Friday, 7 March 2014

8 Maret



Delapan Maret tidak berbeda dengan hari-hari lainnya selain sebuah memori yang tertaut dalam sebuah kisah. Memori yang diingat setiap tahunnya dalam sebuah perayaan sakral. Bukan sebuah pesta dengan lilin-lilin yang menyala jingga atau dekorasi lampu kerlap-kerlip romantis. Hanya sebuah waktu sejenak untuk mengenang lampau dimana mereka sadar pernah berdua. Sekelumit waktu itu hanya ada mereka saja, Panda dan Beaver.
Sudah tiga tahun ini mereka tinggal berjauhan dan sudah tiga tahun pula ikatan itu terurai. Namun tetap saja 8 Maret menjadi bekas dalam ingatan mereka. Seolah tidak bisa dihapus atau sengaja ingin disimpan.
Tak ada yang menyangkal bahwa jarak spasial tidak ada kaitannya dengan kedekatan hati. Namun bagi mereka interaksi nyata tak bisa mereka sangkal dan 369 km atau 9 jam perjalanan kereta adalah sebuah tempuh. Jauh adalah sauh tanpa labuh, hati yang tak tertambat. Dimulai dari sebuah pengkhianatan dan luka, mereka pun jauh hingga kini.
Terkabar berita bahwa dua orang sahabat akan pergi ke Kota Bandung. Kota yang selama tiga tahun ini menjadi perantauan studi bagi Panda. Sahabat ini akan menghabiskan waktu di akhir pekan atau tepat pada tanggal 8 Maret. 
Seorang sahabat akan berangkat dari Yogyakarta, kota yang membesarkan Beaver sekaligus kota dimana mereka bertemu 4 tahun silam. Terlintas bayangan kejutan jika dia juga turut ikut pergi ke kotanya. Namun bagaimana dia akan tahu kedatangan sahabatnya itu pikir Panda. Dia sebenarnya juga ragu apakah Beaver masih ingat tentang 8 Maret.
Tengah malam ketika dia terbangun dari waktu bedrest-nya akibat deraan kegiatan dari unit mahasiswa yang dia ikuti. Dia terduduk dan memikirkan mengenai dia yang lama sekali tak memberi kabar. Kali ini dia merasa kehilangan ketika sempat merasa muak dengan kelakuan Beaver yang menerornya dengan kata-kata yang tidak ingin didengarnya, cinta.
Diraihnya handphone yang tergeletak di tergeletak di kasurnya. Dengan dua tangan dia memegang, dua jempolnya menginjak-injak keypad secara bertubi-tubi. Sebuah keyakinan dan kehendak yang kuat.
“Mas, sudah tidur?”
[sending…] [sent] [seen]
Matanya terbelalak tak yakin, tengah malam seperti ini dia belum tidur batinnya. Atau jangan-jangan dia terbangun dari tidurnya karena suara dering handphonenya?
“Baru saja pulang, kamu lagi apa?”
“Bed rest seharian ini.”
“Sakit lagi?”
“Biasa, langganan.”
“Kecapekan?”
“Tebak!”
“Banyak kegiatan, pikiran lalu kamu drop.”
“Aku pengen curhat.”
“I will be good listener.”
“Aku ingin kamu kesini.”
[sending…] [sent] [seen]
…………………
“Mas?”
[sending…] [sent] [……]
Panda menunggu kata-kata yang akan keluar dari jendela chatnya. Namun lama dia menunggu tak kunjung muncul juga. Obrolan malam itu telah usai, tanpa pamit atau ucapan selamat malam yang mereka ucapkan tiap malam dulu.
Di kamar lain di Kota Yogyakarta. Hanya tinggal lampu tidur menyala kuning, seisi rumah telah gelap. Beaver duduk di pinggir kasur menatap layar handphone yang menyala terang. Matanya menyiratkan keraguan. Pikirannya berkecamuk. Dia sungguh tidak percaya, seseorang yang tak mampu ia gapai berhenti dan memanggilnya balik justru ketika dia sudah merasa lelah dengan semua itu. Bukankah mereka telah sama-sama lelah dan jengah dengan drama dan melankolia.
Sepintas potongan-potongan fragmen masa lalu merasuki alam pikirannya. Tubuhnya bergetar, pelupuk mata tak mampu menahan lelehan air mata yang datangnya entah darimana. Dia yang merasa berdosa atas semua yang terjadi. Luka, derita dan hal-hal yang tidak masuk akal lainnya. Semua bermuara pada dirinya. Ego yang dia umbar semaunya, menjelma menjadi binatang liar atas nama kebebasan.
Dia pun terlelap, mendekap guling dengan erat membayangkan kekasihnya yang dulu. Dia berbisik lirih, mengucapkan maaf.
Sabtu pagi tanggal 8 Maret di Stasiun Kiara Condong, lalu-lalang manusia menembus udara pagi Kota Bandung. Beaver duduk di deretan bangku stasiun, seperti orang-orang yang duduk di sampingnya, dia menunggu kereta yang akan tiba. Diremas-remas kedua tangannya, mengumpulkan hangat dari tubuhnya.
Suara surau petugas kereta dari speaker stasiun memberitahukan kedatangan kereta. Dari timur tempat sang mentari muncul, kereta yang ditunggu-tunggunya muncul. Beberapa petugas peron bersiap mengamankan daerah sekitar yang mulai diserbu oleh penumpang yang ingin segera masuk ke kereta.
Decit rel kereta, pelan-pelan kereta itu berhenti. Orang-orang berhamburan keluar dari gerbong-gerbong. Dari kejauhan Beaver melihat sahabatnya berkelit menghindari penumpang yang berjalan ke arah yang berlawanan. Hanya satu orang saja yang dia lihat.
Tangan sahabatnya melambai di udara, senyum manisnya menyambut Beaver yang telah cukup lama menanti. Dipeluknya sahabat yang sudah lama tidak ditemuinya.
“Hey apa kabar?” Tanya sahabatnya.
“Sendirian saja?” Beaver memandang jauh, mencari seseorang yang sepertinya tak akan datang.
“Sama siapa lagi? Kan Sofi berangkat dari jakarta.”
Kini Beaver tersadar, seseorang yang menciptakan perayaan 8 Maret tidak akan datang ke Bandung bersama sahabatnya. Angan-angan yang menyala kini mati tertiup angin pagi. Dia melihat sahabatnya yang berada di depannya bukan Beaver yang secara ajaib berada di depan matanya. Gambaran nyata yang dihadapinya saat ini, bukan khayalan.
Baginya 8 Maret cukuplah menjadi miliknya dan sahabatnya yang berkunjung di akhir pekan. Dia hanya bisa berharap semoga di akhir pekan yang akan padat bersama sahabatnya, ada waktu sejenak untuk untuk secara syahdu menikmati kenangan yang tertaut. Hanya itulah satu-satunya yang dimilikinya sekarang.
Sabtu pagi di Kota Yogyakarta, Beaver melihat jam dinding yang terpajang setia di tembok ber cat putih. Seolah ada yang memanggilnya pagi ini. Bayangannya terbuang jauh ke sebuah kota yang lama tidak dia kunjungi, Bandung. Jika saja dia berangkat menggunakan kereta tadi malam, saat ini dia akan tiba di kota tersebut.
Matanya beralih ke sebuah kalender kecil di mejanya. Lingkaran warna merah melingkari sebuah angka 8 di Bulan Maret. Ini adalah hari yang dia nanti. Sejak semalam dia belum tidur terpaku di depan laptopnya. Berlari ke dalam dunia layar dimana dia bisa menjadi siapa saja.
Dia bertanya-tanya apakah orang yang berada di kota lain itu masih mengingat tentang 8 Maret. Senyum tipis terlihat dari wajahnya, wajah yang semalam gelisah berangsur menjadi lebih tenang dan santai. Dia mengoreksi pikirannya, buat apa dia bertanya seperti itu.
Kembali dia menatap layar laptop, tertulis sebuah judul “8 Maret”. Pagi ini, cukuplah baginya sebuah dunia lain dalam tulisan untuk 8 Maret. Dia mematikan laptop yang semalam telah menemaninya. Dan semuanya telah usai untuk 8 Maret untuknya kali ini.

No comments:

Post a Comment