Betapa indah
sore itu dengan langit jingga yang membentang sejauh tatapan horison. Seorang
pemuda merebah di bawah pohon di tengah lautan rumput liar yang menari liar
ditiup angin. Dengan celana jeans yang ia potong setengah paha dan kaos putih
polos membuatnya terlihat seperti bohemian. Sebotol kaleng bir bintang
tergeletak di sampingnya. Ia berkali-kali meraih bir itu dan menegaknya penuh
nikmat, seolah itulah minuman terakhir yang akan dia minum dalam hidupnya.
Matanya tak
beralih dari lembaran demi lembaran buku yang dia pegang dengan tangan
kanannya. Dia telah ke dalam realitas yang disajikan oleh rangkaian kata-kata
yang terukit indah. Namun ketenangannya tiba-tiba terusik oleh sebuah panggilan
histeris dari adiknya yang lari kegirangan.
Remaja itu
terlihat necis dengan setelah baju panel dan celana jeans hitamnya. Ia turut
merebah di samping kakaknya yang perhatiannya teralih kepadanya. Remaja itu
terengah-engah karena berlari, terlihat semangat membara dari raut mukanya yang
menyala.
“Kak, kak, apakah
dunia itu memang seindah ini?” Tanyanya sambil terengah-engah. Pemuda itu tak
membalas, hanya tersenyum tipis mengamati.
“Aku bertemu
dengan seorang yang membuat mataku terbuka dengan semua warna dunia.
Bersamanya, dunia ini adalah singgasana kami. Alam bahkan turut menari bersama
kami yang kegirangan akan cinta. Tahukah betapa bahagianya itu kak?” Wajah
riangnya semakin menjadi. Pemuda yang merebah di sampingnya berbalik kepada
bukunya.
“Eros telah
menyemai hati-hati kami. Aku menyerahkan jiwaku ini karena ku tak lagi memiliki
kuasa atasnya. Itu semua karena cinta. Cinta yang telah melahirkanku kembali
menjadi orang yang jatuh cinta.”
Remaja itu
seolah tak peduli ketika pemuda itu kembali berbalik ke dalam bukunya. Ia terus
saja berceloteh, meletuk-letuk, seolah ia adalah manusia yang paling beruntung
di dunia ini. Cahaya mulai redup seiring matahari terbelah separuh oleh bumi.
***
Musim kemarau
masih berlangsung lebih dari tiga bulan lamanya. Rumput-rumput liar perlahan
mulai menguning kekeringan. Pohon tua yang berdiri sendiri di tengah lautan
rerumputan tak kuasa mempertahankan dedaunan yang berguguran oleh masa.
Remaja itu
kembali lagi, kali ini berjalan dengan gusar. Dia menendang batu, kaleng atau
apapun yang berada di sekitarnya. Wajahnya terlihat murung cenderung kesal. Dia
menjatuhkan tubuhnya di samping kakaknya yang sedang menggoreskan pena di buku
tulisnya. Kakaknya menyadari keberadaanya dan menutup buku tulisnya.
“Persetan dengan
cinta, ia melukaiku sangat kejam. Apakah kakak tahu cinta itu hanya bualan
novel-novel saja? Semua itu hanya sesaat, tak ada yang abadi. Lihat saja kak,
belum genap setengah tahun hubungan kami. Dia sudah jengah dengan hubungan kami
dan mulai mencari kekasih lain.” Matanya berkaca-kaca. Kesedihan mendalam
menyelimutinya.
“Aku tidak
mempercayai cinta lagi, ia adalah sebuah kenihilan ilusi. Ia adalah samaran dari
nafsu. Aku baru tersadar bahwa bagi eros, cinta hanyalah topeng nafsu. Dia
hanya menginginkan tubuhku, bukan jiwaku.” Dia sesenggukan. Tak berhenti, dia
melanjutkan.
“Hatiku remuk,
hari-hariku hancur karenanya. Tega-teganya dia berbuat ini kepadaku.” Air
matanya berderas deras. Kakaknya memeluknya erat menenangkan.
***
Beberapa tahun
setelah itu, tak banyak yang berubah. Angin masih saja berhembus lepas,
rerumputan tetap menari dengan lenturnya. Seolah mereka terjebak dalam waktu.
Hanya manusia-manusia saja yang berubah cepat. Lihat pemuda itu yang wajahnya
semakin kusut oleh umur. Guratan keriput mulai terlihat jelas di jidatnya.
Ia terlihat
sibuk menyapu buku tulisnya dengan pena. Buku itu terlihat usang termakan usia.
Pemuda itu terkaget dengan kehadiran adiknya yang tak ia ketahui.
“Kak, aku akan
menikah bulan depan. Aku baru saja melamarnya secara romantis di sebuah kafe
premium. Kutaruh cincin sebagai simbol penyalib cinta di gelas sampanye-nya.
Dia terkaget girang dengan kejutanku. Apakah aku cukup romantis?” Dia
memperlihatkan cincin yang sudah terkalung di jarinya.
“Aku sudah
memikirkannya matang-matang. Aku butuh seseorang yang mendampingi hidupku. Aku
butuh seseorang dalam kemapananku. Bukankah hanya kekasih yang bisa melakukan
itu semua?” Senyum tipis terlepas dari wajahnya.
“Bayangkan kak,
sebuah rumah mungil dengan anak-anak di dalamnya. Bukankah kebahagiaan itu
sederhana? Aku harap kakak bisa hadir dalam seremoni titik awal kebahagianku.”
***
Lelaki tua
berjalan kepayahan membelah padang rumput dimana dia dulu sering bercengkerama
dengan kakaknya. Setelan baju hitam ia kenakan, raut mukanya terlihat sedih. Ia
baru saja mengunjungi makan kekasihnya yang meninggal beberapa tahun yang lalu.
Dengan usaha
keras ia akhirnya sampai di bawah pohon. Ia melihat seksama pohon itu,
mengingat-ingat masa yang telah ia lampaui. Ia meraba kulit pohon yang kering
tua. Seolah ada emosi yang tergugah darinya.
Ia tak sadar air
mata mengalir ke pipinya. Ia segera mengusapnya dengan tangan. Perhatiannya
teralih ketika kakinya terantuk kotak kayu yang terpendam dalam tanah. Ia
melemparkan tongkat jalannya dan mulai menggali kotak itu. Kotak itu adalah kotak
yang berisi buku-buku yang digemari oleh kakaknya. Ia sengaja mengubur di bawah
pohon tempat kakaknya menghabiskan waktunya agar ruh nya bisa berbahagaia kekal
di alam lain.
Dia mengeluarkan
kotak itu dari tanah, mengusap-usap permukaan kotak yang kotor dengan tangannya.
Ia membuka kotak itu dan mengambil buku tulis yang sering digunakan oleh
kakaknya. Ia membuka buku itu. Sebuah buku tulis yang tak berjudul.
Dan cukuplah cinta itu oleh cinta,
Semailah jiwa-jiwa kami dalam keabadiannya,
Kutipan diatas
menjadi pembuka buku yang ditulis oleh kakaknya. Ia membuka lembar demi lembar.
Membacanya membawanya pada masa silam. Membaca buku itu seolah membaca diari dirinya
sendiri. Berbagai rekaman kehidupan yang ia lalui. Raut mukanya tak bersedih
lagi. Perlahan raut wajahnya berubah, ada pelepasan belenggu.
Kehidupan dan
cinta. Cinta memiliki kehidupan dan kehidupan sendiri memiliki cinta. Lalu apa yang
dibutuhkan manusia akan cinta kecuali cinta itu sendiri. Cinta dalam harapan,
cinta dalam keseharian, cinta dalam ketiadaan. Bukankah cinta itu menjiwai
realitas. Realitas nyata, tak nyata dan tak terbatas. Disitulah cinta hidup.
Kakek tua itu
bersandar kepada pohon dibelakangnya. Ia menutup bukunya. Angin semilir bertiup,
membawa jiwanya dalam ketenangan entah kemana. Ia abadi sebagaimana cintanya.