Maman mengalungkan tasbihnya pada
cantolan paku yang dipasang di dinding kayu kamarnya. Ia masih mengenakan
sarung dan baju koko walau sholat telah ia tunaikan. Jam dinding berdetak semakin
keras, suasana tenang menghanyutkan pikirannya. Ia merebahkan dialas tidurnya,
menatap langit-langit kamar yang membisu.
“Bok, aku cinta sama Allah. Dia
seperti kekasihku yang kukhianati. Aku tahu cinta sejatiku hanya untuknya. Aku
hanya terlanjur mencintai selingkuhanku dan tidak mungkin meninggalkannya. Lalu
aku takut apakah dia masih mau menerimaku kembali menjadi kekasihnya. Lalu
takut apakah suatu saat aku ingin kembali dia sudah menutup pintunya.” Maman
memiringkan badannya menghadap sobatnya.
“Kamu nggak bisa mendamaikan
keduanya ya cong? Bukankah akan sangat indah jika kau bisa melakukannya.”
“Mereka tidak bisa dipoligami. Dan
Ironisnya berkomitmen dengan homoseks untuk hidup bersama selamanya sampai mati
itu lebih berat daripada menikah tapi masih main ma laki-laki. Padahal secara
moral lebih baik yang pertama, karena berkomitmen homoseksual berarti seperti
telah memilih hidup dalam dosa. Seperti pintu telah tertutup bila suatu saat
nanti kita ingin kembali. I’s just nice to know we can go back if sometime we
should. But when we know the door fully closed. It’s hurt.”
“Ketakutan, bukan kecintaan
terhadap Allah. Jika hanya ketakutan yang ada, bagaimana kamu bisa tenang
dengan kepercayaanmu itu? Berulang kali kamu bilang bahwa kamu takut jika Allah
telah menutup pintunya untukmu. Bukankah dia Maha Pengasih dan Penyayang.”
“Guwe cinta sama Allah. Cinta
tapi benci. Benci tapi cinta, semakin cinta semakin benci, semakin benci
semakin cinta. Habis kalo di miss call nggak diangkat-angkat, kalau tanya nggak
dijawab-jawab. Biar guwe mikir kali ya?” Maman tertawa kecil.
“Itu kenapa Allah memberikanmu
akal, bencong!”
“Tapi dia sering ngasih sesuatu nggak
bilang-bilang. Lewat tangan orang lain. Romantis ya, jantan ya.” Maman memeluk
sobatnya yang tersenyum manis.
“Ya seperti itulah Allah, dia
memiliki rahasia yang tidak kita pernah bisa tebak. Itulah jalan romantis-Nya,
Sang Pengatur Kehidupan.”
Sepertinya memahami Tuhan lebih
enak pakai cinta. Bukan rasa takut. Soalnya kalo pakai rasa takut sukanya nggak
mikir. Maman tersenyum lepas, melepas jengah pikirannya yang kalut.
“God always understanding.”
Maman memeluk sobatnya semakin
erat. Bercerita dengan sobatnya membuatnya lebih lega dan tenang. Tak ada momen
seperti ini yang bisa ia temukan bersama teman-temannya di luar sana. Jam
dinding menunjukkan pukul setengah enam, sebentar lagi maghrib akan tiba. Maman
melepas pelukannya dan mulai merapikan sarung dan baju koko.
Ia membuka kunci pintu kamarnya,
membuka pintunya untuk Tuhannya. Ia memandang tempat tidurnya yang lengang,
Panda, sobatnya tersenyum manis untuknya, selalu.
“Guwe pergi dulu, guwe ingin bercinta
dengan Allah sore ini.”
No comments:
Post a Comment