Guwe
nggak bakal pernah membayangkan hari ini, berdiri bersama kawan-kawan
memperjuangkan satu hal yang pernah sangat guwe benci tiga tahun silam,
perjuangan identitas LGBT. Kenapa guwe sangat membencinya? Satu hal yang guwe
bayangkan dulu, dunia binan[1]
yang gemerlap (baca: Hedon) dan munawaroh[2]. Tapi tunggu dulu, itu kan dulu, sepertinya
guwe yang munafik. Menghakimi sebelum mengenalnya.
***
Kelas
baru saja usai, guwe berjalan menuruni tangga kampus menuju mushola di lantai
bawah. Dari tangga guwe melihat kawan-kawan yang udah pada nongkrong di depan serambi.
Satu persatu tangan mereka guwe salami dengan erat layaknya saudara dekat yang
lama nggak pernah ketemu. Walau ini bukan jam sholat, mushola kampus memang
cukup ramai. Biasanya kawan-kawan juga sering kumpul disini, untuk sekedar
ngobrol atau wifi-an saja.
Duduk
tak jauh dari kawan-kawan nongkrong, sahabat guwe yang lugu clingak-clinguk
ngeliat guwe ketawa histeris. Guwe samperin si doi, sembari basa-basi nanya
kabar padahal tiap hari juga ketemu. Awalnya kita ngobrolin mengenai kelas dan
teori-teori yang sangat absurd. Tapi guwe sentakkan dia dengan sebuah info yang
cukup kontroversial.
“Eh bung, ntar malam ada g-nite[3]
lho.” Kata guwe.
“Apaan itu bung?”
Tanyanya.
“Itu bung, pestanya kaum
gay. Nih baca sms yang barusan dikirim sama temen guwe. Loe kebayang nggak sih
masa depan bangsa ini kalo anak mudanya kaya gitu. Nggak revolusioner banget!”
Papar guwe.
“Bener bung!” Dia
menjawab dengan mantab.
“Terus kita mau ngapain
bung? Kita nggak bisa diem aja.” Guwe memprovokasi.
“Ya, kita jaga diri
terlebih dahulu, bung. Perjuangan kita mulai dari diri kita sendiri.”
“Masak Cuma gitu doang
bung, nggak revolusioner ah.” Guwe berkeluh.
Sahabat
guwe memeluk pundakku untuk menenangkan. Dalam hati guwe merasa agak dongkol
karena dia tidak merespon sesuai dengan keinginan guwe. Katanya aktivis masjid,
untuk urusan kaya ginian masih aja mikir menjaga diri daripada mengambil sebuah
aksi.
Mentari
lenyap ditelan bumi ketika guwe menyusuri Jalan Malioboro yang cukup padat oleh
orang-orang yang pulang dari kerja. Dari Malioboro Mall guwe belok kanan menuju
Jalan Dagen. Pikiran guwe masih kalut sejak sore tadi gara-gara ngobrol sama
sahabat. Lagian suasana jalanan juga sangat mendukung dan manusiawi buat guwe untuk
kalut. Bayangkan saja, pedagang makanan malam dan para pengunjungnya,
manusia-manusia yang jalan lalu-lalang, ditambah remang lampu kuning jalanan.
Gerbang
melengkung dengan tulisan Taman Yuwono menyambut. Rumah-rumah dengan gaya
kolonial bercat putih terlihat di kanan-kiri. Gerbang rumah no 20 guwe buka,
rumah terlihat sangat sepi. Motor guwe parkir di samping rumah. Dari jauh
patner guwe terlihat sedang menggosok gigi di wastafel samping kamar mandi.
Waktu
itu guwe nggak bisa mengedipkan mata, dia hanya sangat seksi dengan handuk yang
menutup pusar ke dengkul. Lihat betapa indah dirinya.
“Goedenavond, welkom
thuis lieveling!”[4]
Sapanya.
Guwe tarik satu kursi di
depan dapur, melihatnya berkaca berkaca membersihkan kumis dan jenggotnya. Dia
menghampiri dan duduk di pangkuan guwe. Memeluk erat, menciumku penuh gairah.
Dia melihatku dengan penuh arti.
“You look so tired. How’s
your day?” Tanyanya.
“So so, my man.” Guwe
jawab lesu.
“Why, tell me?” Dia
bertanya.
“Just busy with fuckin’
classes. Just theory, absurd theory. It’s suck.” Guwe berkeluh.
“Hmm….it just you darlin.
My radical guy!” Dia ternyum.
“Well, I think it just me
and I gonna fuck you tonite.”
“Please…..” Senyumnya
menggodaku.
Dia
beranjak dari pangkuanku masuk ke dalam rumah. Dia melemparkan handuk yang ia
kenakan kepadaku, sengaja menggoda. Guwe beranjak dari tempat duduk menuju
kamar. Guwe ambil gelas dari dapur dan mengisinya dengan air. Kuteguk air
pelan-pelan.
“Sepertinya guwe akan
melakukannya satu kali lagi.” Bisikku lirih.
Ah untuk kali ini nggak apa-apa. Setidaknya guwe bukan
mereka yang sangat hedon. Setidaknya guwe bakal menikah kelak, guwe berdalih dalam
hati. Akhirnya guwe menuju kamar di mana patner guwe sudah terlentang melihat Bvn[5].
Hampir tiap malam guwe liat orang-orang di kotak ajaib itu berbicara bahasa
alien. Kumatikan lampu kamar dan guwe melakukannya sekali lagi.
***
Siang hari yang cukup panas setelah kuliah usai. Guwe
baca-baca buku di ruang ikhwan[6]
sekretariat pemakmur masjid. Ruang ini adalah salah satu tempat favorit guwe
karena dari sini guwe bisa lihat pemandangan rektorat. Udaranya juga lumayan
agak adem daripada diluar sana. Sebenarnya ada satu AC yang terpasang, tapi
sepertinya itu hanya penghias ruangan semata.
Guwe
ambil buku dari tas dan mulai membaca. Tak lama guwe menyelami buku, terdengar
seseorang melepas sepatu. Terlihat kawan guwe datang masuk ke ruang ikhwan. Doi
adalah kawan guwe sejak SMA dan kini sama-sama belajar di bawah atap kampus
yang sama. Perawakannya sangat tinggi dan kurus, gayanya sedikit ngondek[7],
tetapi don’t judge from the cover.
Walau doi terlihat rapuh dan lemah, tetapi di balik kepalanya tersembunyi otak
yang maha hebat. Bisa dibilang doi adalah ahli teknologi diantara kawan-kawan
guwe.
Bayangin aja, waktu guwe masih SMA. Ketika kawan-kawan
masih menggunakan power point sebagai media presentasi, doi sudah pakai
macromedia flash yang interaktif banget. Ketika guwe dan kawan yang lain harus
ngomong panjang lebar menjelaskan teori-teori, doi sudah memakai interactive audio yang dimasukkan
kedalam flash. Dasyat bener tuh anak.
Doi duduk dibawah karpet sambil membaca buletin yang baru
saja guwe buat sama dia. Sembari membaca buku guwe ngobrol sama dia.
Pembicaraan yang dimulai dengan hal-hal santai, tetapi kemudian menjurus ke
hal-hal serius. Yaitu tentang percintaan, dan parahnya guwe bukan orang yang
pinter masalah beginian. Tetapi sebagai kawan yang baik, guwe menjadi pendengar
yang baik dan responsif.
“Eh bung, loe
nge-fans ya sama Yui?” Tanya guwe.
“Iya bung, habis manis
banget kelihatannya.” Papar dia. Dalam hati guwe terkagum, ternyata dia suka
juga sama perempuan manis kaya Yui.
“Emang bagusnya Yui apa sih?”
Tanya guwe lebih dalam.
“Ya, suaranya oke, terus
cantik gitu bung.” Jawabnya klise. Yaiyalah dia cantik dan suaranya oke. Dia
kan idol di televisi.
“Eh bung loe kan demen
banget sama si Yiu, nah kalo sekarang situ udah punya pacar belum sih?” Guwe
mengalihkan pembicaraan.
“Hmm…gimana ya bung.
Belum ada sih, tapi guwe naksir sama satu cewek di komplek perumahan.” Matanya
berbinar.
“Terus?” Guwe tambah
kepo. Kututup buku yang sedang guwe baca.
“Ya, Cuma suka aj sih.
Kemarin dia datang kerumah pinjam buku. Dia masih SMA, lagi persiapan UN jadi
guwe kasih soal-soal latihan. Ntar sore, guwe mau samperin dia. Mau kasih
beberapa buku sekalian ngajarin dia.” Paparnya.
“Loe mau pacaran sama dia
dia?” Tanyaku tajam.
“Entahlah bung, guwe
masih bingung.” Raut mukanya berubah padam.
“Bingung kenapa?” Tanya
guwe.
“Guwe kan separuh
laki-laki, separuh perempuan. Nggak kaya loe yang manly, bung.” Paparnya dengan
nada sedikit desperate.
Jujur
guwe nggak bisa respon apapun setelah doi bilang seperti itu. Diam-diam guwe berpikir
serius untuk menterjemahkan maksud doi. Guwe curiga, jangan-jangan doi dan guwe
sama. Sama-sama binan, cuma saja masih belum open.
Guwe
menatap doi yang kembali membaca buletin. Coba hal apa sih yang membuat guwe ragu
kalo dia bukan binan? Walau kita sama-sama gabung di kelompok pemakmur masjid,
tetapi guwe nggak akan kaget kalau ada binan nongkorng di sini. Buktinya guwe
sendiri!
Mungkin
peristiwa ini terlihat biasa, tapi bagi guwe ini luar biasa. Pikiran guwe
tiba-tiba terdekontruksi, runtuh! Bayangkan dunia binan yang hedon abis
ditambah citra budak selangkangan, runtuh. Guwe membayangkan dunia binan yang
diisi oleh orang-orang baik dan super seperti doi. Guwe kira ada hal yang
positif bisa kita berikan untuk bangsa.
Satu hal
lagi, mana mungkin guwe tega untuk mengutuk binan seperti doi. Oke, guwe cuma
menebak. Hingga kini guwe juga belum tahu karena doi belum pernah coming out[8]
sama guwe. Tetapi sejak saat itu guwe mulai mencari binan-binan lain diluar
dunia guwe yang punya visi yang sama. Menunjukkan bahwa binan bisa berprestasi
layaknya masyarakat hereroseksual.
Guwe
melihat buku ilmu eknomi yang tergeletak di meja kecil ruang kuliah. Terpampang
sketsa Adam Smith seorang filsuf dan ekonom besar. Bukankan dia juga binan?
[1]
Binan berrarti banci, tapi lebih sering diasosiasikan untuk istilah gay
[2]
Munawaroh artinya munafik
[3] G-nie
istilah populer dari gay night
[4]
Selamat malam, Selamat datang sayang!
[5]
Bvn salah satu televisi Belanda
[6]
Ikhwan bahasa arab, artinya laki-laki.
[7]
Bahasa slang yang artinya kemayu, bertingkah lagu feminim
[8] Coming
out adalah mengungkapkan orientasi seksualitasnya kepada orang lain.
Thanks..
ReplyDelete