Delapan Maret tidak berbeda dengan hari-hari lainnya selain sebuah memori
yang tertaut dalam sebuah kisah. Memori yang diingat setiap tahunnya dalam
sebuah perayaan sakral. Bukan sebuah pesta dengan lilin-lilin yang menyala
jingga atau dekorasi lampu kerlap-kerlip romantis. Hanya sebuah waktu sejenak
untuk mengenang lampau dimana mereka sadar pernah berdua. Sekelumit waktu itu
hanya ada mereka saja, Panda dan Beaver.
Sudah tiga tahun ini mereka tinggal berjauhan dan sudah tiga tahun pula
ikatan itu terurai. Namun tetap saja 8 Maret menjadi bekas dalam ingatan
mereka. Seolah tidak bisa dihapus atau sengaja ingin disimpan.
Tak ada yang menyangkal bahwa jarak spasial tidak ada kaitannya dengan kedekatan
hati. Namun bagi mereka interaksi nyata tak bisa mereka sangkal dan 369 km atau
9 jam perjalanan kereta adalah sebuah tempuh. Jauh adalah sauh tanpa labuh,
hati yang tak tertambat. Dimulai dari sebuah pengkhianatan dan luka, mereka pun
jauh hingga kini.
Terkabar berita bahwa dua orang sahabat akan pergi ke Kota Bandung. Kota
yang selama tiga tahun ini menjadi perantauan studi bagi Panda. Sahabat ini
akan menghabiskan waktu di akhir pekan atau tepat pada tanggal 8 Maret.
Seorang sahabat akan berangkat dari Yogyakarta, kota yang membesarkan
Beaver sekaligus kota dimana mereka bertemu 4 tahun silam. Terlintas bayangan
kejutan jika dia juga turut ikut pergi ke kotanya. Namun bagaimana dia akan
tahu kedatangan sahabatnya itu pikir Panda. Dia sebenarnya juga ragu apakah Beaver
masih ingat tentang 8 Maret.
Tengah malam ketika dia terbangun dari waktu bedrest-nya akibat deraan kegiatan dari unit mahasiswa yang dia
ikuti. Dia terduduk dan memikirkan mengenai dia yang lama sekali tak memberi kabar.
Kali ini dia merasa kehilangan ketika sempat merasa muak dengan kelakuan Beaver
yang menerornya dengan kata-kata yang tidak ingin didengarnya, cinta.
Diraihnya handphone yang tergeletak di tergeletak di kasurnya. Dengan dua
tangan dia memegang, dua jempolnya menginjak-injak keypad secara bertubi-tubi. Sebuah keyakinan dan kehendak yang
kuat.
“Mas, sudah tidur?”
[sending…] [sent] [seen]
Matanya
terbelalak tak yakin, tengah malam seperti ini dia belum tidur batinnya. Atau
jangan-jangan dia terbangun dari tidurnya karena suara dering handphonenya?
“Baru
saja pulang, kamu lagi apa?”
“Bed
rest seharian ini.”
“Sakit
lagi?”
“Biasa,
langganan.”
“Kecapekan?”
“Tebak!”
“Banyak
kegiatan, pikiran lalu kamu drop.”
“Aku
pengen curhat.”
“I
will be good listener.”
“Aku
ingin kamu kesini.”
[sending…] [sent] [seen]
…………………
“Mas?”
[sending…] [sent] [……]
Panda
menunggu kata-kata yang akan keluar dari jendela chatnya. Namun lama dia
menunggu tak kunjung muncul juga. Obrolan malam itu telah usai, tanpa pamit
atau ucapan selamat malam yang mereka ucapkan tiap malam dulu.
Di
kamar lain di Kota Yogyakarta. Hanya tinggal lampu tidur menyala kuning, seisi
rumah telah gelap. Beaver duduk di pinggir kasur menatap layar handphone yang
menyala terang. Matanya menyiratkan keraguan. Pikirannya berkecamuk. Dia
sungguh tidak percaya, seseorang yang tak mampu ia gapai berhenti dan
memanggilnya balik justru ketika dia sudah merasa lelah dengan semua itu. Bukankah
mereka telah sama-sama lelah dan jengah dengan drama dan melankolia.
Sepintas
potongan-potongan fragmen masa lalu merasuki alam pikirannya. Tubuhnya
bergetar, pelupuk mata tak mampu menahan lelehan air mata yang datangnya entah
darimana. Dia yang merasa berdosa atas semua yang terjadi. Luka, derita dan
hal-hal yang tidak masuk akal lainnya. Semua bermuara pada dirinya. Ego yang
dia umbar semaunya, menjelma menjadi binatang liar atas nama kebebasan.
Dia
pun terlelap, mendekap guling dengan erat membayangkan kekasihnya yang dulu. Dia
berbisik lirih, mengucapkan maaf.
Sabtu
pagi tanggal 8 Maret di Stasiun Kiara Condong, lalu-lalang manusia menembus
udara pagi Kota Bandung. Beaver duduk di deretan bangku stasiun, seperti
orang-orang yang duduk di sampingnya, dia menunggu kereta yang akan tiba.
Diremas-remas kedua tangannya, mengumpulkan hangat dari tubuhnya.
Suara
surau petugas kereta dari speaker stasiun memberitahukan kedatangan kereta.
Dari timur tempat sang mentari muncul, kereta yang ditunggu-tunggunya muncul.
Beberapa petugas peron bersiap mengamankan daerah sekitar yang mulai diserbu
oleh penumpang yang ingin segera masuk ke kereta.
Decit
rel kereta, pelan-pelan kereta itu berhenti. Orang-orang berhamburan keluar
dari gerbong-gerbong. Dari kejauhan Beaver melihat sahabatnya berkelit
menghindari penumpang yang berjalan ke arah yang berlawanan. Hanya satu orang
saja yang dia lihat.
Tangan
sahabatnya melambai di udara, senyum manisnya menyambut Beaver yang telah cukup
lama menanti. Dipeluknya sahabat yang sudah lama tidak ditemuinya.
“Hey
apa kabar?” Tanya sahabatnya.
“Sendirian
saja?” Beaver memandang jauh, mencari seseorang yang sepertinya tak akan
datang.
“Sama
siapa lagi? Kan Sofi berangkat dari jakarta.”
Kini
Beaver tersadar, seseorang yang menciptakan perayaan 8 Maret tidak akan datang
ke Bandung bersama sahabatnya. Angan-angan yang menyala kini mati tertiup angin
pagi. Dia melihat sahabatnya yang berada di depannya bukan Beaver yang secara
ajaib berada di depan matanya. Gambaran nyata yang dihadapinya saat ini, bukan
khayalan.
Baginya
8 Maret cukuplah menjadi miliknya dan sahabatnya yang berkunjung di akhir
pekan. Dia hanya bisa berharap semoga di akhir pekan yang akan padat bersama
sahabatnya, ada waktu sejenak untuk untuk secara syahdu menikmati kenangan yang
tertaut. Hanya itulah satu-satunya yang dimilikinya sekarang.
Sabtu
pagi di Kota Yogyakarta, Beaver melihat jam dinding yang terpajang setia di
tembok ber cat putih. Seolah ada yang memanggilnya pagi ini. Bayangannya
terbuang jauh ke sebuah kota yang lama tidak dia kunjungi, Bandung. Jika saja
dia berangkat menggunakan kereta tadi malam, saat ini dia akan tiba di kota
tersebut.
Matanya
beralih ke sebuah kalender kecil di mejanya. Lingkaran warna merah melingkari
sebuah angka 8 di Bulan Maret. Ini adalah hari yang dia nanti. Sejak semalam
dia belum tidur terpaku di depan laptopnya. Berlari ke dalam dunia layar dimana
dia bisa menjadi siapa saja.
Dia
bertanya-tanya apakah orang yang berada di kota lain itu masih mengingat
tentang 8 Maret. Senyum tipis terlihat dari wajahnya, wajah yang semalam
gelisah berangsur menjadi lebih tenang dan santai. Dia mengoreksi pikirannya,
buat apa dia bertanya seperti itu.
Kembali
dia menatap layar laptop, tertulis sebuah judul “8 Maret”. Pagi ini, cukuplah
baginya sebuah dunia lain dalam tulisan untuk 8 Maret. Dia mematikan laptop
yang semalam telah menemaninya. Dan semuanya telah usai untuk 8 Maret untuknya
kali ini.