![]() |
www.idigitaltimes.com |
Sebut aku Jaka, seorang pemuda desa yang berkuliah
di salah satu perguruan tinggi negri di Kota Pelajar, Yogyakarta. Sebagai
seorang penikmat karya seni (baca: high-art!), aku memiliki impian untuk selfie
dengan karya seni seniman keren yang dipamerkan Seni Jogja. Kenapa? Bukankah
setiap penikmat seni dan orang “femes” melakukan hal itu. Jika tahun lalu aku
belum bisa selfie karena “hangphone”-ku
belum memadai untuk selfie. Tahun 2015 ini, impianku segera menjadi nyata.
Sebuah smartphone buatan Cina hasil
dari uang beasiswa aku tumbalkan untuk mewujudkan impianku itu. Betapa
membahagiakan.
Hari yang ditunggu-tunggu pun telah tiba. Halaman
depan TBY penuh sesak, manusia berjejal-jejal menunggu pembukaan. Ada petruk
yang menjelma menjadi perempuan manis dengan baju-baju ala-ala kombinasi jawa
dan modern. Ada pula musik top 40 yang dicampur dengan racikan DJ. Sangat
populer sekali gaya-gayanya. Memang benar, kali ini Seni Jogja sangat berbeda
dengan tahun-tahun sebelumnya. Sesuai dengan tema yang digiringnya “Infinity
flux (perubahan terus menerus)”. Aku begitu sangat antusias menemukan kebaruan
dan kekerenan yang disuguhkan acara ini.
Tapi, pembukaan pameran terlalu lama. Baru jam 9
malam ratusan penikmat high-art
diperbolehkan memasuki ruang gallery
yang sangat prestise itu. Gelombang manusia-manusia terhuyun-huyun, berdesakan,
dan aku pun tak mau kalah menjadi yang pertama untuk masuk dan selfie.
Terdengar saut teriakan amarah, beberapa orang berkelahi di depan pintu masuk. Baru
kali ini aku melihat penikmat seni bertarung umpatan dan fisik di sebuah ajang
seni macam ini. Mereka sangat ndhesit!
Duh!
Setelah menahan nafas beberapa kali untuk
menyelinap kesana-kemari, aku berhasil dekat dengan karya seni seorang seniman
tersohor di Indonesia. Ah, sial mereka datang duluan. Kilat flash saling
menyambar. Kurogoh sakuku untuk mengambil smartphoneku, kupegang erat-erat agar
tak jatuh terhempas desakan. Kulihat tubuh mungilnya yang dipenuhi dengan layar
sentuh mulus. Kutengok kanan-kiri, tiba-tiba aku merasa minder untuk
mengeluarkan smartphoneku. Merk-merk terkenal seperti i-phone, samsung, LG,
terpegang gagah mengudara dengan cahaya blitz dasyat bagai petir yang terpendar
dari tubuh-tubuh mereka yang canggih.
Aku mengurungkan niatanku untuk selfie di depan
karya high-art dari seniman tersohor seantero Indonesia. Mungkin aku harus
mencari waktu yang lebih sepi agar bisa lebih leluasa untuk selfie dan aku tak
malu-malu untuk mengeluarkan smartphone versi proletariatku. Aku pun bergegas
keluar untuk mencari lega dari udara malam.
Malam terasa sangat sendu, seharusnya ini adalah
malam dimana impianku terwujud.Tetapi apa daya, toh masih ada besok. Papan
informasi Seni Jogja menjadi tujuanku untuk mencari tahu keseluruhan acara
tersebut. Betapa kaget diriku ketika sebuah angka dengan simbol rupiah terlihat
jelas dengan ukuran font yang lebih besar dari huruf-huruf sekitarnya dan
dicetak bold. Lima puluh ribu adalah tumbal berikutnya yang harus kukorbankan.
Tetes air mata tetiba meluncur mengiris pipiku. Membelah
pecah impianku. Apakah Seni Jogja memang bukan untukku? Aku pasrah, menyerah
untuk populer.
Mereka terlalu jauh.
No comments:
Post a Comment