Seorang bijak berkata bahwa lebih baik membuat
lapangan pekerjaan daripada mencari sebuah pekerjaan untuk diri sendiri. Si
bijak ada benarnya melihat saat ini banyak orang Indonesia berpangku tangan tak
berdaya ditengah persaingan sengit pencarian pekerjaan. Tetapi pepatah sebatas
keindahan merangkai kata, nyatanya memang susah untuk dilakukan.
Dengan
tidak mengesampingkan batas masa studiku yang semakin berkurang, aku
memberanikan diri untuk keluar dari jalur umum seorang mahasiswa dan bersama
seorang kawan merintis sebuah perusahaan di bidang desain grafis. Sampai saat
ini perusahaan sudah mencapai umur 4 bulan, satu pijakan menatap masa depan
yang benar-benar tidak pasti.
Selama
empat bulan ini aku memajang keoptimisan tinggi akan sukses dimasa depan. Aku
bekerja sekeras mungkin untuk meraih target-target yang telah aku canangkan.
Tetapi semakin jauh aku melangkah, lama-kelamaan aku semakin menyadari bahwa
langkahku semakin menjauhkanku dari sisi kemanusiaan, aku pun sering tidak
bahagia.
Sebuah Imajinasi
dan Pembacaan “Robert Owen”
Dari
sekian paham sosialisme yang pernah pahami. Aku terpikat dengan seorang
wirausaha bernama Robert Owen. Dia adalah pemilik sebuah pabrik penggilingan di
daerah Glasgow, Skotlandia. Dia adalah seorang manajer berkepala dingin yang
mampu menyeimbangkan sisi kepentingan perusahaan dan kontribusi perusahaan
terhadap masyarakat sekitar.
Selain
dikenal sebagai pebisnis Owen ia dikenal sebagai seorang filosof. Ia
mendasarkan prinsip berpikirnya pada tiga hal:
- No one was responsible
for his will and his own actions because his whole character is formed
independently of himself. People are products of their heredity and
environment.
- All religions are based
on the same ridiculous imagination.
- support for the putting out
system instead of the factory system
Latar belakang dirinya yang memangku jabatan manager sebagai
manajer yang berposisi diantara deretan stakeholder memberikan garis tegas
lahirnya pemikirannya. Aku cukup sepakat dengan pemikiran yang ia lahirkan.
Sebuah
tindakan individu dalam konteks sosial masyarakat mungkin saja berkaitan dengan
faktor-faktor diluar individu sehingga tindakannya adalah tanggung jawab
sosial, bukan hanya tanggung jawab dirinya sendiri.
Sebagian
besar pekerja pabriknya adalah orang-orang miskin atau terlantar yang kurang
berpendidikan rendah. Orang-orang yang termajinalkan tak berdaya seperti mereka
bukanlah manusia yang harus dibuang. Justru mereka harus diberdayakan karena
mereka berada di dalam lingkungan yang sama dengan perusahaan dan lingkungan
Owen hidup. Dia percaya bahwa perusahaan mempunyai kewajiban untuk meningkatkan
kualitas sumber daya pekerja, sehingga ia memberikan memiliki sebuah divisi
pengembangan sumberdaya manusia di dalam perusahannya. Owen tidak hanya peduli
dengan nasib pekerjanya untuk “present need” tetapi juga masa depan pekerjanya.
Owen
juga dikenal sebagai orang yang ramah dengan pekerjanya. Sebuah hubungan
manusiawi antar sesame manusia, bukan sebuah hubungan palsu antara manager
dengan bawahan yang sangat mekanik dan kaku.
Perusahaan
yang berada dibawah manajemen Owen bisa dikatakan adalah usaha untuk
memakmurkan seluruh stakeholder perusahaan, bukan hanya pemilik modal saja. Hal
itulah yang membuatku terkagum-kagum dengan dia.
Batas Realitas
Membaca
sejarah manusia besar sangatlah indah dan menarik bagiku. Hal sama terjadi
ketika aku membaca sejarah Robert Owen yang dikenal sebagai penemu ide “koperasi”.
Ia selalu memotivasiku dan menyadarkanku akan posisiku sebagai manusia sosial.
Kini,
sudah empat bulan lebih aku duduk dikursi manager. Sedikit demi sedikit aku
menemukan serpihan kenyataan yang ternyata sangat kontradiktif dengan
teori-teori yang aku pelajari. Sebuah pemikiran ternyata memiliki batas yang
tegas dengan realitas.
Empat
bulan adalah masa-masa yang sulit bagi perusahaan karena harus membenahi diri
terlebih dahulu. Perusahaan juga harus “survive” dengan batasan dan keadaan
yang ada. Dalam keadaan ini sisi profitibilitas menjadi sangat penting. Perusahaan
harus membuka seleber-lebarnya penjualan dan menekan biaya yang ada, bahkan
biaya yang terkait dengan pekerja seperti gaji, tunjangan dll.
Mungkin
pekerja hanya menerima apa yang mereka dapat walau kadang mereka sedikit
mengeluh. Tetapi bagaimana dengan seorang manajer yang bermimpi untuk
meneruskan perjuangan Robert Owen? Ia harus rela mendengarkan keluhan dan
kendala pekerjanya. Ia juga harus segera membuat tindakan sebagai respon atas
masalah yang timbul. Walau Seorang manajer memiliki kekuatan hukum, kadang sisi
manusianya keluar dan berkata lain. Dilema pun tidak bisa dihindari akan peran
seorang manajer sebagai manusia dan pemimpin perusahaan.
Kadang
saya diam untuk menunggu sebuah reaksi, tetapi lama kelamaan malah berujung
dalam sikap yang apatis bagiku dan karyawan. Ide memang luar biasa, sangat
indah, mewujudkan sebuah ide ternyata adalah hal yang lebih besar lagi.
No comments:
Post a Comment