Akhir-akhir ini saya bergiat di
sebuah komunitas bernama Save Street Child Jogja, komunitas yang peduli
terhadap isu anak jalanan. Jika dihitung lama waktu saya bergabung, kira-kira
sekitar satu tahun yang lalu. Dalam waktu satu tahun itu saya menjadi salah
satu dari tujuh pengurus harian komunitas. Pengurus harian bisa dikatakan
sebagai nahkoda arah gerak komunitas.
Beberapa kegiatan yang kami lakukan
pun bisa dikatakan adalah buah pikiran kami tanpa mengesampingkan peran
sukarelawan lainnya. Namun akhir-akhir ini saya menyadari sebuah kesalahan.
Sebuah kesalahan yang sangat lazim saya kira terjadi di komunitas-komunitas
yang menyokong gerakan akar rumput.
Ketika kami membuat program atau
kegiatan, hal pertama yang kami lakukan adalah melakukan observasi lapangan
mengenai kemungkinan masalah-masalah yang terjadi. Dari permasalahan tersebut
maka kami mencoba untuk mencari solusi atas permasalahan tersebut. Hal tersebut
lazim dilakukan dan sepertinya merupakan metode yang baik untuk menyelesaikan
berbagai masalah sosial. Apalagi ditambah argumen bahwa pihak akar rumput,
dalam konteks kami adalah anak jalanan, terlibat dalam penggalian masalah.
Bisa dikatakan program yang
dijalankan bersifat pemberdayaan karena juga melibatkan akar rumput. Tetapi
dalam kenyataannya kadang program yang dijalankan tidak berjalan dengan efektif
dan terkesan sebagai formalitas saja. Walau program sesungguhnya adalah solusi
atas permasalahan yang terjadi, kadang program tidak efektif karena tidak
selaras dengan pola pikir akar rumput.
Pola pikir tersebut bisa kita katakan
sebagai logika akar rumput. Beberapa pegiat di komunitas kami adalah mahasiswa
dengan pola pikir intelektual berdasarkan teori yang dipeoleh dari lembaga
kampus. Walaupun teori-teori tersebut sudah dibuktikan kesahihannya, kadang
teori telah kehilangan konteks di lapangan.
Satu minggu yang lalu saya berbincang
cukup lama dengan 3 anak jalanan (Bagas, Ganjar dan Joko). Saat ini mereka
telah tinggal di SSCJ Corner (Save Street Child Jogja Corner) tidak lagi di
jalan. Saya mengajukan pertanyaan sederhana mengenai tinggal di jalanan. Apakah
mereka lebih menyukai tinggal di jalanan atau di rumah. Ketiga anak tersebut
sebenarnya masih memiliki orang tua dan rumah walau berada di luar kota Jogja.
Ketiga anak tersebut mengatakan bahwa
hidup di jalanan lebih menyenangkan dan nyaman daripada tinggal di jalanan.
Selain karena ada permasalahan di rumah, mereka mengatakan bahwa kehidupan di
jalan lebih memberikan pengalaman hidup. Mereka menambahkan bisa saja tinggal
di shelter yang dikelola oleh Dinas Sosial, namun mereka tetap memilih tinggal
di jalan bersama teman-teman, keluarga mereka saat ini.
Saya sebagai seorang mahasiswa dan
pernah besar bersama keluarga memiliki sebuah pemikiran lain. Tentu saya berpikir
bahwa hidup di rumah bersama keluarga saya lebih nyaman dan menyenangkan, walau
konteks keluarga kami berbeda dan sesungguhnya tidak bisa dibandingkan. Latar
belakang saya memberikan sebuah gambaran mengenai pola pikir saya. Ditambah
teori-teori yang saya baca mengenai hak anak dan kesejahteraan telah
memperjelas pola saya berpikir mengenai kehidupan anak jalanan.
Di dalam kondisi seperti ini, saya
sebagai seorang yang terlibat dalam pembuatan program kegiatan komunitas
berpikir menggunakan pola pikir saya yang berbeda dengan logika akar rumput
yang mereka miliki. Saya kira masalah tersebut adalah sebab dari tidak
selarasnya program yang dilakukan.
Timbul sebuah pertanyaan dalam benak
saya. Lalu apa yang bisa saya lakukan? Jika saya dan anak jalanan memiliki
pandangan yang kontras. Apakah saya sebagai orang yang dikatakan lebih
sejahtera daripada mereka diperbolehkan memaksakan pola pikir saya untuk
mereka? Atau sebaliknya, kita harus mengalah dengan logika akar rumput mereka?
Saat ini saya mengambil sikap
mengalah kepada logika akar rumput, tentu saja dengan batasan tertentu. Save
Street Child Jogja adalah organisasi penyokong komunitas, sehingga saya pikir
kami tidak berhak memaksakan pola pikir kami kepada mereka. Tetapi bukan
berarti kami hanya akan menurut dengan pola pikir mereka.
Jika proses perubahan bisa dilakukan
dengan komunikasi. Maka jalan yang terbaik bagi komunitas saya adalah terus
menjalin komunikasi intens dengan anak-anak jalanan. Dengan komunikasi saya
kira sebuah logika akar rumput bisa berkembang. Akhirnya kami selaku pegiat
organisasi penyokong komunitas memiliki sebuah visi atau pandangan yang sama
dengan mereka, anak-anak jalananan.
No comments:
Post a Comment