Tuesday, 22 October 2013

Kebun Teh dan Curug Sidoharjo : Jones Trip Session #1



Petualangan Jones (Jomblo Ngenes) di Hari Minggu belum usai. Sepuasnya dari Curug Watu Jonggol, kami segera melarikan diri kami ke arah barat. Kata penduduk sekitar ada kebun teh tak jauh dari lokasi kami berada. Dengan antusiasme menggebu-gebu, kami segera memacu motor kami yang sudah terengah-engah kepanasan.

Sekali lagi motor kami diuji oleh jalanan yang menanjak plus kondisi jalan yang amat porak poranda. Bahkan kami sempat mendorong motor kami gara-gara tanjakannya terlalu curam dan kondisi jalannya rusak parah.

view diatas bukit teh
Setelah berkendara sekitar empat kilometer akhirnya kami bisa melihat tanaman the di sekitar kami, kami jadi bersemangat. Tanaman teh itu ditanam di daerah perbukitan yang tidak rata, kami pergi ke puncak bukit berharap mendapat pemandangan yang eksotis. Harapan kami berbuah nyata, pemandangannya super manarik. Akhirnya kita foto-foto narsis bersama.
di puncak bukit teh

Lagi-lagi kami tengok kanan dan kiri. Tempat ini belum terjamah oleh sejoli yang sangat heteronormatif dan dengan pedenya pamer kemesraan. Kita bersyukur lepas dan segera menyegel tempat ini sebagai tempat yang recommended bagi Jones seantero jagat.

Udara di puncak bukit cukup dingin padahal katanya Cuma 900 mdpl, berasa kaya di puncak gitu deh. Tapi sayang, walau tempat ini sepi tetapi kami menemukan banyak sampah berserakan. Ternyata kita bukan yang pertama ke tempat ini. Fak bener deh!

Destinasi berikutnya yang kami kunjungi adalah Curug Sidoharjo. Curug ini tak jauh dari Pasar Ndekso, Kecamatan Samigaluh, mungkin sekitar 5 km. Jalan menuju tempat ini lebih bagus sehingga kami bisa melejit dengan motor kami. 

Sewaktu kami sampai di Desa Sidoharjo, ada beberapa jalur menuju Curug Sidoharjo. Kami memutuskan untuk pergi melewati belakang masjid. Jalannya Cuma setapak dan bisa dipastikan mobil nggak bisa masuk. 
Jalanan setapak yang kami lalui cukup bagus, sepertinya warga sekitar merawat jalan ini baik-baik. Ditepi jalan setapak ada pipa-pipa panjang, sepertinya itu adalah aliran air bagi warga sekitar. Setelah menuruni jalan setapak menuju curug akhirnya kami dikagetkan dengan Curug Sidoharjo ini. Kami terkaget-kaget akan besar dan tingginya curug ini. Tetapi hal lain yang lebih mengkagetkan kami adalah air nya kering sama sekali. Hanya tersisa genangan di kaki air terjun. Kami juga dikagetkan dengan puluhan sejoli yang dengan asiknya nangkring di atas batu. 

Curug Sidoharjo
Aku tidak habis berpikir, ngapain mereka disitu. Mau lihat air terjun nggak ada, mau lihat aliran sungai nggak ada juga. Aku berpikir sinis dan negatif, sepertinya mereka mau mengekspansi tempat-tempat perawan dimana para Jones bisa melipur laranya. Dasar!

Walau  kering dan banyak duo-duo pacaran di sekitar curug. Aku cukup terkagum-kagum dengan keindahan curug ini. Kata warga sekitar, kalau mau melihat air terjun kita harus datang Bulan Desember. Berhubung tempat ini sudah diduduki oleh duo-duo pacaran, kami harus berpikir keras untuk mencari tempat lain yang masih belum dijamah oleh mereka. 

Kami pun semakin bersemangat untuk meneruskan visi kami, yaitu travelling ke tempat-tempat yang belum terjamah oleh pasangan-pasangan yang sedang pacaran. Mata kami memandang langit biru yang luas. Kami tiba-tiba menjadi sangat melankolis. Jika langit itu tak ada batasnya, begitu juga dengan semangat dan ambisi kami. Tunggu kami alam, aku akan segera menjamahmu!

 

Monday, 21 October 2013

Curug Watu Jonggol : Jones on trip session #1



Jones (Jomblo Ngenes), yak! Sejak Minggu kemarin secara resmi aku diakui sebagai bagian dari mereka. Sebenarnya aku sempat curiga, jangan-jangan Jones ini adalah salah satu penyakit menular. Gimana tidak? Sebelum aku intens main-main sama mereka, aku adalah lelaki yang bahagia, bahkan dengan patner dimana-mana. Sekarang? Sendiri tiap hari malam minggu, ditambah selow-nya tiada tara.

Menurut statistik yang aku lihat di kawan-kawan dekatku sekarang. Sembilan dari sepuluh orang adalah laki-laki terkutuk yang belum pernah menjamah wanita. Nah, satunya kebetulan homo yang sialnya juga tidak laku dipasaran lelaki. So, kita adalah kumpulan orang-orang terbuang dan selow yang berusaha menyaman nasib, perasaan dan visi.

Kembali ke Hari Minggu kemarin, percaya tidak percaya yang asalnya cuma guyon belaka ternyata Jones berubah menjadi kelompok serius yang pengen melampiaskan waktu selownya untuk berpetualang menemukan tempat baru yang disana tidak ada sepasang sejoli yang sedang mengumbar nafsu setan alias bermesraan.

Pukul sepuluh pagi kami (Aku, Endry dan Fikri) telah melakukan konspirasi dan minggat dari rumah. Kemana? Kata si Endry dia mau pergi ke Curug Watu Jonggol. Waktu aku nanya ke anak itu, dia sama sekali nggak tahu mana itu Curug Watu Jonggol. Berbekal waktu yang selow dan gosip-gosip kawan sekitar kita lantas pergi ke arah barat. Rute yang kami lalui adalah dari Balangan ke barat. Nah, kalau belum tahu dimana itu Balangan. Kamu cukup tahu Perempatan Seyegan, ikuti aja jalan lurus ke barat. 

Perjalanan ke arah barat (Kulon Progo) sungguh menyenangkan, di sepanjang perjalanan kita menemukan obyek pemandangan yang tidak lazim atau dalam bahasa estetikanya dikenal dengan sebutan indah.
Ditengah jalan

Tidak hanya pemandangan alamnya saja yang sangat bagus, tetapi kami juga menemukan suasana pedesaan yang masih asri dan lokal. Aku merasa benar-benar terbawa ke dimensi lain beberapa belas tahun silam. 
Warga membawa karung

Jalanan yang berkelok-kelok dan tanaman padi yang hijau seolah tak penrah jenuh untuk dipandang. Memasuki kawasan Pagerharjo, kami menemukan sebuah pasar kecil. Dari pertigaan pasar tersebut kami ambil jalur kanan. Jalanan cukup menanjak, dari pemandangan yang kami lihat. Kami berada cukup tinggi permukaan laut. 

Diatas sana
Akhirnya kami sampai di Dusun Nglinggo, Nah waktu kita sampai di Dusun tersebut kita terkaget karena ada keramaian yang tidak biasa. Setelah kita bertanya-tanya ternyata sedang ada hajatan besar di Desa Wisata itu. Organ tunggal sengaja mereka ramaiakan untuk menarik perhatian sekitar. Dua biduan penyanyi dangdut yang berkali-kali didoraki “bukak sithik joss!” berdendang tak malu-malu dengan pakaian mereka yang gemerlap dan ketat tipis. Sayang mereka bukan tipe saya!
Organ Tunggal

Kami melanjutkan perjalanan menuruni jalan setapak yang hanya bisa dilewati oleh sepeda motor, sepeda atau jalan kaki saja. Di akhir jalan setapak itu kami disambut oleh rumah tua yang sangat unik. Terpasang plang “parkir” sebagai tanda bahwa kami harus parkir di depan rumah itu. Ketika kami memarkirkan motor, nenek tua yang tinggal di rumah itu keluar dari rumah demi menyambut kami. 
Nenek Menyambut kami


Kami dipersilahkan masuk dan kami dengan sangat terbuka dan senang bisa diterima oleh nenek itu. Dihidangkannya tiga gelas dan air panas. Aku terharu sejadi-jadinya gara-gara keramahan nenek itu. Bagaimana tidak, biasanya ada kekasih yang luar biasa yang menghidangkan minuman, eh sekarang nenek-nenek renta yang menghidangkan. Jadi teringat masa kelam dulu deh.
Nenek menghidangkan minuman

Nenek itu menyuguhkan gula aren, katanya ini buatan dia sendiri. Aku terkagum-kagum pada nenek itu. Dia tinggal keluarga kecilnya tanpa listrik dan embel-embel lainnya. Tetapi bisa mandiri sekali dengan mengambil kebutuhan sehari-harinya dari alam. Tidak hanya gula, bahkan di samping rumah nenek ini ada berbagai tanaman sayuran seperti tomat,cabe, bayam dsb. Dibelakang rumah ada ternak kambing dan ayam sebagai bahan protein hewani. 

Tanaman Sayuran
Satu hal yang membuat aku takjub, nenek ini bisa mengolah coklat dan kopi sendiri. Pake dikeringkan sendiri lah, pake digiling, semuanya sendiri. Keren abis!

Gila banget, aku jadi merasa sangat bodoh! Baru-baru ini aku belajar mengenai Permakultur, dan aku sok pandai dan sok jadi pelopor di kalangan kawan-kawanku. Eh, nan jauh disini, nenek ini sepanjang hayatnya telah mengimplementasikan permakultur sehari-harinya.

Setelah merasa cukup berbincang dengan nenek, kami berpamitan dan pergi menuju Curug Legendaris itu. Sejauh yang kami lihat tidak ada yang namanya loket karcis. Jalanan yang kami lewati sudah terbangun dengan rapi. Tanah yang kebanyakan padas sudah dipangkas dan dibuat tangga-tangga kecil untuk memudahkan pengunjung.

Setelah berjalan sekitar sepuluh menit akhirnya kami menemukan curug legendaris itu. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Visi kita tercapai! Kita nggak menemukan sepasang sejoli pun yang sedang mengumbar kemesraan disini. Gila men! Curug ini secara resmi jadi milik kita para Jones. 

Eh sebentar, waktu menuju curug kita dipaksa untuk memompa jantung lebih cepat alias deg-degan. Untuk pergi menuju curug. Cuma ada satu jalan bambu dan itu tanpa pagar samping.  
Jembatan

Eh sayang seribu sayang, kita datang disaat yang tidak tepat (baca: musim kemarau). Kita terlalu bodoh untuk sadar bahwa musim kemarau itu adalah musim yang langka air di daerah sini. Ya sudah akhirnya kita cuma bisa lihat bongkahan batu-batu yang menjulang tinggi sembari berimajinasi bagaimana kalau ada air turun deras di curug ini. 
Tawa Lepas kawan kami yang bahagia setellah mengetahui nggak ada satupun sejoli disini

Kami yang selow, akhirnya nyantai dan kongkow-kongkow di pinggir kali sambil makan bekal yang telah kita bawa. 
Curug Watu Jonggol waktu musim hujan