Sunday, 15 June 2014

Logika Akar Rumput



Akhir-akhir ini saya bergiat di sebuah komunitas bernama Save Street Child Jogja, komunitas yang peduli terhadap isu anak jalanan. Jika dihitung lama waktu saya bergabung, kira-kira sekitar satu tahun yang lalu. Dalam waktu satu tahun itu saya menjadi salah satu dari tujuh pengurus harian komunitas. Pengurus harian bisa dikatakan sebagai nahkoda arah gerak komunitas.
Beberapa kegiatan yang kami lakukan pun bisa dikatakan adalah buah pikiran kami tanpa mengesampingkan peran sukarelawan lainnya. Namun akhir-akhir ini saya menyadari sebuah kesalahan. Sebuah kesalahan yang sangat lazim saya kira terjadi di komunitas-komunitas yang menyokong gerakan akar rumput.
Ketika kami membuat program atau kegiatan, hal pertama yang kami lakukan adalah melakukan observasi lapangan mengenai kemungkinan masalah-masalah yang terjadi. Dari permasalahan tersebut maka kami mencoba untuk mencari solusi atas permasalahan tersebut. Hal tersebut lazim dilakukan dan sepertinya merupakan metode yang baik untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial. Apalagi ditambah argumen bahwa pihak akar rumput, dalam konteks kami adalah anak jalanan, terlibat dalam penggalian masalah.
Bisa dikatakan program yang dijalankan bersifat pemberdayaan karena juga melibatkan akar rumput. Tetapi dalam kenyataannya kadang program yang dijalankan tidak berjalan dengan efektif dan terkesan sebagai formalitas saja. Walau program sesungguhnya adalah solusi atas permasalahan yang terjadi, kadang program tidak efektif karena tidak selaras dengan pola pikir akar rumput.
Pola pikir tersebut bisa kita katakan sebagai logika akar rumput. Beberapa pegiat di komunitas kami adalah mahasiswa dengan pola pikir intelektual berdasarkan teori yang dipeoleh dari lembaga kampus. Walaupun teori-teori tersebut sudah dibuktikan kesahihannya, kadang teori telah kehilangan konteks di lapangan.
Satu minggu yang lalu saya berbincang cukup lama dengan 3 anak jalanan (Bagas, Ganjar dan Joko). Saat ini mereka telah tinggal di SSCJ Corner (Save Street Child Jogja Corner) tidak lagi di jalan. Saya mengajukan pertanyaan sederhana mengenai tinggal di jalanan. Apakah mereka lebih menyukai tinggal di jalanan atau di rumah. Ketiga anak tersebut sebenarnya masih memiliki orang tua dan rumah walau berada di luar kota Jogja.
Ketiga anak tersebut mengatakan bahwa hidup di jalanan lebih menyenangkan dan nyaman daripada tinggal di jalanan. Selain karena ada permasalahan di rumah, mereka mengatakan bahwa kehidupan di jalan lebih memberikan pengalaman hidup. Mereka menambahkan bisa saja tinggal di shelter yang dikelola oleh Dinas Sosial, namun mereka tetap memilih tinggal di jalan bersama teman-teman, keluarga mereka saat ini.
Saya sebagai seorang mahasiswa dan pernah besar bersama keluarga memiliki sebuah pemikiran lain. Tentu saya berpikir bahwa hidup di rumah bersama keluarga saya lebih nyaman dan menyenangkan, walau konteks keluarga kami berbeda dan sesungguhnya tidak bisa dibandingkan. Latar belakang saya memberikan sebuah gambaran mengenai pola pikir saya. Ditambah teori-teori yang saya baca mengenai hak anak dan kesejahteraan telah memperjelas pola saya berpikir mengenai kehidupan anak jalanan.
Di dalam kondisi seperti ini, saya sebagai seorang yang terlibat dalam pembuatan program kegiatan komunitas berpikir menggunakan pola pikir saya yang berbeda dengan logika akar rumput yang mereka miliki. Saya kira masalah tersebut adalah sebab dari tidak selarasnya program yang dilakukan.
Timbul sebuah pertanyaan dalam benak saya. Lalu apa yang bisa saya lakukan? Jika saya dan anak jalanan memiliki pandangan yang kontras. Apakah saya sebagai orang yang dikatakan lebih sejahtera daripada mereka diperbolehkan memaksakan pola pikir saya untuk mereka? Atau sebaliknya, kita harus mengalah dengan logika akar rumput mereka?
Saat ini saya mengambil sikap mengalah kepada logika akar rumput, tentu saja dengan batasan tertentu. Save Street Child Jogja adalah organisasi penyokong komunitas, sehingga saya pikir kami tidak berhak memaksakan pola pikir kami kepada mereka. Tetapi bukan berarti kami hanya akan menurut dengan pola pikir mereka.
Jika proses perubahan bisa dilakukan dengan komunikasi. Maka jalan yang terbaik bagi komunitas saya adalah terus menjalin komunikasi intens dengan anak-anak jalanan. Dengan komunikasi saya kira sebuah logika akar rumput bisa berkembang. Akhirnya kami selaku pegiat organisasi penyokong komunitas memiliki sebuah visi atau pandangan yang sama dengan mereka, anak-anak jalananan.

No comments:

Post a Comment