Kami berdua berjuang melaju ke atas
bukit di Pantai Parangtritis. Jalan yang penuh lubang dan curam membuat si
ducky, motor vario biru kami, tersengal-sengal menaiki jalanan yang tak biasa
ia lalui. Sejujurnya, baru pertama kali ini aku melewati jalanan yang cukup
sepi dan rusak ini. Padahal sudah berkali-kali aku pergi ke Pantai Parangtritis
namun aku tidak pernah mendengar dan tahu bahwa ada sebuah “tempat rahasia”
seperti yang dikatakan oleh Wolfie. Sebuah tempat sempurna untuk menikmati
senja katanya.
Dari belakang aku memeluk Wolfie dan tak begitu memperdulikan imajinasi-imajinasi yang
diiming-imingkan olehnya. Buat apa bertanya-tanya akan absurditas sebuah kata.
Lebih baik aku menikmati perjalanan ini. Lagipula jarang sekali aku bisa
sedekat ini dengannya, apalagi cuma berdua saja.
Ducky berhenti di sebuah warung
kecil di atas bukit. Seorang Ibu menyapa kami dari dalam warungnya. Sepertinya
ibu ini sudah hafal dengan si Wolfie. Ini bukan kejadian pertama, dulu waktu
kami ke Pantai Ngobaran. Beberapa penduduk disana juga mengenalnya. Anak ini
memang mudah dekat dengan orang, tetapi aku kira dia bisa sedekat ini karena
sudah sering bertemu dengan mereka. Pantas anak ini tidak kelar-kelar kuliah,
terlalu banyak berpetualang gumamku dalam hati.
Setelah mengobrol sejenak dengan Ibu
penjaja warung, kami berjalan menaiki jalan setapak di samping warung. Dia
terus saja melaju, kakinya dengan kokoh menaiki tangga satu demi satu.
Sementara aku yang jarang berolah raga dan tubuh segemuk ini harus mati-matian mengikuti
ritmenya. Ingin sekali kuberteriak memintanya untuk memperlambat langkahnya.
Atau permintaan yang lebih yaitu menggandeng tanganku. Tempat ini kan lumayan
sepi jadi kita tidak perlu malu-malu berpacaran, pikirku. Tetapi, egoku terlalu kuat. Kubiarkan saja dia
melangkah bebas.
Perlahan dari atas aku melihat
permukaan laut yang biru dengan ombaknya yang tenang. Angin sepoi-sepo
menghempas. Ternyata Ombak Parangtritis yang seram itu terlihat tenang dan
indah dari atas sini. Seketika semangatku membara. Aku terpacu untuk mendaki
lebih cepat ke puncak.
Dari puncak dia berdiri menghadap
selatan, memandang lautan lepas. Bebas. Dia berbalik memandangku ketika tahu
aku sudah berada di puncak. Adegan ini mirip sekali dengan film-film drama
romantis. Sayang tak ada backsound
musik dan senja belum tiba. Lihatlah matanya yang berbinar cerah. Siapa yang
tidak luluh karenanya. Diulungkannya tangannya, membuka dada, memanggil jiwaku
yang haus olehnya. Aku pun mendekat.
Dia merangkulku mesra. Kami
sama-sama memandang lautan berbatas horison. Lapang sekali laut yang
menghubungkan Samudra Hindia ini. Kulihat wajahnya yang damai. Kucondongkan
kepalaku hendak menciumnya. Membawa suasana menuju klimaks. Tetapi dia
menghentikanku, tanpa kata dan hanya dengan senyumannya. Seolah itu mampu
menjelaskan segala pemakluman. Aku sedikit kecewa.
Akhirnya kami duduk berdua saja di
pinggir tebing menunggu senja. Kugenggam tangan yang menyangga duduknya.
Terlihat geliat risih, namun dia membiarkanku menang kali ini. Matanya masih
menatap lautan lepas. Entah apa yang dilihatnya dari luasnya laut.
“Sepertinya enak ya kalau punya
rumah pinggir pantai.” Katanya.
“Kenapa?” Tanyaku.
“Tiap hari
bisa melihat pemandangan seperti ini. Melihat keseluruhan, meniadakan subyek
imparsial.” Paparnya serius.
“Maksudnya?”
Aku bingung dengan kata-katanya.
“Melihat
bukan hanya ombaknya saja, bukan hanya batas horison. Tetapi keseluruhan
sebagai lautan lepas bebas.” Dia tersenyum.
Gila! Orang
ini filosofis sekali batinku. Sudah beberapa bulan aku mengenal, bahkan dekat
dengannya. Tetapi dia selalu mampu memberikan kejutan yang tak pernah kuduga.
Mungkin hal inilah yang membuatku jatuh hati dengannya.
“Menurutmu,
apa itu kejujuran?” Dia bertanya.
“Hmm…ketika
kita berperilaku dan berbicara dengan sebenar-benarnya.” Jawabku.
“Bagaimana
caranya?” Tanyanya.
“Hah?...Kalau
kita mau jujur, ya kita bisa jujur.” Jawabku singkat.
Tak ada
satu kata pun dia membalas. Terdiam, pandangannya kembali terbebas ke lautan.
Perlahan Senja tiba menuruni batas horison. Bulat sempurna, dengan langit
jingga merona. Aku menyaksikannya terbenam di lautan. Cahayanya terpendar di
permukaan laut yang tenang. Aku tidak pernah menyangka kalau senja bisa seindah
ini. Sekarang mataku berkaca-kaca.
Dari sudut
penglihatan, aku tahu Wolfie sedang memandangku. Tak kubalas memandangnya dan
terus melihat cahaya senja yang mulai hilang ditelan lautan. Ada sedikit rasa
balas dendam walau setitik. Tak kuasangka dia memeluk dan mencium keningku.
Tidak seperti biasanya dia memiliki inisiatif untuk mengungkapkan rasa
sayangnya. Hatiku berjingkrak riang. Tuhan memberi hal yang terbaik disaat yang
terbaik. Jadi inilah pemberian dan waktu terbaik itu.
Kami saling
memandang. Tanpa kata dan belaian kasih, hanya saling memandang. Tetapi momen
ini lebih intim dari bercumbu mesra di kamar gelap.
Malam pun
tiba. Gelap menyelubungi sekitar, kami segera turun. Sampai di bawah, warung di
bawah pun sudah tutup. Wolfie mengajakku pergi ke Pantai Parangtritis.
“I have surprize for you.” Katanya.
Si Ducky segera membawa kami di Pantai
Parangtritis. Dari kejauhan hanya terlihat gelap dan riuh ombak. Pergi ke
pantai di malam hari seolah mendatangi maut karena kita tidak tahu secara
persis dimanakah ombak itu akan datang. Tak perlu ragu betapa ombak Pantai Parangtritis
cukup mematikan. Belum lama aku membaca beberapa wisatawan meninggal karena
terseret ombak. Bulu romaku bergidik sekarang.
Ternyata
setelah kami mendekat ke bibir pantai. Ada beberapa penjaja jagung dan wedang
ronde disana. Di temani dengan lampu petromak mereka melayani wisatawan yang
sengaja datang di malam hari. Kami duduk di gerobak penjual wedang ronde yang
berada tepat di bibir pantai. Tak jauh dari batas ombak tergulung habis.
“Mana surprize nya? Tanyaku.
“Tunggu
sebentar lagi. Kira-kira jam 11 malam lah.” Jawabnya.
“Jadi kita
mau pulang jam berapa?” Tanyaku lagi.
“Kamu mau
pulang ke kota selarut ini? Tanyanya balik.
Sekali lagi
dia membuatku terbungkam. Terpaksa aku harus mengikuti rencananya. Entah tidur
di hotel, tidur lesehan di pantai atau tak tidur sama sekali. Aku hanya bisa
pasrah.
Malam
semakin larut bersama riuh ombak yang mengganas. Dari seramnya lautan aku
melihat sisi kontras dari anggunnya bulan purnama sempurna. Bersinar megah
diantara ribuan bintang yang memenuhi langit kelam.
Kami
terdiam menikmati suasana malam. Wolfie beranjak dan pergi ke dalam gelap. Tak
lama dia kembali dan memanggilku. Dia ingin aku mengikutinya. Apakah ini adalah
waktu untuk kejutan itu?
Tak jauh
dari penjaja wedang ronde, dia mengajakku berpindah ke seorang penjual
"kerak telur". Kesan awalku ketika melihat pedagang itu mirip dengan
penjual kerak telur. Lihat saja ada beberapa butir telur yang terjejer rapi.
Dari kejauhan aku mendengar orang-orang tertawa samar dalam gelap.
Wolfie
menggelar tikar yang disewanya dari penjual "kerak telur" itu. Kami
duduk jauh dari terang. Rasa antusias memacu jantungku untuk berdegup kencang.
Aku jadi membayangkan hal-hal seronok. Tetapi amankah di tempat seperti ini.
Imajinasiku semakin menggila.
"Ini
kejutannya!" Katanya.
"Apa
ini?" Tanyaku. Kubuka bungkus makanan yang dia bawa.
"Omelet?"
Tanyaku lagi.
"Coba
deh makan." Pintanya.
Kucicipi
omelet itu yang sudah diiris sama rata. Rasanya tak jauh berbeda dari omelette.
Lalu apa yang menjadi kejutannya? Aku terheran-heran. Ada sedikit rasa kecewa
karena kukira ada hal yang lebih spesial dari sekedar omelet.
"Ini
bukan sembarang omelette. Namanya magic
mushroom." Dia berbisik lirih.
Aku tambah
bingung. Dia pun akhirnya ikut makan beberapa iris omelet itu. Lama-lama aku
merasa ada efek yang aneh dari makanan itu. Otot pipiku tertarik, memaksaku
untuk tertawa. Ada rasa geli yang menggelitik dipikiranku padahal aku sadar
tidak ada hal yang lucu sama sekali. Aku sadar, tetapi telah lepas kendali.
Begitu juga
dengan Wolfie. Ledakan tawa dan kata-kata makian. Jiwa berontaknya keluar,
sementara aku hanya bisa tertawa kecil menimpali tingkah lakunya. Seolah omelet
itu mampu mengeluarkan jiwa-jiwa jujur kami. Menghadirkan diri kami yang lain.
Aku
merangkul dirinya yang kalap. Menyeretnya hingga terjauh ke pasir. Kami pun
sama-sama tertawa. Aku benar-benar terbawa suasana.
"I
love you Wolfie." Kataku.
"I
love you too Panda." Katanya.
Panda?
Hatiku seketika remuk. Aku kira dia akan memanggil namaku. Tetapi justru nama
lama itu yang dia ucapkan. Jadi itulah isi hatinya yang paling jujur. Bukan
aku, tetapi dia.
Mentari
malu-malu terlihat dari ufuk timur. Aku terbangun dari tidurku. Kulihat Wolfie
berdiri di bibir pantai, menanti hancurnya buih-buih ombak. Aku menghampirinya.
Kami berdua
berdiri bersebelahan, memandang lautan. Disaat-saat seperti ini terjadi suatu
kebekuan yang tidak pernah kami ketahui sebabnya. Kami yang telah sama-sama
bertelanjang diri seharusnya mampu untuk lebih terbuka. Tetapi kenyataannya
berbeda. Mungkin ini hal lain.
Aku
berharap dia akan memulai pembicaraan. Tapi dia justru bungkam dengan kepala
yang tertunduk.
No comments:
Post a Comment