Saturday, 31 March 2012

Ketika Mereka (Mahasiswa) Vandal


          Terik matahari begitu menyengat, sepanas dialektika menanggapi rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Sudah kesekian kali pemerintahan dibawah SBY menaikkan harga BBM dan sudah kesekian kali rakyat berteriak-teriak melawan kebijakan ini. Aksi demonstrasi pun semarak terjadi di berbagai kota, baik aksi yang bersifat damai dan vandal. Mahasiswa sebagai bagian dari pengunjuk rasa pun dianggap sebagai biang kerok terjadinya kerusuhan.
            Dipicu kenaikan harga minyak mentah dunia, pemerintah berencana menaikkan harga BBM untuk menyelamatkan APBN Negara. Sampai saat ini ketika penulis menulis artikel ini DPR masih mengulur-ulur keputusan kenaikan harga BBM. Diluar gedung terhormat, banyak terjadi demonstrasi dari berbagai kalangan.
            Di Yogyakarta sendiri demonstrasi terfokus di beberapa titik kota seperti di pertigaan UIN Yogyakarta, kawasan nol kilometer, Kawan Tugu Yogyakarta dan beberapa kawasan lainnya. Seperti yang dikatakan oleh detik.com seolah-olah Yogyakarta dikepung oleh massa demonstran. Kawasan Malioboro dan halaman DPRD DIY 'dikuasai' massa Forum Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) DIY, Gerakan Rakyat Anti Kenaikan BBM dan Gerakan Pemuda Progresif, massa PMII DIY dan GMNI DIY[1].Pertamina Yogyakarta Regional Yogyakarta tidak luput menjadi sasaran para demonstran[2].
            Adanya Pro dan Kontra Kenaikan harga BBM di tubuh masyarakat perbedaan dalam menilai aksi-aksi yang dilakukan oleh mahasiswa. Sering penulis mendengar celoteh tetangga atau dari akun twitter mengenai keluhan mereka atas dampak negatif dari demonstrasi.
            Sebagai contoh aksi demonstrasi tanggal 29 Maret 2012 di pertigaan UIN Yogyakarta membuat Jalan Solo harus ditutup sehingga para pengendara harus memutar arah. Jelas hal itu membuat jengkel para pengendara yang mencoba melintasi jalan tersebut.
            Demonstrasi yang terjadi di kawasan UIN Sunan Kalijaga juga berakhir ricuh atas aksi lempar batu oleh mahasiswa dan water canon oleh polisi[3]. Suatu hal yang disayangkan terjadi mengingat Negara kita adalah Negara demokratis. Mahasiswa yang berusaha menyampaikan maksudnya harus terlebih dahulu dihadang oleh berbagai senjata dan kendaraan militer.
Pandangan Mereka Untuk Mahasiswa
            Petikan kejadian diatas adalah bagian kecil dari perjalanan pergerakan mahasiswa. Tetapi kejadian diatas mengeneralisasi penilaian masyarakat terhadap gerakan mahasiswa. Mahasiswa diidentikkan dengan biang keladi atas kerusuhan yang terjadi. Mahasiswa adalah kelompok anarkhis, vandal, yang tidak bisa berpikir dewasa.
            Penulis mencoba memahami kenapa masyarakat memberikan penilaian tersebut. Niat mahasiswa yang ingin berjuang untuk kehidupan rakyat Indonesia berbuah penilaian buruk karena aksi-aksi yang merugikan masyarakat. Pemblokiran jalan raya, coret-coret tembok, atau perusakan fasilitas publik justru akan memberikan nilai negatif bagi aksi-aksi mahasiswa.
            Hal itu disebabkan mahasiswa kurang begitu memahami dampak yang terjadi atas aksi-aksi mereka. Jika mahasiswa beralasan aksi kadang tidak terkontrol karena situasi yang dinamis di lapangan, menurut saya hal itu hanya dalih saja. Mahasiswa sebagai golongan intelektual seharusnya mampu mengedepankan sisi-sisi intelektualnya, bukan sisi emosi yang justru lebih akan merugikan mereka sendiri.
Tidak Semua Mahasiswa
            Sebagai kawan mahasiswa dan sebagai mahasiswa, saya berpendapat bahwa tidak semua mahasiswa bersikap vandal dalam melakukan aksinya. Generalisasi pandangan masyarakat untuk pergerakan mahasiswa tidak tepat untuk dilakukan. Diantara kesekian gerakan masih ada pergerakan mahasiswa yang mengedepankan sisi intelektualitasnya.
            Bagi saya manusia yang paling idealis adalah mahasiswa. Pemuda-pemuda ini memiliki sosok yang obyektif, tanpa tendensi, dan jujur dalam bertindak. Mereka bisa menempatkan diri dalam semua lapisan masyarakat dan kompleksitas masalah yang ada.
            Kadang saya menyayangkan sikap orang tua saya yang mencegah anak-anaknya untuk mengikuti pergerakan mahasiswa dengan alasan keamanan atau aksi-aksi brutal dan vandal yang sering disorot oleh media.
            Dimanakah mahasiswa memperoleh nilai-nilai kejujuran, prinsip-prinsip hidup, jiwa sosial selain di dlaam tubuh pergerakan mahasiswa atau organisasi mahasiswa? Saya kira ruang-ruang kelas belum cukup untuk menanamkan nilai-nilai tersebut.
            Mahasiswa adalah bagian dari rakyat, mereka berjuang untuk rakyat Indonesia. Sebagai golongan intelektual mereka adalah roda perubahan. Tidak pantas kita menyematkan sosok brutal dan vandal pada diri mereka karena masih banyak mahasiswa yang berjuang dengan sisi-sisi moral dan inteltualitasnya.  
              

2 comments:

  1. Yang terjadi adalah bung,mereka berteriak, melakukan perusakan sarana umuum, mengotori jalan, tapi setelah itu mereka pergi begitu saja tanpa sedikitpun beban.... padahal banyak pendemo itu yang katanya MAPALA, atau aktivis lingkungan.... yang menurut saya nonsense dengan slogan2 yang slama ini mereka gemborkan...
    dan jangan salah juga bung, bahkan di Jogja sudah ada EO (event organizer) yang khusus menyediakan massa untuk demonstrasi dengan bayaran yang yah berkisar 50-200 ribu perorang...

    ReplyDelete
  2. hehehe, minta data atau Cp EO itu dunksss, aku juga mau loh kalau seandainya dibayar, hehe. oh ya kira-kira di titik mana aja yang masanya dibayar? aku biasanya suka berbicara dengan menggunakan data, malas kalau cuma megklaim, muachhh.
    oh ya untuk eruvierda jangan lupa baca yang ini ya
    http://richianyan.blogspot.com/2012/04/kaum-apatis-akut.html

    ReplyDelete