Tuesday, 19 February 2013

Pohon Cinta



Betapa indah sore itu dengan langit jingga yang membentang sejauh tatapan horison. Seorang pemuda merebah di bawah pohon di tengah lautan rumput liar yang menari liar ditiup angin. Dengan celana jeans yang ia potong setengah paha dan kaos putih polos membuatnya terlihat seperti bohemian. Sebotol kaleng bir bintang tergeletak di sampingnya. Ia berkali-kali meraih bir itu dan menegaknya penuh nikmat, seolah itulah minuman terakhir yang akan dia minum dalam hidupnya.

Matanya tak beralih dari lembaran demi lembaran buku yang dia pegang dengan tangan kanannya. Dia telah ke dalam realitas yang disajikan oleh rangkaian kata-kata yang terukit indah. Namun ketenangannya tiba-tiba terusik oleh sebuah panggilan histeris dari adiknya yang lari kegirangan.

Remaja itu terlihat necis dengan setelah baju panel dan celana jeans hitamnya. Ia turut merebah di samping kakaknya yang perhatiannya teralih kepadanya. Remaja itu terengah-engah karena berlari, terlihat semangat membara dari raut mukanya yang menyala.

“Kak, kak, apakah dunia itu memang seindah ini?” Tanyanya sambil terengah-engah. Pemuda itu tak membalas, hanya tersenyum tipis mengamati.

“Aku bertemu dengan seorang yang membuat mataku terbuka dengan semua warna dunia. Bersamanya, dunia ini adalah singgasana kami. Alam bahkan turut menari bersama kami yang kegirangan akan cinta. Tahukah betapa bahagianya itu kak?” Wajah riangnya semakin menjadi. Pemuda yang merebah di sampingnya berbalik kepada bukunya. 

“Eros telah menyemai hati-hati kami. Aku menyerahkan jiwaku ini karena ku tak lagi memiliki kuasa atasnya. Itu semua karena cinta. Cinta yang telah melahirkanku kembali menjadi orang yang jatuh cinta.”
Remaja itu seolah tak peduli ketika pemuda itu kembali berbalik ke dalam bukunya. Ia terus saja berceloteh, meletuk-letuk, seolah ia adalah manusia yang paling beruntung di dunia ini. Cahaya mulai redup seiring matahari terbelah separuh oleh bumi.
***

Musim kemarau masih berlangsung lebih dari tiga bulan lamanya. Rumput-rumput liar perlahan mulai menguning kekeringan. Pohon tua yang berdiri sendiri di tengah lautan rerumputan tak kuasa mempertahankan dedaunan yang berguguran oleh masa.

Remaja itu kembali lagi, kali ini berjalan dengan gusar. Dia menendang batu, kaleng atau apapun yang berada di sekitarnya. Wajahnya terlihat murung cenderung kesal. Dia menjatuhkan tubuhnya di samping kakaknya yang sedang menggoreskan pena di buku tulisnya. Kakaknya menyadari keberadaanya dan menutup buku tulisnya.

“Persetan dengan cinta, ia melukaiku sangat kejam. Apakah kakak tahu cinta itu hanya bualan novel-novel saja? Semua itu hanya sesaat, tak ada yang abadi. Lihat saja kak, belum genap setengah tahun hubungan kami. Dia sudah jengah dengan hubungan kami dan mulai mencari kekasih lain.” Matanya berkaca-kaca. Kesedihan mendalam menyelimutinya.

“Aku tidak mempercayai cinta lagi, ia adalah sebuah kenihilan ilusi. Ia adalah samaran dari nafsu. Aku baru tersadar bahwa bagi eros, cinta hanyalah topeng nafsu. Dia hanya menginginkan tubuhku, bukan jiwaku.” Dia sesenggukan. Tak berhenti, dia melanjutkan.

“Hatiku remuk, hari-hariku hancur karenanya. Tega-teganya dia berbuat ini kepadaku.” Air matanya berderas deras. Kakaknya memeluknya erat menenangkan.
***

Beberapa tahun setelah itu, tak banyak yang berubah. Angin masih saja berhembus lepas, rerumputan tetap menari dengan lenturnya. Seolah mereka terjebak dalam waktu. Hanya manusia-manusia saja yang berubah cepat. Lihat pemuda itu yang wajahnya semakin kusut oleh umur. Guratan keriput mulai terlihat jelas di jidatnya.
Ia terlihat sibuk menyapu buku tulisnya dengan pena. Buku itu terlihat usang termakan usia. Pemuda itu terkaget dengan kehadiran adiknya yang tak ia ketahui.
“Kak, aku akan menikah bulan depan. Aku baru saja melamarnya secara romantis di sebuah kafe premium. Kutaruh cincin sebagai simbol penyalib cinta di gelas sampanye-nya. Dia terkaget girang dengan kejutanku. Apakah aku cukup romantis?” Dia memperlihatkan cincin yang sudah terkalung di jarinya.
“Aku sudah memikirkannya matang-matang. Aku butuh seseorang yang mendampingi hidupku. Aku butuh seseorang dalam kemapananku. Bukankah hanya kekasih yang bisa melakukan itu semua?” Senyum tipis terlepas dari wajahnya.
“Bayangkan kak, sebuah rumah mungil dengan anak-anak di dalamnya. Bukankah kebahagiaan itu sederhana? Aku harap kakak bisa hadir dalam seremoni titik awal kebahagianku.”
***

Lelaki tua berjalan kepayahan membelah padang rumput dimana dia dulu sering bercengkerama dengan kakaknya. Setelan baju hitam ia kenakan, raut mukanya terlihat sedih. Ia baru saja mengunjungi makan kekasihnya yang meninggal beberapa tahun yang lalu.

Dengan usaha keras ia akhirnya sampai di bawah pohon. Ia melihat seksama pohon itu, mengingat-ingat masa yang telah ia lampaui. Ia meraba kulit pohon yang kering tua. Seolah ada emosi yang tergugah darinya.
Ia tak sadar air mata mengalir ke pipinya. Ia segera mengusapnya dengan tangan. Perhatiannya teralih ketika kakinya terantuk kotak kayu yang terpendam dalam tanah. Ia melemparkan tongkat jalannya dan mulai menggali kotak itu. Kotak itu adalah kotak yang berisi buku-buku yang digemari oleh kakaknya. Ia sengaja mengubur di bawah pohon tempat kakaknya menghabiskan waktunya agar ruh nya bisa berbahagaia kekal di alam lain.

Dia mengeluarkan kotak itu dari tanah, mengusap-usap permukaan kotak yang kotor dengan tangannya. Ia membuka kotak itu dan mengambil buku tulis yang sering digunakan oleh kakaknya. Ia membuka buku itu. Sebuah buku tulis yang tak berjudul.

Dan cukuplah cinta itu oleh cinta,
Semailah jiwa-jiwa kami dalam keabadiannya,

Kutipan diatas menjadi pembuka buku yang ditulis oleh kakaknya. Ia membuka lembar demi lembar. Membacanya membawanya pada masa silam. Membaca buku itu seolah membaca diari dirinya sendiri. Berbagai rekaman kehidupan yang ia lalui. Raut mukanya tak bersedih lagi. Perlahan raut wajahnya berubah, ada pelepasan belenggu. 

Kehidupan dan cinta. Cinta memiliki kehidupan dan kehidupan sendiri memiliki cinta. Lalu apa yang dibutuhkan manusia akan cinta kecuali cinta itu sendiri. Cinta dalam harapan, cinta dalam keseharian, cinta dalam ketiadaan. Bukankah cinta itu menjiwai realitas. Realitas nyata, tak nyata dan tak terbatas. Disitulah cinta hidup.

Kakek tua itu bersandar kepada pohon dibelakangnya. Ia menutup bukunya. Angin semilir bertiup, membawa jiwanya dalam ketenangan entah kemana. Ia abadi sebagaimana cintanya.

Saturday, 16 February 2013

Soul Junction



“Dan Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan…” [QS Faathir (35) : 11]

Ketika manusia terlahir di dunia, Tuhan telah menggariskan kehidupan setiap hambanya masing-masing. Banyak orang yang percaya bahwa kita bisa membacanya melalui garis tangan yang tergaris rumit. Tetapi pembacaan hanyalah pertanda.

Seperti janji Tuhan bagi hambanya, ia menciptakan setiap kelahiran  dengan kelahiran yang lainnya. Ia menanamkan cinta yang nantinya akan menyatukan mereka. Keniscayaan itu pasti akan terjadi, tetapi enigma waktu, siapa yang tahu.
***

Suatu sore yang indah sebelum senja terlihat jelas. Alunan musik mengalir keras di sebuah gazebo di perkantoran LSM humanitarian. Suasana yang berbeda hari itu, pesta diadakan untuk memperingati hari ulang tahun lembaga. Satu demi satu orang berdatangan merayakan.

Hikaru terlihat bermuka riang menyambut tamu-tamu yang datang. Di depannya berdiri pohon setinggi dua meter yang tersisa batang dan rantingnya saja. Beberapa kertas warna-warni terikat tali pada tiap ranting. Hikaru membagikan kertas warna-warni itu kepada tamu-tamu yang datang. Tulisan akan harapan dan doa.

Perhatian Hikaru teralih seketika ketika sepasang kekasih datang. Dari kejauhan dia melemparkan senyum kepada mereka. Hiro datang bersama kekasihnya, mereka terlihat serasi. Seperti tamu-tamu lainnya, Hikaru membagikan mereka kertas harapan. Sesaat Hikaru dan Hiro bertatap pandang, seolah ada tarikan magnet.

Mereka berlalu membaur dengan tamu lainnya. Berbincang dan tertawa, entah apa yang mereka obrolkan. Tetapi terlihat bahwa mereka telah lama kenal dengan tamu-tamu yang lainnya. Hikaru melihat mereka berdua dengan rasa penasaran. Namun ia membuang pandangannya kepada Hiro ketika, Hiro berbalik menatapnya dengan senyum yang manis.

Teman Hikaru yang duduk di sampingnya berbisik pelan, “Mereka itu yang punya Kafe Kiyoshi.”
“Iyakah? Aku baru tahu kalo yang punya itu teman komunitas.” Balasnya penasaran.   
“Kafe itu sudah cukup lama berdiri?”
“Iya dulu aku sering kesana, cuma nggak tahu sama sekali siapa pemiliknya.”
“Keren sekali ya? hidup bersama, buat bisnis sama-sama.”
Hikaru melihat mereka yang terlihat akrab. Ada antusiasme dan kekaguman dalam benaknya. Baginya yang masih muda, kehidupan yang dimiliki oleh Hiro adalah suatu hal yang luar biasa. Dia merasa telah banyak kisah-kisah mencengangkan yang Hiro buat bersama kekasihnya.
Dia beranjak dari kursi tempat duduknya dan membaur dengan teman-teman lainnya. Hari itu adalah pesta. Setiap orang merayakan dengan suka ria. Tubuh-tubuh gemulai terhentak menyerasikan dendangan musik yang diputar.
***
Dentuman peluru bersaut-sautan, cicitan laju mobil mengiringi. Hikaru berada di sebuah bioskop bersama patnernya melihat film action, genre film yang mereka sukai. Mereka tidak banyak menghabiskan waktu bersama karena aktivitas masing-masing. Bioskop adalah satu-satunya ruang yang paling ideal bagi mereka untuk menghabiskan waktu bersama.

Hikaru merasakan getaran dalam kantong celananya, sebuah telpon dari nomor tidak dikenal. Dia mematikan telpon itu karena berada di ruang bioskop. Sebuah sms dia layangkan, sebagai permintaan maaf karena tidak bisa menjawab telpon saat itu dan dua buah pertanyaan tentang siapa dan ada apa.

Selesai film diputar Hikaru berjalan menuju tempat parkir. Nomor yang sama kembali menelpon. Ada rasa aneh muncul di dalam hati Hikaru. Ini adalah kedua kalinya dia menelpon, apakah ada suatu hal yang penting? Tanyanya dalam hati.

“Halo..” 
“Hikaru?”
“Iya ini Hikaru, maaf ini siapa?”
“Ini Hiro, masih ingat?” Hiro bertanya dengan aksen ragu.
“Hahaha…iya masih ingat. Ada apa mas?” Hikaru tertawa dengan gayanya yang unik.
“Hmm..Cuma mau kenalan aja?”
“Oh..kan kita udah kenal.”
“Gimana filmnya?” Hiro melanjutkan pembicaraan.
“Lumayan bagus mas.”
“Yaudah, gitu aja ya. Enjoy your evening.” Nada yang menyenangkan dari Hiro.
Telpon terputus. Hikaru terheran-heran bagaimana Hiro bisa mendapat no handphonenya. Dia sempat mencurigai teman-teman di kantornya, tetapi ia mengurungkan dugaan itu. Hal itu bukanlah sebuah masalah. Hikaru melihat patnernya yang sudah menunggu. Dari sorot matanya ia pun ingin tahu apa yang sedang terjadi.
“Who’s that?”
“My friend ring me. Just say hi, ordinary stuff.”
“Oh….” Patnernya membalas dengan datar tanpa rasa ingin tahu lagi.

Mereka berdua pulang mengendarai motor, melalui jalanan yang cukup sibuk di akhir pekan. Hikaru masih bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Ia menduga-menduga alasan dan segala kemungkinan yang terjadi. Tanpa terasa dia sudah sampai di depan rumah, dan rasa ingin tahu itu sirna begitu saja.
***

Alunan musik rock n roll memenuhi ruangan. Dari Led Zeppelin hingga arctic monkey secara bergantian terputar. Hikaru berbaring di sofa hijau dengan buku di tangan kanannya. Dia melongok ke arah laptop yang terletak di meja.

Sebuah pesan via facebook dari Hiro muncul di pojok kanan bawah. Hikaru menutup bukunya dan mulai mengetik balasan kepada Hiro. Sejak telpon yang dia terima di bioskop, Hiro seolah lenyap begitu saja. Namun tiba-tiba dia muncul kembali, seolah ada hal yang ia bangkitkan.

“Hmm…mau ngomongin sesuatu nih.” Kata hiro
“ Silahkan.”
“Tapi disimpen aja yah sama kamu.” Dia memberikan sebuah syarat. Hikaru merasa ada keanehan yang terjadi.
“Siap!” Balas Hikaru mantap.
“Kok jadi malu.”
“Jiah….”
“it’s bout my feeling. dulu ak smpt ngerasa there is somethin special bout u. Seperti gimana gitu. Kerasanya di hati. Pas pertama ketemu pertama kali. Padahal aku juga baru kali itu ketmu kamu. But, i dont know. I feel different. Aku juga gak tahu tuh apa yg dirasa. Then again.”
“Beda gimana mas?” Hikaru agak kebingungan walau sedikit dia tahu kemana arah pembicaraan mereka.
“Hahaha…Malu euy. Gini deh, pake ungkapan kali ya? Aku nggak pandai merangkai kata.”
“Iyaaa..”
“Hmm i feel fireworks and sparkle bout you. Bedanya ya itu. Kamu terasa spesial di hatiku. Itu yg kurasakan. I feel alive and lift up when i know u. I feel affection…”
“Hhmm..aku senang kalo mas merasa kaya gitu. Maksudku orang nggak jengah dengan kehadiranku. Cuma aneh juga ya bisa kaya gitu. kita kan jarang ketemu juga. Kata orang jawa kan witing tresno jalaran seko kulino.”
“Hahaha..itu dia. Waktu ketemu kamu kayak kesamber geledek rasanya.”
“Lebay ah.”
“Ya mungkin namanya perasaan ya? Cuma mau mengungkapkan aja sih.”
“Udah kerasa kali mas dari dulu.”
“Kerasa gimana?”
“When someone give special attention, tetaplah kita ngerasa. Cuma diantara yakin dan tidak yakin. Masalahnya aku sering kegeeran.”

Obrolan terus berlanjut hingga malam menjelang. Mereka berbicara apa saja, tentang pertemuan-pertemuan mereka yang singkat hingga kekaguman Hikaru pada Hiro. Seolah ada benang yang terikat, semua kata dan bahasan terjalin lancar. 

Mereka mencoba terbuka untuk masalah rasa, begitu juga dengan kondisi masing-masing. Hidup bersama kekasihnya lalu ternyata jatuh hati kepada yang lain bukanlah hal yang biasa. Mereka mencoba untuk merendam sebintik rasa pada yang lain. Tapi justru nampaknya hal itu terakumulasi hingga mereka meledak-ledak pada titik kulminasi tertentu.

Bagi mereka malam ini adalah titik kulminasi dari titik pertemuan mereka beberapa waktu silam. Di akhir chat mereka memutuskan untuk jalan bersama menonton sebuah film. Film buatan anak bangsa “Habibie dan Ainun.”
***

Hikaru menunggu di depan gerbang ketika Hiro datang dengan mobil warna silver. Hikaru membuka pintu dan menemukan Hiro tersenyum menyambutnya. Sebuah rasa janggal muncul setelah chat yang mereka lakukan semalam. Tetapi hal itu berangsur hilang setelah obrolan demi obrolan saling berbalas.

Mereka mendapat tempat duduk di sebelah kiri atas, tempat favorit Hikaru. Film berdurasi 118 menit itu menyajikan sebuah kisah romantisme yang klise. Tetapi melihat film adalah bagaimana perspektif melihat alur dan cerita yang disajikan. 

Mereka berdua tak muak dengan cerita klise, mereka justru mendiskusikan sisi lain dari film yang mungkin kebanyakan orang tidak membahasanya. 

Setelah menonton film mereka berdua pergi makan malam ke tempat sederhana di utara Kompas. Deretan warung sate terjaga disana. Suasanya tidak cukup ramai, tetapi terlihat bekas piring menumpuk di tempat pencucian. Sepertinya orang banyak yang mampir tadi sore ke tempat ini.

Dalam hati Hikaru sungguh takjub. Bisa dibilang ini adalah sebuah kencan buta. Film menarik dan makanan favorit. Dia berpikir tentu Hiro tidak tahu masakan favoritnya. Entah itu kebetulan atau memang sudah sebuah jalan hidup, malam ini adalah malamyang luar biasa bagi Hikaru.

Mereka menyantap sate yang terhidang panas di depan mereka. Beberapa kali Hiro menawarkan sate dan makanan lain kepada Hikaru. Sebuah tanda mempersilakan dan berbagi. Di akhir, mereka berebut siapa yang akan membayar sate itu. Kejadian lucu, hingga mereka tarik-tarikan berebut siapa yang akan membayar. Penjual sate terlihat tersenyum melihat polah mereka.

Mereka kembali kedalam mobil menuju rumah Hikaru. Suasana terlihat sangat gelap dan sepi dari luar rumah Hikaru.
“Mau mampir?” Ajak Hikaru.
“Hmm…” Hiro ragu menjawabnya.
“Jack sudah tidur jam segini.”
“Kamu yakin nggak apa-apa?”
“Sure..” Hikaru menggenggam tangan Hiro.

Hiro mengikuti Hikaru dalam kegelapan. Dia cukup terheran, rumah sebesar ini hanya ditinggal oleh dua orang saja. Hikaru membawa segelas air putih dan mengajak Hiro ke ke kamar atas. Walau tinggal bersama-sama ternyata Hikaru memiliki kama sendiri. Hal itu membuat Hiro cukup heran. 

Dinding putih dengan berbagai tempelan kertas kecil. Hiro mendekat untuk mencari tahu. Kertas kecil testimoni dan memo dari orang-prang sekitar Hikaru. Ketika dia berbalik, Hikaru duduk di pinggir tempat tidur. Dia memberikan tanda ingin memeluk Hiro.

Pelukan erat menyatukan mereka. Ketika berpelukan, hati terjajar sama rendah dalam kesetaraan. Tak kenal siapa dia, berpelukan adalah bahasa jiwa. 

Mereka tak berpikir akan masa lalu, kini dan esok. Semua terjadi begitu saja. Mereka menyerahkan jiwa nya pada cinta.

Hiro melihat jam di handphonenya, dia tak sadar bahwa waktu berlalu cepat. Dia bergegas merapikan bajunya yang tercecer di lantai. Hikaru mengantarkannya hingga depan gerbang. Dia melambaikan tangannya tanda perpisahan. Tanda bahwa Dia harus kembali pada kehidupan biasanya.

Mobil Hiro lenyap dalam kegelapan malam. Tak ada yang bersisa kecuali secuil rasa yang tertanam kuat di hatinya. Hikaru menatap langit malam yang terang berisi bintang-bintang semilyar. Dia menerka rasi bintang yang duduk di langit semesta. Apakah kejadian ini tercatat disana katanya. 

Bagai bintang-bintang yang terikat oleh hukum gravitasi tarik menarik. Ada suatu hal yang membuatnya tertaut pada Hiro, malam ini ketika dia memeluknya. Ini bukan libido yang terjual di red light district sekitar Sosrowijayan. Dia merasa jiwanya tergugah ketika menyandingkan hatinya. 

Jika jiwanya adalah belahan hatiku, lalu bagaimanakah dengan hati kekasih-kekasih kami saat ini? Hikaru membiarkannya dalam tanda tanya. Dia menutup pintu garasi. Kembali kepada kehidupan nya yang biasa.

Friday, 15 February 2013

Tarian Bawah Hujan


Ruangan bergaya kolinial dengan lantai marmer dan tembok setebal setengah meter. Ruangan dicat putih bersih, meja gaya jawa dengan meja bundar tertata rapi. Beberapa bule berada disana, menikmati sejarah yang terjual disana.

Berada di tengah ruangan, sepasang sejoli yang baru saja bertemu. Maksudnya pribumi yang hatinya  bertemu setelah sekian lama saling kenal. Mereka melihat buku menu, membuka berkali-kali mencari hidangan yang sesuai.

"Kata kawanku disini jual makanan khas lokal, tapi kok menunya mix dan biasa saja ya?" Dia melirik kearah kekasihnya.
"Iya nih, apa mau ganti tempat aja?" Dia bertanya ragu, harga yang terpampang di baris sebelah kanan membuatnya ragu.
"Tenang, pesan aja." Dia menepuk paha kekasihnya. Tak ada raut muka khawatir karena sebelum mereka datang ke kafe itu, dia sudah melihat harga makanannya. Jadi tak ada cerita uangnya bakal kurang.
"Kamu mau pesan apa?" Tanyanya lagi.
"Fried noodle sama Ice lemon tea."
"Yakin cuma itu saja, itu sangat biasa."
"Iya, nanti kalo kurang mau nambah." Katanya yakin.

Hidangan tersaji dalam piring ekslusif gaya restoran premium.Tak ada appatizer, soup. Hidangan simple dengan main course dan minuman saja. Benar-benar gaya pribumi. Obrolan mengiringi sesi makan mereka, sebuah obrolan ringan tentang musik, pekerjaan hingga kehidupan.Mereka terlihat menikmati obrolannya.

Waktu berlalu begitu saja jika mereka berdua. Mereka melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 3.20 sore. Mereka bersiap untuk pergi. Ketika mereka baru saja meninggalkan resto, hujan datang dengan lebatnya. Mereka berlari menuju tempat teduh di bawah beteng, tak jauh dari resto.

Beberapa orang sudah berteduh ketika mereka tiba disana. Hujan turun tiap sore akhir-akhir ini. Jalanan langsung menjadi sepi karenanya. Air mengucur pelahan setinggi betis, mereka yang berteduh cukup kaget, termasuk juga sejoli pribumi.

"Wah tetep ya, masalah sanitasi jadi masalah utama di Indonesia."
"Iya nih, airnya mpe masuk di sepatu."
"Kayaknya percuma deh kita disini, bakal basah juga. Mau pindah, aku bawa payung kok."
"Boleh." Dia mengeluarkan payung dalam tas, payung lipat kecil yang tentu saja terlalu kecil untuk berdua.
"Serius ni mau pindah?" Dia bertanya memastikan
"Iya nggak apa-apa, disni juga bakalan basah kok."

Mereka membuka payung lipat dan pergi meninggalkan beteng. Hujan disertai angin membuat payung itu tak ada gunanya. Mereka saling merapatkan diri, merangkul satu sama lain.

"Eh kamu itu pas banget buat rangkulan." Dia tertawa kecil.
"Asemik..." Logat jawanya keluar spontan.
"Kita mau kemana?"
"Aku mau beli jas hujan, gimana?"
Ya udah kita cari."

Kubangan tergenang dimana-mana membuat mereka harus berliuk kanan-kiri. Mereka berusaha mencari penjual jas hujan yang terlihat sebelum hujan datang. Namun nampaknya dia pun turut lari ketika hujan datang. Mereka berkeliling mencari di tengah hujan. Mereka seolah tak sadar bahwa mereka cukup basah kuyup, bukankah percuma mencari penjual jas hujan?

Tapi hal apakah yang rasional ketika mereka berdua, hujan pun jadi momen yang menyenangkan bagi mereka. Mereka menari dalam hujan.