Saturday, 11 April 2015

Camp Asssesment Tidak Manusiawi



Kawan-kawan, Perda Penanganan Gelandangan dan Pengemis No 1 Tahun 2014 telah berlaku selama 1 Tahun. Mekanisme dalam pelaksanaan Perda tersebut adalah melarang semua orang untuk mencari penghidupan di jalan. Satpol PP dibantu dengan pihak terkait melakukan razia untuk menertibkan. Ketika ada orang jalanan ditangkap, mereka lalu dibawa ke camp assesment. Camp assesment adalah tempat yang diselenggarakan oleh dinas sosial untuk dibina karakter dan wataknya. Namun alih-alih membina, camp assesment justru menjadi tempat terjadinya pelanggaran hak asai manusia bagi orang jalanan.

Fasilitas yang disediakan di camp assesment tidak layak sama sekali. Penguni tidak bisa menggunakan air dengan baik karena air tidak lancar dan itupun berwarna coklat. Orang jalanan yang ditangkap dengan tangan kosong tidak sempat untuk membawa baju ganti dan alat mandi. Pemberian baju dan alat mandi sangat minim. Bahkan ketika saya dan kawan-kawan jaringan datang ke camp assesment, banyak orang jalanan yang memakai baju yang sama karena tidak punya baju ganti. Makan 3 kali sehari jamnya tidak teratur. Itupun sangat sedikit.

Karantina di ruang penangkapan awal tidak manusiawi. Mereka mencampur antara gelandangan psikotik dengan yang lain. Bisa jadi ada anak-anak jalanan yang tertangkap harus berkumpul dengan gelandangan psikotik dan orang dewasa.

Tidak ada yang bisa dilakukan oleh orang jalanan di camp assesment. Menurut penuturan seorang kawan jalanan yang ditangkap, camp assesment mengadakan kegiatan pengajian, seni dari ISI, dari polsek 3 kali dalam seminggu, tetapi isinya sama semua doktrin, sehingga mereka malas mendengarkan. Selain itu tidak ada komunikasi yang baik antara pendamping orang jalanan di camp assesment. Hal itu membuat ketidakpastian terhadap masalah yang mereka hadapi. Bahkan ketika saya berbicara dengan orang jalanan di camp assesment, mereka tidak tahu kesalahan apa yang telah mereka perbuat.

Pekerja yang bekerja di camp assesment juga tidak memiliki kualifikasi yang mumpuni. Mereka tidak memiliki pengetahuan terhadap isu HAM dan orang termarjinalkan. Mereka juga tidak paham sekali jika berhadapan dengan seorang ODHA (Orang Dengan HIV Aids). Satu kasus, seorang kawan ODHA harus berhenti minum ARV karena tidak bisa mengakses obat tersebut. Konfidensial ODHA juga sangat rentan karena pekerja camp assesment tidak tahu mengenai hal ini. Per 8 april ada sekitar 163 orang jalanan dan 70 sekian orang psikotik. Sedangkan pekerja sosial (peksos) atau pendamping hanya ada 12 orang dan bertanggung jawab untuk mengawal minimal 5-20 orang. Bisa dibayangkan bagaimana orang jalanan ditangani disana? Camp assesment memiliki klinik, ada 2 dokter yang siap sedia dibantu dengan pegawai honorer setiap hari. Namun sayang klinik itu tutup pada jam 1 siang.

Apakah kita akan tetap diam sementara orang jalanan mendapatkan kekerasan setiap harinya di camp assesment? Mari kita tolak Perda Penanganan dan Gelandangan No 1 tahun 2014 Yogyakarta.

Paraf Petisi dibawah ini:

https://www.change.org/p/dprd-diy-dinas-sosial-yogyakarta-sujanarko-revisi-perda-penanganan-gelandangan-dan-pengemis-no-1-tahun-2014

Saturday, 4 April 2015

Batas Membatasi Agama



Tidak ada yang membahas agama secara langsung semalam. Entah kenapa tiba-tiba hal yang cukup sensitif itu mencicit berisik di kepalaku hingga mengusik memori-memori masa lalu. Masih teringat dengan jelas ketika aku bertemu dengan seorang kawan kampus saat melihat demonstrasi di depan gedung DPRD. Aku bertanya organisasi apa yang diwakilinya? Dia menggelengkan kepala, walau secarik kain tanda demonstran telah melingkar di lengannya, tidak ada satupun organisasi yang diwakili oleh dirinya kecuali dirinya sendiri. Baru beberapa minggu setelah pertemuan itu kami berdiskusi kenapa dia ingin sekali bergabung dengan lsm atau organisasi di luar kampus. Ada represi tidak langsung, ada kebebasan yang terbatas, hanya karena dia berbeda dari agama mayoritas. 

Beberapa bulan setelah itu aku bertemu dengan kawan kampus lainnya. Seseorang yang melihatku berbeda hari itu karena sangat aktif di dalam gerakan perjuangan LGBT. Aku duduk di depannya, melihatnya yang terlihat sangat antusias dengan berbagai pertanyaan. Dia juga salah seorang kawan yang sangat tertarik untuk bergabung di LSM di luar kampus. Merasa minoritas dan tentu saja tidak bebas menjadi satu dari alasan lainnya. Aku merasa sangat miris, baru akhir-akhir itu saja aku banyak berbicara secara intim dengan kawan-kawan minoritas kampus. Sebuah pertemuan yang sangat mencerahkan, tetapi sebenarnya dia sempat takut untuk bertemu denganku. Apalagi dulu aku dikenalnya sebagai seorang ilam yang taat dan pengusung khilafah, pendukung politik islam di kampus. Aku tersentak, dia malah terkekeh. 

Aku menyadari benar waktu itu mahasiswa bergerak dan berjuang berdasarkan kelompok dan golongannya masing-masing. Hari ini aku melihat hal serupa di dalam sebuah lingkup yang lebih luas. Bahkan ada yang menggunakan tongkat dan samurainya untuk mencapai tujuannya. 

Sebenarnya bagaimana negara ini didesain. Pada Pancasila Tuhan duduk agung di sila pertama, sementara di undang-undang 45 ayatnya mengatakan bahwa negara Indonesia berasaskan asas hukum. Dimanakah batas agama di dalam kehidupan masyarakat yang majemuk ini? Kita berbicara di suatu masyarakat umum yang melihat agama secara simbolik, belum sejauh melihatnya sebagai makna. Bahwa memiliki simbol berbeda adalah suatu perbedaan yang menciptakan kelas dan kelompok-kelompok di dalam masyarakat, mayoritas dan minoritas.  Apa yang terjadi jika masyarakat terbagi kedalam fragmen-fragmen tertutup. Jika bukan represi, hegemoni, tentu saja clash. 

Berbicara batas aku sama sekali tidak setuju dengan Turki dan Prancis yang melarang pemakaian atribut keagamaan di ruang publik. Bagiku hal semacam itu adalah bentuk pelucutan beribadah dan beragama. Namun di suatu konteks kehidupan beragama yang memiliki batas di dalam masyarakat majemuk tertentu bisa menyinggung kenyamanan bersama. Apalagi karakter masyarakat pada umumnya masih tersusun antara mayoritas dan minoritas. Aku rasa membatasi agama itu perlu. Aku berbicara mengenai pembatasan agama di ruang publik. Apa itu ruang publik? Sepeetinya aku butuh lembaran kertas lain untuk menjelaskannya. Sejauh ini aku hanya bisa memikirkan dua hal, yaitu akses dan subordinasi.

Akses terkait dengan jalur yang bisa ditempuh oleh siapa saja. Entah hal itu terkait dengan beribadah, berpolitik dan lain-lain. Misal, syarat minimal pendirian tempat ibadah. Sedangkan subordinasi adalah sebuah proses dimana terjadi stratifikasi atas-bawah. Siapa yang berkuasa dan siapa yang dikuasi, walau relasi semacam ini tidak bisa dilihat secara eksplisit. Hal seperti ini lebih mudah ditemukan di dalam kehidupan berpolitik. Politik yang menggunakan tameng agama untuk meraih kuasa. Menurutku, jika beragama membuat batas eksklusif dan menjadikan satu pihak menjadi sublevel, maka ada batas agama yang kebablasan. 

Siapa yang membatasi? Aku sendiri sedang mengalami dilema untuk menjawab pertanyaan ini. Sejauh ini aku sudah terlanjur tidak pernah percaya dengan negara. Dan hari ini aku menulis ini semua dengan perasaan seorang minoritas. Minoritas di dalam minoritas. Tidak ada yang lebih berarti kecuali perasaan.