Ini adalah sebuah jebakan. Malam ini seperti malam
di masa lalu, lautan gelap meraung-raung. Dia
bergemuruh dan anginnya membuat gigiku gemeretak. Baru saja kami
beramai-ramai tertawa di bibir pantai, tetapi mereka dengan sengaja
meninggalkan kami berdua. Mereka berdalih ingin menikmati quality time mereka
berdua. Bedebah! ini adalah jebakan gumamku. Seperti masa lalu kami akhirnya
hanya berdiam diri berdua, namun kini kami memiliki jarak yang walau hanya
sedekap tetapi terasa sangat jauh. Diam dulu menjadi momen menikmati, kini
menjadi momen bertanya-tanya.
Beberapa minggu yang lalu seorang sahabat
mengatakan akan pergi ke Jogja dan mengajakku menghabiskan waktu liburannya
sebagai pegawai ibu kota yang sangat singkat dan nanggung. Katanya itu lebih
baik daripada tidak memiliki liburan sama sekali. Tentu saja, dengan uang yang
diraupnya dengan pengekangan, liburan lebih berharga dari kehidupan gaya-gayaan
yang diburunya ketika weekend tiba.
Aku berpikir mungkin dia hanya mengajak aku dan
sahabat lamanya yang sekarang tinggal dan bekerja di Jogja. Ternyata dia
mengajak seseorang yang sebenarnya aku tidak perlu kaget jika dia juga berada
di antara kami. Bahkan aku sempat menduga dia akan datang juga dan aku berharap
pula akan keberadaannya diantara kami. Kami berempat memang memiliki relasi
yang cukup unik dan dekat. Tetapi aku dan dia memiliki sebuah relasi rumit yang
tidak pernah selesai walau kami sama-sama tahu pernah saling mencintai. Mungkin
itulah yang membuat segalanya menjadi rumit.
Setahun yang lalu kami bertemu kembali dan
setelah meninggalnya kekasihku aku benar-benar berani untuk terang-terangan
mencintainya. Mungkin aku terlalu agresif, atau mungkin saja aku sudah tidak
mengenal dirinya yang berubah. Untuk kesekian kalinya semua berakhir buruk.
Bahkan aku berjanji kepada diriku untuk menyisihkan dirinya dari kehidupanku
untuk selamanya. Sayangnya dia kembali hadir. Lebih tepatnya dia menghadirkan
dirinya kembali ke dalam kehidupannku dan aku tidak pernah bisa menolaknya.
Menghadapi janji yang harus kulanggar,
memberanikan diri melawan trauma masa lalu dan menahan diri untuk tidak jatuh
kembali. Betapa sulitnya untuk tidak memikirkan mengenai dirinya walau kita
hanya bertemu sesaat ketika mengobrol biasa di Excelso Malioboro ketika
menemaninya menunggu bus travel-nya.
Anjing! Seharusnya aku biasa saja dan seharusnya
pula dia biasa saja setelah kita bertemu dua kali kesempatan terakhit. Tetapi
kenapa di malam ini aku benar-benar merasa canggung. Aku mendekap dadaku dengan
kedua tanganku, meletakkan kening kepalaku pada dengkul kaki yang kutekuk
kebelakang. Lama-lama aku berharap ingin sendiri saja daripada bersamanya yang
diam.
“Bagaimana kabarnya?” Tanyanya memecah sunyi.
Kepalaku kuangkat, menyandarkan
daguku pada dengkul. “Ya normal-normal saja.” Aku menjawab dengan cara yang
menurutku sendiri pun aneh.
“Kamu semakin bahagia saja ya?!”
Nadanya bercampur antara bertanya dan seolah memberikan penilaian.
“Aku tidak mencintainya.” Kata itu
tiba-tiba muncul begitu saja. Ingin kutarik kembali, tetapi terlanjur keluar.
Dalam hati aku bertanya-tanya kenapa aku terlalu jujur padanya.
“Hahaha....” Tawanya pecah. Ada
sedikit nada sinis diakhirtawanya seperti biasa. Aku tak semakin karuan. Hinaan
itu.
“Sejak tak memiliki cemburu, aku tak
yakin aku memiliki cinta!” Sanggahku.
“Lalu bagaimana dengan kematian
kekasihmu?” Dia menembakku.
“Kau tak perlu mengungkitnya!”
Kataku.
Kami kembali terdiam kembali, sementara laut
semakin bergemuruh. Tak ada bintang, tak ada bulan. Terdengar cekikikan ketawa
dari kejauhan. Kuberanikan melirik dirinya, tak kusangka dirinya sedang
menatapku sedari tadi.
“Aku tidak merasa mencintainya. Terlebih aku hanya
menginginkan teman hidup seperti yang pernah aku lalui bersama kekasihku dulu.
Persetubuhan itu seolah hanya saling menggesekkan ketelanjangan dan memasukkan
penis yang mengejan kedalam dirinya. Lalu orgasme, kadang bersamaan, kadang
hanya aku atau dia.”
“Bulshit...!” Dia menyela.
Dia beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan
diriku sendiri di bibir pantai. Kepergiannya justru membuat diriku lega, tapi
aku berharap dirinya tidak merasa menjadi seorang sex buddy ku semata setelah apa yang telah kami lalui bersama.
Tidak! Aku tidak boleh berpikir demikian karena itu justru akan membuatku
merasa sangat bersalah lagi.
Aku
tidak pernah berharap orang lain, terutama dia untuk memahami kehidupanku. Aku
berpikir membicarakan cinta adalah sia-sia karena itu diluar jangkauan manusia
kecuali mereka memaksakannya di dalam ikatan pernikahan. Apa yang menggerakkan
diriku untuk seks tak lebih daripada pemenuhan hasrat. Itu pun aku mulai bosan
dengan cara-cara biasa hingga tertarik untuk mencampuradukkan dengan kekerasan
kuasa dan simbol.
Diluar itu semua aku tetaplah diriku yang penuh
mimpi tetapi penuh pertimbangan. Aku yang tak mau menerima metanarasi yang
disediakan dan memilih memeliki banyak perspektif hingga aku lupa bagaimana
menjadi tegas di dalam suatu hal.
Aku kembali ke kamar cottage. Lampu sengaja kumatikan. Kubiarkan diriku dalam
ketelanjangan dibawah pelukan selimut. Ini adalah salah satu cara diriku
mendapatkan kebebasan. Menjadi telanjang, sendiri dalam kegelapan.
Hingga menjelang pagi aku belum bisa tidur padahal
aku merasa tidak memikirkan apapun. Tiba-tiba pintu kamar terbuka, aku sengaja
berdiam diri. Terdengar pintu itu dikunci. Langkahnya berdecit, satu-demi satu
dia melucuti pakaiannya. Lalu dia menyelinap ke dalam selimutku.
“Pernikahan itu adalah modern sedangkan
perselingkuhan adalah posmodern”. Dia berbisik di belakang tengkuk leherku.
No comments:
Post a Comment