Wednesday, 22 June 2016

Pengungsi di Vihara



Ketenangan di dalam keriuahan pusat wisata, tidak pernah kubayangkan sebelumnya ada tempat dimana orang-orang berdoa khusuk diantara desakan turis yang ingin berfoto gila. Kolam memanjang dengan bunga-bunga warna ungu dan putih. Si ikan mengintip malu-malu, bersembunyi dibalik daun teratai yang hampir bulat penuh. Kinara-kinari mengamati secara seksama, menjaga, tak pernah lelah di pojok-pojok kolam. Mengabdikan hidupnya melindungi kolam itu dari marabahaya. Kujentikkan permukaan kolam dengan jariku, merusak lentik kolam yang tenang. Ikan-ikan bertebaran kesegala penjuru mencari persembunyian baru. Tanpa sepengetahuanku, dia menatapku tajam, memperingatkanku yang usil. Aku pun menghampirinya dengan senyum, menjelaskan padanya bahwa aku tak pernah berniat jahat apapun. Kami pun segera pergi ke dalam vihara. Bau dupa tercium kuat, terbakar di depan altar Sang Buddha yang tertidur dengan tangan yang menyangga kepalanya. Dia bersimpuh, menyalakan dupa dan menancapkannya, berdoa dengan cara dan kata yang tak pernah kupahami. 

Selesai berdoa dia mengajakku berkeliling vihara. Ada beberapa vihara  di dalam vihara tersebut. Pada awalnya aku sedikit kebingungan memahami hal tersebut. Namun setelah dia bercerita bahwa vihara-vihara itu dibangun sebagai lambang persahabatan antar umat Buddha di beberapa negara seperti Thailand dan Jepang, pertanyaanku terjawab dengan sendirinya. Di beberapa tempat di vihara ada beberapa patung Buddha dengan para Bodhisatva. Sekilas aku melihat beberapa ukiran yang mirip dengan ukiran Jawa dan Bali. Aku mengira hal itu sebuah akulturasi yang terjadi antara agama dan kultur setempat. Jika demikian maka agama menemukan dirinya dengan kultur-kultur setempat seperti yang aku lihat di dalam vihara ini. 

Denting syahdu bergema, alam memainkan melodinya pada pipa-pipa alumunium yang tergantung memutar di pojok gedung perpustakaan. Terbesit pemikiran bahwa keindahan bukanlah ciptaan manusia melainkan alam itu sendiri. Seperti nada harmonis yang baru saja kudengerkan, bunyi yang digerakkan oleh angin (alam). Menciptakan keindahan alami, mensucikan jiwa-jiwa kami yang terpolusi. 

Kami menemui beberapa biksu yang sedang melakukan rutinitas di vihara. Satu diantara mereka bertanya, “Foto-foto?”

Pertanyaan yang bagiku sangat ambigu. Apakah maksudnya kami ingin berfoto dengannya atau dia mempersilahkan kami untuk mengambil foto di vihara ini. Seandainya dia berhenti dari rutinitasnya dan mengajakku berbicara maka akan aku jelaskan bahwa kami disini bukan untuk mencari hiburan dan eksistensi sosial media. Lantas akan kuluruskan pandangannya mengenai label turis yang disematkan pada kami. Tetapi itu seandainya saja. 

Kami memasuki sebuah ruangan perpustakaan kecil yang berada satu atap dengan vihara.Kuintip deretan buku-buku itu dari balik kaca, aku langsung takjub. Deretan buku-buku dengan caption “filsafat” dan “meditasi” memikatku. Segera kubuka rak buku itu dan mengambil buku-buku kuno secara acak. Pikiranku terbuka lebar,memahami dan meresapi,bahkan kadang imajinasi lari seliar-liarnya. Waktu pun menjadi sia-sia di ruangan itu. Aku terhanyut pada tulisan-tulisan dan makna dibaliknya. 

Tak terasa sore pun berada di penghujung hari. Kami tutup buku-buku kami dan mengembalikannya pada tempat semula. Biksu-biksu satu persatu masuk ke vihara untuk berdoa sore, melewati kami dengan senyum yang tulus. Seandainya aku tahu bagaimana mengucapkan salam dengan cara Budhha, aku akan menyalami mereka satu-satu. Kami keluar dari ruang perpustakaan. Kulihat sekitar dengan seksama, tiba-tiba aku merasakan sebuah keganjilan. Batinku mencoba menelisik,mencari tahu ada apa sebenarnya. 

“Bayangkan, biksu yang mencoba lepas dari kehidupan duniawi, mereka tinggal dalam sangkar surgawi semacam ini. Berapa rupiah yang harus dikeluarkan untuk merawat vihara ini setiap bulannya?” Tiba-tiba dia bertanya secara spontan.

Aku tercekat mendengar pertanyaan yang dilontarkannya. Aku tak berani menjawab dan mencoba untuk meresapi pertanyaannya terlebih dahulu. Pertanyaannya ada benarnya, sebenarnya apa makna menjadi seorang biksu dan tinggal di dalam vihara? Ada kekhawatiran dalam diriku akan menemui sebuah kenyataan bahwa simbol biksu akan kesederhanaan dan meninggalkan hal-hal keduniawian akan hancur. Jika melihat sekitarku sekarang ini maka para biksu ini hidup lebih makmur daripada orang-orang miskin di bantaran sungai. Aku takut mereka hidup di sebuah vihara yang eksklusif dan jauh dari umat. Terjadi banalitas makna kehidupan biksu. Lalu apa sesungguhnya makna suci dan profan? Fana dan abadi? Kebajikan dan Berlimpahan?

Kulihat dirinya yang berdiri tegak dengan pendirian dan perspektifnya mengenai dunia. Seorang punk yang belum lama kukenal, dia yang dimata masyarakat adalah orang-orang yang menyimpang. Namun sejauh yang aku lihat, jauh lebih bijak dan jujur daripada orang-orang terpandang dan suci. Mampu melihat realitas sebagai hiperealitas yang tumpang tindih lalu menjadi jujur karena pilihannya yang berani. Memang dia suka membaca buku dan teori-teori, tetapi dia tak terjebak pada diskursus eklusif dan mampu membawanya pada tataran realitas paling sederhana, ligkungannya sendiri.

Tahukah, beberapa hari ini dia menyatakan cintanya kepadaku. Ketika aku bertanya mengenai alasannya mencintaiku dia berkata “cinta saja”. Jawabannya membuat diriku ragu dan tidak terlalu mempercayainya. Tetapi akhir-akhir ini benar-benar merasakan keberadaannya. Dia memelukku ketika hatiku goyah, kami tertawa bersama pada perjamuan seorang kawan, hingga menemaniku terhanyut pada mimpi-mimpi yang kadang seram. Dia mengartikan cinta dengan keberadaannya di dalam kehidupanku secara nyata. Bukan seperti mereka yang hanya bilang cinta saja tetapi secara fisik tak pernah hadir. Dimabuk kepayang oleh kata-kata cinta yang kehilangan makna. Tak pernah membalas kasih dan lebih sibuk dengan dirinya sendiri. Tak pernah memberi selamat ulang tahun atau lebih parah lagi tak pernah berkata terima kasih atas apa yang didapatnya. 

Dia yang kukenal akhir-akhir ini memaknai dengan tindakanya. Dia memang tidak terlihat sebagai orang suci, tetapi bagiku dia tidak lebih profan dari biksu dan mereka yang tak mau kusebut namanya.

Kami pun meninggalkan tempat itu dan berjanji tak akan pernah pergi ketempat itu lagi. Lebih baik mengembara dalam kesendirian dan menjadikan kehidupan sebagai guru katanya dengan senyum lepas.





Monday, 20 June 2016

Selingkuh adalah Posmodern



Ini adalah sebuah jebakan. Malam ini seperti malam di masa lalu, lautan gelap meraung-raung. Dia  bergemuruh dan anginnya membuat gigiku gemeretak. Baru saja kami beramai-ramai tertawa di bibir pantai, tetapi mereka dengan sengaja meninggalkan kami berdua. Mereka berdalih ingin menikmati quality time mereka berdua. Bedebah! ini adalah jebakan gumamku. Seperti masa lalu kami akhirnya hanya berdiam diri berdua, namun kini kami memiliki jarak yang walau hanya sedekap tetapi terasa sangat jauh. Diam dulu menjadi momen menikmati, kini menjadi momen bertanya-tanya. 

Beberapa minggu yang lalu seorang sahabat mengatakan akan pergi ke Jogja dan mengajakku menghabiskan waktu liburannya sebagai pegawai ibu kota yang sangat singkat dan nanggung. Katanya itu lebih baik daripada tidak memiliki liburan sama sekali. Tentu saja, dengan uang yang diraupnya dengan pengekangan, liburan lebih berharga dari kehidupan gaya-gayaan yang diburunya ketika weekend tiba. 

Aku berpikir mungkin dia hanya mengajak aku dan sahabat lamanya yang sekarang tinggal dan bekerja di Jogja. Ternyata dia mengajak seseorang yang sebenarnya aku tidak perlu kaget jika dia juga berada di antara kami. Bahkan aku sempat menduga dia akan datang juga dan aku berharap pula akan keberadaannya diantara kami. Kami berempat memang memiliki relasi yang cukup unik dan dekat. Tetapi aku dan dia memiliki sebuah relasi rumit yang tidak pernah selesai walau kami sama-sama tahu pernah saling mencintai. Mungkin itulah yang membuat segalanya menjadi rumit.

   Setahun yang lalu kami bertemu kembali dan setelah meninggalnya kekasihku aku benar-benar berani untuk terang-terangan mencintainya. Mungkin aku terlalu agresif, atau mungkin saja aku sudah tidak mengenal dirinya yang berubah. Untuk kesekian kalinya semua berakhir buruk. Bahkan aku berjanji kepada diriku untuk menyisihkan dirinya dari kehidupanku untuk selamanya. Sayangnya dia kembali hadir. Lebih tepatnya dia menghadirkan dirinya kembali ke dalam kehidupannku dan aku tidak pernah bisa menolaknya. 

Menghadapi janji yang harus kulanggar, memberanikan diri melawan trauma masa lalu dan menahan diri untuk tidak jatuh kembali. Betapa sulitnya untuk tidak memikirkan mengenai dirinya walau kita hanya bertemu sesaat ketika mengobrol biasa di Excelso Malioboro ketika menemaninya menunggu bus travel-nya.

Anjing! Seharusnya aku biasa saja dan seharusnya pula dia biasa saja setelah kita bertemu dua kali kesempatan terakhit. Tetapi kenapa di malam ini aku benar-benar merasa canggung. Aku mendekap dadaku dengan kedua tanganku, meletakkan kening kepalaku pada dengkul kaki yang kutekuk kebelakang. Lama-lama aku berharap ingin sendiri saja daripada bersamanya yang diam.

“Bagaimana kabarnya?” Tanyanya memecah sunyi.
Kepalaku kuangkat, menyandarkan daguku pada dengkul. “Ya normal-normal saja.” Aku menjawab dengan cara yang menurutku sendiri pun aneh.
“Kamu semakin bahagia saja ya?!” Nadanya bercampur antara bertanya dan seolah memberikan penilaian.
“Aku tidak mencintainya.” Kata itu tiba-tiba muncul begitu saja. Ingin kutarik kembali, tetapi terlanjur keluar. Dalam hati aku bertanya-tanya kenapa aku terlalu jujur padanya.
“Hahaha....” Tawanya pecah. Ada sedikit nada sinis diakhirtawanya seperti biasa. Aku tak semakin karuan. Hinaan itu.
“Sejak tak memiliki cemburu, aku tak yakin aku memiliki cinta!” Sanggahku.
“Lalu bagaimana dengan kematian kekasihmu?” Dia menembakku.
“Kau tak perlu mengungkitnya!” Kataku.

Kami kembali terdiam kembali, sementara laut semakin bergemuruh. Tak ada bintang, tak ada bulan. Terdengar cekikikan ketawa dari kejauhan. Kuberanikan melirik dirinya, tak kusangka dirinya sedang menatapku sedari tadi. 

“Aku tidak merasa mencintainya. Terlebih aku hanya menginginkan teman hidup seperti yang pernah aku lalui bersama kekasihku dulu. Persetubuhan itu seolah hanya saling menggesekkan ketelanjangan dan memasukkan penis yang mengejan kedalam dirinya. Lalu orgasme, kadang bersamaan, kadang hanya aku atau dia.”
“Bulshit...!” Dia menyela.

Dia beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan diriku sendiri di bibir pantai. Kepergiannya justru membuat diriku lega, tapi aku berharap dirinya tidak merasa menjadi seorang sex buddy ku semata setelah apa yang telah kami lalui bersama. Tidak! Aku tidak boleh berpikir demikian karena itu justru akan membuatku merasa sangat bersalah lagi.

   Aku tidak pernah berharap orang lain, terutama dia untuk memahami kehidupanku. Aku berpikir membicarakan cinta adalah sia-sia karena itu diluar jangkauan manusia kecuali mereka memaksakannya di dalam ikatan pernikahan. Apa yang menggerakkan diriku untuk seks tak lebih daripada pemenuhan hasrat. Itu pun aku mulai bosan dengan cara-cara biasa hingga tertarik untuk mencampuradukkan dengan kekerasan kuasa dan simbol. 

Diluar itu semua aku tetaplah diriku yang penuh mimpi tetapi penuh pertimbangan. Aku yang tak mau menerima metanarasi yang disediakan dan memilih memeliki banyak perspektif hingga aku lupa bagaimana menjadi tegas di dalam suatu hal.

Aku kembali ke kamar cottage. Lampu sengaja kumatikan. Kubiarkan diriku dalam ketelanjangan dibawah pelukan selimut. Ini adalah salah satu cara diriku mendapatkan kebebasan. Menjadi telanjang, sendiri dalam kegelapan. 

Hingga menjelang pagi aku belum bisa tidur padahal aku merasa tidak memikirkan apapun. Tiba-tiba pintu kamar terbuka, aku sengaja berdiam diri. Terdengar pintu itu dikunci. Langkahnya berdecit, satu-demi satu dia melucuti pakaiannya. Lalu dia menyelinap ke dalam selimutku.

“Pernikahan itu adalah modern sedangkan perselingkuhan adalah posmodern”. Dia berbisik di belakang tengkuk leherku.