya balik, apakah aku ingin menjadi seorang waria? Aku tercekat.

Tidak ada yang salah dengan pertanyaanku. Pertanyaanku muncul karena pengalaman pribadi yang menanggung beban menjadi laki-laki. Laki-laki yang harus terlihat kuat, maskulin, bisa diandalkan, menopang kehidupan keluarga, memiliki anak dan banyak hal lain yang tak bisa tertuliskan. Bayangkan semua peran itu harus dilakukan oleh seorang manusia biasa? Hebatnya kebanyakan manusia berpenis melakukan hal itu dengan cukup sukses. Setidaknya hal itu yang aku lihat dari luar dengan kacamata sebagai manusia yang juga berpenis. Aku tidak menyerah menanyakan pertanyaan itu kepada kawan-kawan yang aku anggap sebagai laki-laki. Akhirnya aku bertemu dengan manusia berpenis yang mengatakan lelah menjadi laki-laki. 

Fakta bahwa laki-laki dianggap lebih tinggi kedudukannya di dalam budaya ternyata tidak semata memberikan sebuah hak khusus dan kemudahan. Dibalik semua itu terdapat sebuah peran yang harus ditanggung sejak seseorang dinyatakan sebagai seorang laki-laki. Seperti yang aku sebutkan di atas, laki-laki diasosiasikan dengan nilai dan norma tertentu yang jelas membedakannya dengan gender lain, perempuan.

Kelelahan kawan-kawanku berasal dari peran yang harus diperankannya. Gender adalah suatu hal yang diperankan. Bayangkan sebuah pertunjukkan di mana ada banyak tokoh dan setiap tokoh memerankan karakternya masing-masing. Karakter adalah sebuah perumpamaan sederhana dari gender yang sedang diperankan. Di dalam budaya populer hanya mengenal dua karakter, laki-laki dan perempuan. Masing-masing gender diberikan sebuah model yang harus diperankan dari mulai kepercayaan, sikap sampai penampilan. Lalu, bagaimana jika seseorang tidak memerankan peran tersebut? Dari itulah obrolan kami mengenai lelah ini berawal.

Orang-orang yang tidak bisa memerankan dengan baik akan kehilangan label “sejati” dalam dirinya. Ia tak bisa dianggap laki-laki seutuhnya. Ia cacat, menyimpang, atau berpenyakit. Manusia berpenis mungkin tidak pernah bermaksud untuk memerankan perannya dengan buruk. Namun banyak faktor yang menyebabkan dirinya tidak bisa memerankan perannya dengan baik atau ada orang-orang yang sengaja memilih untuk tidak memerankannya.

Jika budaya itu tumbuh sebagaimana manusianya tumbuh. Pemikiran soal gender pun harus tumbuh. Mungkin sudah saatnya untuk beranjak untuk mengatakan tidak ingin lelah lagi menjadi laki-laki karena ada pilihan gender lain bagi para manusia berpenis. Bisa jadi konsep laki-laki ini didekonstruksi menjadi laki-laki baru. Tetapi aku meragukan jika konsep ini akan berhasil. Selama masih ada laki-laki yang diidentikkan dengan kelamin, maka konsep itu masih terpaku pada pola biner dan patriarkhi yang berlaku umum saat ini. Gender akan tetap memiliki kelas, walau bisa jadi konsep laki-laki akan lebih ramah terhadap perempuan. Namun, menurutku naif rasanya jika kita tahu bahwa kita memiliki opsi lain untuk tidak memilih dua pilihan tersebut.

Mari kita bayangkan sebuah dunia dimana kita tidak perlu memikirkan tentang siapa gender kita. Kita bisa memerankan peran kita masing-masing sesuai dengan yang kita inginkan. Apa yang akan terjadi? Mungkin tidak ada lagi yang menanggung beban gender dan lelah karenaya. Tidak ada lagi kekerasan berbasis gender. Ini bukan ide euforis. Pelan-pelan ruang-ruang alternatif yang tidak mempedulikan gender mulai hidup. Sekarang pilihan kita untuk tetap menerima menjadi laki-laki atau membuat pilihan lain dan melawan. Menjadi sesuatu yang baru. Mungkin Queer.

Tuesday, 19 February 2019

LSMisasi menciptakan elit aktivis


Beberapa hari yang lalu aku membaca sebuah artikel yang dibuat oleh Arundhati Roy. Sebagai seseorang yang bekerja di sebuah LSM dan tercatat sebagai anggota aktif sebuah CBO. Rasanya seperti tercambuk-cambuk, sakit tetapi ini bukan saatnya untuk menyangkal. Hal itu yang membuatku memutuskan untuk menulis pengalamanku di dalam gerakan sebagai sebuah refleksi. 

Beberapa tahun yang lalu aku bergabung sebagai salah satu CBO (Community Based Organization) di Yogyakarta, Aku begitu bersemangat, seolah mendapatkan sebuah pencerahan. Pencerahan itu adalah kesadaran baru untuk melihat suatu permasalahan. Suatu hal yang sebelumnya aku anggap lumrah terjadi padahal termasuk kekerasan dan melanggar hak asasi manusia, misalnya razia Satpol PP, kekerasan domestik dsb.

Bermulai dari bagaimana aku melihat masalah dengan perspektif yang berbeda. Aku pun mulai sadar betapa pentingnya berorganisasi dan terlibat aktif dalam CBO. Setidaknya hal itu yang aku percayai waktu itu.

Namun semakin dalam aku terlibat di dalam CBO dan jaringannya, timbul sebuah keraguan. Pandanganku mulai goyah. Ada sebuah kultur di dalam dunia aktivis yang membuatku tidak simpati. Banyak aktivis yang memiliki jabatan penting di organisasi mulai pergi mengikuti acara nasional atau bahkan ke luar negeri hingga lupa berkomunitas. Anehnya banyak anggota komunitas justru berlomba-lomba untuk mengikuti jejak sang aktivis. Mereka bergantian mengantri untuk dikirim mewakili organisasi. Ketika mereka dikirim mewakili organisasi, akan ada uang perdiem. Sejenis tunjangan yang jumlahnya cukup besar jika dibandingkan dengan gaji bulanan seorang aktivis di CBO. Aku tahu, CBO tak mampu memberikan kebutuhan materi yang layak bagi aktivis-aktivis ini. Tetapi semakin lama aku merasa, ada uang yang sedang digali bersama-sama di dalam CBO. Aku tidak ingin menghakimi siatuasi ini dengan benar atau salah. Masalah-masalah seperti ini tidak berdiri tunggal. Tetapi gerakan tidak bisa berakhir seperti ini. Masih ada ruang refleksi, sebagaimana aku memutuskan untuk menulis ini semua.

Pertama, tercipta jurang kekuasaan yang tinggi antara aktivis dan komunitas. Aku sebenarnya sangat benci menggunakan dua kata tersebut untuk menggambarkan sekat yang telah terjadi. Seharusnya, siapapun yang bergabung di dalam CBO adalah aktivis bukan? Aku akan mengambil sebuah pengalaman yang pernah terjadi. Suatu hari seorang aktivis pernah mereka mengatakan bahwa komunitas tidak tahu tentang keamanan. Aku sengaja mengambil contoh ini karena bagiku persoalan keamanan sangat dilematis. Tetapi pernyataan seorang aktivis tadi yang mengatakan bahwa komunitas tidak tahu apa-apa tentang keamanan sebenarnya telah menempatkan komunitas sebagai orang bodoh dan sebatas obyek program. Bukan hanya itu saja, aktivis mulai menciptakan nilai-nilai baru yang sangat biner, benar-salah, di tengah situasi yang sama sekali tidak ideal di komunitas. Mereka terlihat benar dengan teori yang diagung-agungkan. Sementara komunitas yang besar dengan kultur lokal mereka, terlihat sebagai kelompok yang perlu dikoreksi seketika.

Kedua, Aktivis yang kompromis. Kebanyakan CBO mendapatkan pendanaan dari lembaga funding lokal dan internasional. Aktivis menyusun program sesuai dengan tema-tema yang diajukan oleh lembaga funding. Padahal belum tentu komunitas memiliki kebutuhan atau masalah yang sesuai, atau program itu tidak menyelesaikan masalah akar. Situasi ini sangat dilematis, aktivis berada diantara menghidupi CBO-nya tempat dia mencari penghidupan dan kepentingan komunitas.

Belum lama ini aku mendapatkan informasi jika salah satu syarat untuk menerima funding adalah dengan berkolaborasi dengan stakeholder (pemerintah). Aku cukup kaget permintaan dari lembaga funding ini. Bagaimana CBO bisa berkolaborasi dengan pemerintah jika pemerintah sendiri diskriminatif? Aktivis kali ini menjadi jembatan kompromi antara komunitas dan pemerintah. Secara tidak langsung program kolaborasi seperti ini tidak akan memecahkan akar masalah dan justru meredam gejolak perubahan di tengah komunitas.

Ketiga, isu kesejahteraan aktivis. Sejak munculnya pemikiran bahwa aktivis adalah roda utama gerakan. Maka wacana kesejahteraan aktivis (wellness) dimunculkan. Seperti yang sempat aku katakan di atas bahwa CBO memiliki batasan untuk memenuhi kesejahteraan aktivis. Mengkritisi hal ini seperti seseorang buta yang ngotot memperdebatkan keindahan visual. Walau aku tahu hal ini sangat bisa diperdebatkan. Menurutku seseorang yang bergabung dalam gerakan seharusnya tahu akan situasi dan pilihan hidupnya. Namun yang aku lihat, aktivis ini pelan-pelan merangkak naik kelas dan lupa kenapa perlu berjuang. Atau perjuangan diibaratkan sebuah kerja yang harus ditukar dengan imbalan yang layak.

Situasi-situasi seperti ini telah menciptakan kelas dalam komunitas. Mereka adalah aktivis yang dengan situasinya berada terpisah. Menurutku perjuangan dengan model aktivis seperti ini adalah perjuangan semu yang tak akan pernah meraih akar masalah. Perjuangan seharusnya dilakukan bersama-sama tanpa menonjolkan kelompok tertentu (elit). Aku tidak pernah suka sebuah gerakan selalu menonjolkan sosok tertentu. Akhirnya, kita bisa lihat bagaimana tokoh yang ditonjolkan naik semakin menjulang bergabung dengan kekuasan.

Tulisan ini bukan bermaksud mengerdilkan aktivis lain yang dengan tulus berjuang untuk komunitas. Aku yakin mereka masih ada dan aku selalu hormat dengan mereka. Tulisan ini aku buat sebagai sebuah titik kritis atas situasi gerakan supaya kita bisa berpikir kembali, untuk apa kita bergerak bersama komunitas selama ini? Jangan-jangan kita telah lupa mimpi perjuangan.