Monday, 6 October 2014

Daging Kurban Yudi


           
dkmnuruliman.wordpress.com
Tidak seperti biasanya, Yudi kecil sudah meningalkan shelter di pagi buta. Dipilihnya baju paling bagus untuk dikenakan bersama sarung satu-satunya yang ia punya. Tak lupa dia membawa selembar kertas bekas. Pagi ini Yudi akan pergi ke halaman masjid DPRD kota untuk menunaikan sholat Idul Adha.

Sesampainya di depan halaman masjid,orang sudah berjibun memadati shaf demi shaf. Ia pun segera menggelar koran bekasnya untuk duduk di paling belakang jamaah. Dari jauh dia melihat rombongan bapak-bapak berpakaian bagus dikawal untuk menempati shaf di dalam masjid bersama kyai-kyai berjubah serba putih.
Terik mulai menyengat, namun hal itu sudah biasa bagi Yudi. Ia tak lekas pergi dari shaf seperti anak-anak lainnya seusai sholat. Dia duduk tenang mencoba mendengarkan sayup-sayup ceramah yang dikoarkan secara santun dan manis oleh seorang kyai. Baru ketika ceramah usai, ia beranjak meninggalkan tempat duduknya lalu bergabung dengan gerombolan orang-orang yang disebut sebagai fakir miskin.
Seorang petugas membagikan secarik kertas bertuliskan nomor antrian untuk pengambilan daging. Dengar-dengar hari ini DPRD kota akan menyembelih sepuluh sapi impor yang akan dibagikan untuk masyarakat yang membutuhkan. Masyarakat yang dimaksudkan oleh bapak-bapak adalah masyarakat yang hanya bisa mengkonsumsi tak lebih dari 5 kg daging per-tahunnya. Mereka percaya di hari yang suci ini, tidak hanya pahala berlimpah yang akan mereka peroleh tetapi juga membantu memakmurkan warganya.
Sembari tukang jagal menyembelih sapi impor itu satu-satu. Seorang bapak yang disegani diantaranya menemui gerombolan orang-orang dengan secarik kertas nomor antrian. Dia berdiri menunggingkan tangannya minta dikecup. Satu persatu gerombolan itu mengecup tangan halus dan putih bapak itu. Yudi pun mengikuti apa yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya. Dipegangnya tangan bapak itu yang putih, halus dan wangi. Diraba-rabanya tangan bapak itu yang tidak seperti tangannya. Ia berpikir bagaimana bapak itu bisa berpakaian mewah jika tangannya putih mulus seolah tak pernah memegang alat kerja. Apakah pak tua yang mengatakan kekayaan adalah bekas tangan adalah bohong?

“Sebentar lagi kami akan membagikan daging kurban sapi impor kepada bapak-ibu. Silahkan dimasak di rumah sebagai kecukupan gizi keluarga.” Bapak itu memulai pidatonya.
“Di dalam daging sapi impor terdapat protein dan kalsium yang baik untuk menjaga tulang bapak dan ibu, serta bisa membuat anak bapakdan ibu cerdas dan pintar.” Bapak itu menggelegar.

Yudi hanya bisa termangut-mangut mengamini apa yang bapak itu katakan di depan podium. Ia hanya berharap pidatonya segera usai dan bisa membawa sekresek daging kurban secepatnya. Sudah dari kemarin dia belum makan dan cacing-cacing di perutnya mulai memberontak.
Akhirnya waktu yang dinanti-nanti tiba, kresek-kresek daging bermunculan. Gerombolan yang tadi duduk anteng di depan podium serentak berdiri dan menyamber kresek daging itu dari tangan petugas. Si bapak yang sedang berpidato kaget lalu menyuruh petugas untuk menenangkan keadaan. Namun sayang, gerombolan sudah terlanjur menjadi brutal. Beruntung Yudi sigap dengan keadaan itu, dengan tubuhnya yang mungil tapi gesit dia berhasil merampas satu kresek daging. Segera ia berlari keluar dari kekacauan dan pergi.
Dipanggilnya ibu penjaga warung tempat biasa berhutang makan. Ibu itu bermuka masam ketika tahu yang memanggilnya hanyalah Yudi. Warung si Ibu sedang sepi, apalagi saat ini Idul Adha, banyak orang memilih makan di rumah daripada warungnya. Yudi memenyerahkan kresek berisi daging kepada ibu itu. Dilihatnya isi kresek itu dengan sinis oleh si ibu. Ia mencoba mengingat-ingat hutang Yudi dan menaksir daging yang ditukar oleh Yudi.
“Sana makan sama sayur dan tempe!” Suruh si ibu.

Yudi pun segera mengambil piring lalu menumpahkan nasi segunung. Ia pun makan sayur dan tempe dengan sangat nikmat dan lahap.

Thursday, 25 September 2014

Perjuangan Kelas LGBT, Sebuah Wacana Alternatif



Mari kita mulai dari pertanyaan jujur, apakah Anda sudah merasa bebas menjadi seorang LGBT? Jika hari ini Anda tiba-tiba memiliki harta berlimpah dengan akses terhadap pekerjaan dan tempat hidup  layak, apakah Anda merasa lebih bebas menjadi seorang LGBT? Kenapa? Mari kita belajar tentang kelas di dalam masyarakat.
Struktur masyarakat terdiri dari lapisan-lapisan yang dikenal sebagai kelas. Kelas berasal dari bahasa latin classis yang menunjukkan pembedaan dalam masyarakat berdasarkan kekayaan atau jabatan sosial. Di zaman revolusi industri kita mengenal pembagian kelas atas kelas pekerja dan kelas borjuasi (pemilik alat faktor produksi). Berbeda dengan zaman revolusi industri, saat ini kita tidak lagi mampu mendikotomi kelas seperti itu. Kelas masih tetap ada di dalam masyarakat walau sangat samar.
Di dalam konteks Indonesia, penulis berpikir konsep trikotomis dari Robert Owen sangat relevan untuk menggambarkan kondisi masyarakat saat ini. Owen menggambarkan masyarakat terbagi menjadi tiga lapis yaitu lapisan bawah, lapisan menengah, dan lapisan atas. Perlu menjadi catatan bahwa mobilisasi kelas hari ini begitu cepat. Hal itu bisa dilihat dari fenomena Orang Kaya Baru (OKB) atau semakin banyaknya rakyat miskin. Tahukah kamu bahwa mereka sebenarnya adalah orang dari kalangan menengah yang dari persaingan atau harus turun kelas karena tersungkur dari persaingan.
Hari ini gerakan kawan-kawan LGBT mengusung bendera besar bernama perjuangan identitas. LGBT adalah sebuah identitas yang perlu diperjuangkan agar hak dan kewajiban diakui oleh masyarakat dan negara. Sejauh pengamatan saya sebagai pihak luar, perjuangan kawan-kawan LGBT masih berbingkai pada konsep seputar SOGI (Sexual Orientation Gender Identities). Padahal menurut penulis permasalahan komunitas LGBT lebih luas dari bingkai SOGI semata. Sebagai contoh adalah diskriminasi dalam mengakses berbagai fasilitas negara, pekerjaan dan tempat hidup yang layak karena mereka adalah komunitas LGBT yang notabene berasal dari kelas bawah.
Kenapa kita berbicara kelas sekarang? Mengacu pada pertanyaan di awal artikel ini. Saya melakukan sedikit wawancara sederhana kepada kawan-kawan gay. Saya melihat bahwa kebanyakan mereka merasa lebih bebas jika memiliki kekayaan yang lebih, dalam konteks kelas semakin tinggi kelas mereka maka mereka menjadi lebih bebas untuk mengekspresikan identitas seksual mereka. Salah satu orang yang saya wawancarai, seorang mahasiswa yang masih tinggal dengan orang tua, berkata bahwa dia tidak bisa mengekspresikan identitas seksualnya secara bebas. Namun suatu hari ketika dia sudah lulus kuliah dan bekerja, dia ingin hidup secara independen (terlepas dari orang tua) dan mencoba menjalin relasi dengan partnernya secara lebih terbuka.
Kasus diatas memang tidak bisa mengeneralisir kondisi komunitas LGBT, karena hari ini pun kita bisa menemukan seorang waria membuka dirinya di tengah kawasan slum perkotaan. Tetapi kasus diatas bisa memberikan wacana alternatif bagi gerakan :GBT ke depan bahwa sudah saatnya kita berpikir mengenai perjuangan kelas. Kita harus meyakini bahwa secara historis masyarakat terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang antagonistik dengan kepentingan yang berbeda-beda dan tidak terharmoniskan.
Siapa yang perlu kita perjuangkan? Menurut penulis kita harus memprioritaskan pada komunitas LGBT pada kelas masyarakat paling bawah. Mereka yang menurut hierarkhi kebutuhan Maslow belum terpenuhi kebutuhan dasar (fisiologis) dan kebutuhan akan rasa aman. Menurut penulis, ruh dari keberadaan gerakan LGBT adalah memperjuangkan orang-orang tertindas. Kecuali jika gerakan-gerakan itu adalah gerakan filantropis sayap kanan yang hanya suka berdiskusi di kalangan kampus nan penuh teori itu.
Penulis membayangkan jika gerakan LGBT berperspektif kelas, maka kita akan mulai pergi ke kolong-kolong jembatan menemui seorang waria yang sedang bersitirahat dari terik setelah mengamen. Kita akan pergi ke kawasan pemukiman kumuh dimana gay-gay diusur dari keluarganya. Apa yang lebih suci dari bertemu dengan akar rumput dan berbagi kebahagiaan dengan mereka?
Terakhir saya ingin mengutip perkataan Marx dan Engels dalam bukunya Manifesto, “Sejarah seluruh umat manusia adalah sejarah perjuangan kelas.”. Entah perjuangan identitas dan perjuangan kelas adalah soal perspektif. Tetapi saya kira kita tidak boleh mengacuhkan sejarah.

Sunday, 15 June 2014

Logika Akar Rumput



Akhir-akhir ini saya bergiat di sebuah komunitas bernama Save Street Child Jogja, komunitas yang peduli terhadap isu anak jalanan. Jika dihitung lama waktu saya bergabung, kira-kira sekitar satu tahun yang lalu. Dalam waktu satu tahun itu saya menjadi salah satu dari tujuh pengurus harian komunitas. Pengurus harian bisa dikatakan sebagai nahkoda arah gerak komunitas.
Beberapa kegiatan yang kami lakukan pun bisa dikatakan adalah buah pikiran kami tanpa mengesampingkan peran sukarelawan lainnya. Namun akhir-akhir ini saya menyadari sebuah kesalahan. Sebuah kesalahan yang sangat lazim saya kira terjadi di komunitas-komunitas yang menyokong gerakan akar rumput.
Ketika kami membuat program atau kegiatan, hal pertama yang kami lakukan adalah melakukan observasi lapangan mengenai kemungkinan masalah-masalah yang terjadi. Dari permasalahan tersebut maka kami mencoba untuk mencari solusi atas permasalahan tersebut. Hal tersebut lazim dilakukan dan sepertinya merupakan metode yang baik untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial. Apalagi ditambah argumen bahwa pihak akar rumput, dalam konteks kami adalah anak jalanan, terlibat dalam penggalian masalah.
Bisa dikatakan program yang dijalankan bersifat pemberdayaan karena juga melibatkan akar rumput. Tetapi dalam kenyataannya kadang program yang dijalankan tidak berjalan dengan efektif dan terkesan sebagai formalitas saja. Walau program sesungguhnya adalah solusi atas permasalahan yang terjadi, kadang program tidak efektif karena tidak selaras dengan pola pikir akar rumput.
Pola pikir tersebut bisa kita katakan sebagai logika akar rumput. Beberapa pegiat di komunitas kami adalah mahasiswa dengan pola pikir intelektual berdasarkan teori yang dipeoleh dari lembaga kampus. Walaupun teori-teori tersebut sudah dibuktikan kesahihannya, kadang teori telah kehilangan konteks di lapangan.
Satu minggu yang lalu saya berbincang cukup lama dengan 3 anak jalanan (Bagas, Ganjar dan Joko). Saat ini mereka telah tinggal di SSCJ Corner (Save Street Child Jogja Corner) tidak lagi di jalan. Saya mengajukan pertanyaan sederhana mengenai tinggal di jalanan. Apakah mereka lebih menyukai tinggal di jalanan atau di rumah. Ketiga anak tersebut sebenarnya masih memiliki orang tua dan rumah walau berada di luar kota Jogja.
Ketiga anak tersebut mengatakan bahwa hidup di jalanan lebih menyenangkan dan nyaman daripada tinggal di jalanan. Selain karena ada permasalahan di rumah, mereka mengatakan bahwa kehidupan di jalan lebih memberikan pengalaman hidup. Mereka menambahkan bisa saja tinggal di shelter yang dikelola oleh Dinas Sosial, namun mereka tetap memilih tinggal di jalan bersama teman-teman, keluarga mereka saat ini.
Saya sebagai seorang mahasiswa dan pernah besar bersama keluarga memiliki sebuah pemikiran lain. Tentu saya berpikir bahwa hidup di rumah bersama keluarga saya lebih nyaman dan menyenangkan, walau konteks keluarga kami berbeda dan sesungguhnya tidak bisa dibandingkan. Latar belakang saya memberikan sebuah gambaran mengenai pola pikir saya. Ditambah teori-teori yang saya baca mengenai hak anak dan kesejahteraan telah memperjelas pola saya berpikir mengenai kehidupan anak jalanan.
Di dalam kondisi seperti ini, saya sebagai seorang yang terlibat dalam pembuatan program kegiatan komunitas berpikir menggunakan pola pikir saya yang berbeda dengan logika akar rumput yang mereka miliki. Saya kira masalah tersebut adalah sebab dari tidak selarasnya program yang dilakukan.
Timbul sebuah pertanyaan dalam benak saya. Lalu apa yang bisa saya lakukan? Jika saya dan anak jalanan memiliki pandangan yang kontras. Apakah saya sebagai orang yang dikatakan lebih sejahtera daripada mereka diperbolehkan memaksakan pola pikir saya untuk mereka? Atau sebaliknya, kita harus mengalah dengan logika akar rumput mereka?
Saat ini saya mengambil sikap mengalah kepada logika akar rumput, tentu saja dengan batasan tertentu. Save Street Child Jogja adalah organisasi penyokong komunitas, sehingga saya pikir kami tidak berhak memaksakan pola pikir kami kepada mereka. Tetapi bukan berarti kami hanya akan menurut dengan pola pikir mereka.
Jika proses perubahan bisa dilakukan dengan komunikasi. Maka jalan yang terbaik bagi komunitas saya adalah terus menjalin komunikasi intens dengan anak-anak jalanan. Dengan komunikasi saya kira sebuah logika akar rumput bisa berkembang. Akhirnya kami selaku pegiat organisasi penyokong komunitas memiliki sebuah visi atau pandangan yang sama dengan mereka, anak-anak jalananan.

Friday, 6 June 2014

Sempurna



15.50 pm
Paris Bakery Café di lantai dua. Di tempat ini aku biasa menghabiskan waktu untuk membaca atau hanya minum kopi. Hujan mengguyur tepat ketika aku sampai di kafe. Aku selamat, tidak perlu lagi repot-repot ke kamar mandi untuk berdandan karena kehujanan. Sore ini aku sengaja berdandan rapi, tak lain buat dia, seorang sahabat yang sudah lama tidak kutemui.
Segelas cappucino dan sepotong kue foret noire rasa coklat aku pesan sembari menunggunya. Tidak seperti biasanya dia datang terlambat, mungkin itu karena hujan deras yang mengguyur tiba-tiba.
  Aku sudah mempersiapkan beberapa pertanyaan untuknya. Bisa jadi aku bisa menebak apa yang ingin dibicarakannya denganku. Sejak pertemuan kami beberapa tahun silam, di tempat ini juga, dia menjadi terobsesi dengan “kekasih sempurna” menurut versinya. Pertemuan itu menjadi trigger yang memicu nyala hasratnya yang tependam. Kira-kira pertemuan kami waktu itu terjadi di waktu sore seperti ini.
Dia datang dengan air muka kecewa. Kala itu aku sedang menikmati lalu-lalang kendaraan dari balkon lantai 2. Dia datang tiba-tiba lalu meneguk cangkir kopi dan menghisap rokok yang aku taruh di asbak. Kemudian ia menjatuhkan dirinya ke sofa rotan dengan bantalan hitam yang menghadap lurus ke arah jalanan. Kupandangi dia yang diam. Tak ada salam ketika dia datang, hanya diam. Bagiku hal itu adalah sebuah petanda akan suatu masalah.
“Kamu kenapa?” Tanyaku polos.
“Sebelll….!” Jawabnya panjang. Terlihat raut muka penuh amarah.
“Sebel kenapa?” Tanyaku lagi.
“Guwe baru ketemu sama orang. Lagaknya bok, blagu banget. Sok ini-itu, palsu banget. Najis!” Dia kesal.
“Baru ketumbaran?” Tanyaku memastikan.
Matanya membelalak, mengisyaratkan betapa bodohnya pertanyaanku. Aku pun tercekat.
Kami terdiam. Ini bukan pertama kali bagiku menghadapinya dalam kejadian seperti ini, tetapi entah ketika momen seperti ini datang. Empati dan simpati yang aku miliki tak termanifestasi ke dalam kata-kata yang mampu membuatnya lebih tegar dan kuat. Aku hanya bisa melihatnya diam dalam kekalutan.
“Laki-laki biasa yang suka membaca, menulis, backpacking dan mendaki gunung. Loe bisa membayangkan laki-laki seperti itu?” Tanyanya kepadaku.
Aku masih diam, mencerna pertanyaannya dalam-dalam.
“Dia tampil apa adanya, bukan menjadi seseorang melainkan dirinya sendiri. Menyampaikan kejujuran walau itu menyakitkan.” Dia menambahkan.
One on thousand.” Jawabku.
“Guwe yakin orang seperti itu ada. Dan loe harus tahu, oneday I will find him!” Jawabnya penuh keyakinan.
Mimik mukanya berubah, raut muka sedih dan kecewa sirna. Aku merasakan aura berapi-api memancar dari matanya yang berbinar. Dia baru menyalakan harapannya dan itu membara panas. Sejak hari itu, dia memulai mencari seseorang seperti bayangan di alam imajinasinya.
Beberapa bulan kemudian, aku bertemu dengannya secara tak sengaja di acara open house PLU Satu Hati, sebuah lsm yang bergerak di bidang advokasi LGBT. Pesta sederhana dengan konsep outdoor yang diadakan di halaman belakang kantor sekretariat. Lampu warna-warni menghiasi pohon dan langit-langit, menghadirkan pelangi di malam hari. Meriah sekali.
Dari kejauhan, disela-sela keramaian aku melihatnya menggandeng seseorang yang asing bagiku. Mataku menelisik sosok asing itu. Kulihat dia dari ujung sepatu hingga kepala. Sepatu kulit warna coklat setinggi tumit, celana jeans pensil ketat dan kaos hitam dengan logo bintang kejora berwarna merah. Rambut gaya duck’s ass, disisir sekitar sisi kepala ala Elvis Presley. Manusia rock n roll!
Hanya hitungan detik hingga mata kami saling bertatapan. Dia girang, menjerit riang mengetahui keberadaanku di pesta itu. Tubuhku dihantam oleh pelukannya yang erat dan mendadak hingga aku sempat sesak nafas.
“Eh, gimana gebetan guwe?” Dia mengarahkan arah pandangannya kepada orang asing itu.
“Eksentrik.” Jawabku heran.
Rock and roll abis men!” Kedua tangannya membentuk simbol metal.
“Dapat darimana?” Tanyaku.
“Ceritanya panjangggg, tapi yang jelas dia beda sama yang lain. Guwe suka banget sama ideologi  yang dia miliki.” Paparnya.
“Ideologi?” Aku semakin heran.
“Dia itu kiri banget, loe nggak habis pikir kan ada orang seperti dia di dunia glamor seperti ini?” Wajahnya bertambah girang.
“I see…” Aku pura-pura mengamini.
“Jelas doi itu pas banget buat guwe, partner terbaik yang pernah guwe temui.” Katanya penuh keyakinan.
Manusia rock and roll itu mendekat ke arahku. Dengan gayanya yang kalem dia memperkenalkan dirinya kepadaku. Lama kami berbincang, ternyata dia adalah seorang aktivis buruh tulen yang sangat percaya dengan sebuah takdir bahwa kelas proletar akan menguasai dunia kelak. Aku sedikit mengulik mengenai kedekatan mereka, ternyata mereka secara resmi jadian sejak 2 bulan yang lalu.
Dua bulan yang mereka jalani terdengar sangat menyenangkan. Banyak hal yang baru yang ditemui oleh sahabatku. Bahkan kalau aku melihat dia pun jauh berubah, seperti terpengaruh oleh manusia rock and roll. Tak ada rasa tidak suka, ganjil sejauh sahabatku berbahagia dengan manusia rock and roll itu.
Namun beberapa waktu setelah pesta open house, aku mendengar relasi sahabatku dengan manusia rock and roll itu berakhir. Aku tidak tahu penyebab pasti hubungan mereka putus karena belum bertemu dengannya sejak saat itu. Aku sengaja menyimpan tanda tanya besar itu. Dan hari ini, dia akan datang di lantai dua kafe ini.

16.15 pm
Aku kembali menyruput kembali kopi yang masih tersisa separuh. Rasanya nikmat sekali minum kopi saat hujan-hujan seperti ini. Tanpa aku sadari, dia muncul dari belakangku. Memelukku dari belakang dan berbisik.
“Halo mr. writer.” Sapanya.
“Sorry guwe terlambat, hujannya juara!” Dia meminta maaf lalu duduk di sofa. Tanpa ijin dia menyruput kopiku.
“Hmm…takarannya masih sama. Long black dengan dua sendok gula. Kamu tak berubah.” Dia terus mengoceh.
“Sendirian?” Tanyaku.
“Loe pikir ngajak siapa?” Tanyanya balik.
New partner maybe.” Aku memancing pembicaraan.
“Nggak ada lagi hal gituan.”
“Seriusan? Aku nggak percaya.”
“Terserah loe, tapi sekarang guwe sudah berubah.” Katanya penuh keyakinan.
“Berubah lagi? Lalu apa kabar dengan manusia rock and roll yang aku temui di PLU?” Tanyaku.
“Ah, loe jangan ungkit-ungkit manusia tanpa perasaan itu.” Mukanya kecut.
“Katanya dia tipe kamu?”
“Awalnya sih guwe pikir seperti itu, tapi lama-kelamaan guwe berpikir ulang. Masa guwe nggak boleh jadi pacar yang romantis. Katanya belum saatnya, masih banyak persolaan bangsa yang lebih penting dari urusan melankolia. Gila aja, emang guwe robot?” Keluhnya.
Aku tersenyum kecil,”I can see it.”
“Trus, loe sendiri gimana? Do you have someone special?” Tanyanya.
“Ya, ada seseorang. Walau bukan sosok yang sempurna bagiku. Tetapi aku cukup bersyukur bisa bertemu dengannya.”
“Seperti apa sih orangnya?”
“Mas-mas jawa. Umurnya agak beda jauh sih, tapi it’s oke lah buatku.” Jawabku malu-malu.
“Yakin dia tipe loe?” Tanyanya ragu.
“Hmmm…..Setelah lama mencari, aku meyakini bahwa di dunia ini tidak ada hal sempurna yang bisa kita cintai. Kita hanya bisa menyempurnakannya.” Jawabku.
“Loe salah bung, kesempurnaan itu ada.” Dia membantah.
“Buktinya?” Tanyaku.
“Seseorang sempurna yang bisa kita cintai adalah…..”Kedua jempolnya menunjuk dirinya.
Aku kaget dengan jawabannya. Betapa susahnya memahami pemikirannya yang cukup unik. Sedikit demi sedikit aku mencoba mencerna apa yang dimaksudkan oleh dirinya. Kulihat dirinya saat ini yang cukup berbeda. Penampilannya sederhana, baju panel lengan panjang dengan celana jeans butut ala-ala backpaker. Terlihat dia lebih menjadi dirinya sendiri dan tidak peduli dengan tuntutan dandan sosial.
Aku mendengar bahwa dia memilih keluar dari pekerjaannya saat itu sebagai seorang karyawan dan memilih untuk travelling keliling Indonesia. Katanya dia hanya ingin menjadi sosok yang lebih bebas saja. Sebuah alasan yang tidak mendasar bagiku. Kebebasan?
Pikiranku melayang kepada sebuah momen beberapa tahun silam dimana kami bertemu di tempat yang sama. Dia pernah mengutarakan mengenai sosok partner yang sempurna baginya. Laki-laki biasa tapi bebas. Backpacking, membaca dan menulis adalah kehidupannya. Dia tampil apa adanya, bukan menjadi seseorang melainkan dirinya sendiri.
Aku tersentak dan sadar. Sosok sempurna yang digambarkan olehnya sekarang berada tepat di depanku. Setelah mencari dan terus mencari akhirnya dia menemukan sosok sempurna yang dia inginkan. Dan saat ini dia berada di depanku sendiri. Dia adalah dirinya sendiri.
“Kamu tahu bung, I love me more than I know.”