Friday, 17 January 2020

“Laki-Laki di Tengah Feminis”


Sebelum memulai ocehan ini aku ingin mengatakan,”Siapa pula yang ingin menjadi laki-laki?”. Perdebatan gender dalam perpektif esensialis dan non-esensialis belum usai atau bahkan memang tidak pernah akan usai. Namun secara praktik, kebanyakan orang masih melihat gender dalam bingkai dualisme laki-laki dan perempuan, bahkan ketika melihat komunitas LGBTIQ. Ocehan ini adalah pengalaman subyektif penulis sehingga konteks pemikiran ini secara nyata berdasarkan kehidupan si penulis. Bisa jadi pengalaman subyektif ini bisa menjadi representasi sebuah fakta umum, bisa jadi tidak.

Sore ini aku mendapatkan sebuah screenshot dari status seorang aktivis queer. Intinya dia bilang bahwa dia sebel dengan aktivis-aktivis (termasuk lesbian dan gay) yang sok-sokan tahu tentang transpuan feminin, bagaimana orang-orang ini bisa tahu wong mereka bukan transpuan? Yang paling tahu soal transpuan adalah transpuan sendiri.

Perkataan diatas terdengar sangat benar. Siapa yang bisa menyangkal bahwa pengalaman transpuan-lah yang paling bisa menggambarkan situasi mereka sendiri. Namun di dalam konteks gerakan lebih besar, gerakan queer, dimana transpuan tidak berdiri sendiri. Pernyataan tersebut mematikan daya kritis kawan-kawan lain. Menempatkan pengalaman subyektif identitas tertentu juga bisa menyebabkan sesat pikir karena seorang transpuan bisa saja tidak mampu memahami akar masalah karena keterbatasan pengetahuan, informasi dll. Lantas apakah kita masih mau selalu menurut atas pengalaman subyektif seseorang sebagai suatu kebenaran umum? Lalu kenapa harus merasa paling benar jika ruang dialektika selalu terbuka untuk siapapun?

Beranjak dari pengalaman penulis ketika diundang di dalam pertemuan nasional gerakan queer di Jakarta. Dalam diskusi kecil penulis duduk bersama Komnas Perempuan, aktivis lesbian, aktivis dan HIV-AIDS. Waktu itu kami sedang membicarakan rencana program nasional. Kami berangkat dari melihat penindasan yang terjadi di komunitas LGBTIQ. Semua serempak bahwa lesbian, transpuan dan transmen adalah kelompok yang paling tertindas. Penulis bukan bermaksud untuk menyangkal kenyataan tersebut, penulis mencoba untuk menambahkan pandangan bahwa juga terjadi penindasan yang terjadi di komunitas gay atau laki-laki heteroseksual. Penulis mengatakan bahwa saat ini belum ada data yang menggambarkan penindasan yang terjadi di dalam komunitas gay dan laki-laki heteroseksual. Hal itu terjadi karena semua laki-laki dianggap memiliki privelege. Data-data kekerasan didominasi data perempuan yang menggunung saja.

Gay dan laki-laki sangat mungkin mendapatkan kekerasan karena mereka harus mengikuti pola-pola heteronormatif. Apabila laki-laki tidak mampu untuk memenuhi pola tersebut, maka mereka akan dianggap sebagai laki-laki yang gagal. Beberapa laki-laki gay juga akhirnya terpaksa menikah karena tuntutan sosial. Bagi penulis semua itu adalah kekerasan. Namun ternyata usulan penulis tidak mendapatkan tanggapan bahkan diacuhkan. Program yang ditulis memang berbasis gender, tetapi targetnya tentu saja diutamakan untuk perempuan saja.

Penulis merasa bahwa gerakan feminis masih berorientasi pada keperempuanan. Setelah beberapa gelombang gerakan feminis lahir seharusnya muncul pemikiran yang lebih radikal dalam melihat akar masalah. Tidak semua laki-laki memiliki privelese, diantaranya justru menanggung beban sosial yang lebih berat untuk menjadi laki-laki sejati dalam kontruksi masyarakat. Feminis seharusnya mampu melihat bahwa heteronormatif, patriarkhi adalah penindasan senyata-nyatanya dan siapa saja bisa menjadi korban.

1 comment:

  1. Izin promo ya Admin^^

    Bosan gak tau mau ngapain, ayo buruan gabung dengan kami
    minimal deposit dan withdraw nya hanya 15 ribu rupiah ya :D
    Kami Juga Menerima Deposit Via Pulsa & E-Money
    - Telkomsel
    - XL axiata
    - OVO
    - DANA
    segera DAFTAR di WWW.AJOKARTU.CC ....:)
    --------------------------------------------------------------------

    ReplyDelete