Terdengar decit pintu depan rumah
terbuka, selanjutnya suara sendal jepit yang diseret pasrah. Digantungnya peci
hitam pudarnya bersama baju koko yang dikenakannya sehari-hari ke masjid. Ia
segera menuju ruang keluarga yang diterangi lampu 25 watt, temaram. Di ruang
itu tertata meja kayu persegi panjang yang muat untuk empat orang saja. Seperti
anjuran pemerintah bagi keluarga-keluarga sederhana (baca: kecil) seperti
mereka, bapak, ibu dan dua anak saja.
Bapak menggeser kursi yang dimasukkan
kebawah meja. Dia lalu duduk dengan tenang, kedua tangannya diletakkan diatas
meja layaknya anak-anak patuh yang belajar di sekolah dasar. Ditatapnya tudung
saji di tengah-tengah meja dengan penuh tanya. Sudah beberapa hari ini Bapak
bersikap demikian, hari ini dia bersikap sama.
Dibuka tudung saji itu perlahan, kepalanya
ditundukkan mencoba mengintip isinya. Terbukalah tudung saji, hanya ada bakul,
setoples kerupuk dan semangkuk sayur ketela. Tersembur raut muka yang kecewa
dari raut mukanya.
“Mak...!” Dipanggillah istrinya.
“Iya pak..” Jawab istrinya yang
datang menghampirinya.
“Mamak nggak ke pasar hari ini?”
Tanya bapak.
“Ke pasar pak, lha itu beli
krupuk beli dimana kalo nggak di pasar.” Jawabnya.
“Kok nggak beli tempe atau tahu?
Uang yang bapak kasih nggak cukup? Masak anak-anak kita yang cerdas itu kita
kasih kerupuk terus, bisa melempem otak mereka lama-lama, mak!” Bapak bertanya
dengan nada tinggi.
“Duitnya cukup!” Jawab si istri
ketus.
“Lha kenapa nggak beli?” Tanya
bapak.
“Pembuat tempe dan tahu lagi demo.”
“Lha...” Si Bapak tidak berani
melanjutkan perbincangan.
Segera Bapak mengambil piring dan
melahap hidangan malam itu dengan lahap. Kres kres kres, terdengar suara
kerupuk yang dia gilas dengan gigi-giginya yang tak teratur.
Ditatapnya kalender yang
terpajang di tembok ruang. Tertulis jelas tahun 2013 dicetak besar dengan warna
hitam.
“2014 swasembada kedelai.”
Gumamnya.
Dipalingkannya kelander itu dan kembali
menikmati hidangan makan malam yang sederhana itu.
No comments:
Post a Comment