Tidak ada yang membahas agama secara
langsung semalam. Entah kenapa tiba-tiba hal yang cukup sensitif itu mencicit
berisik di kepalaku hingga mengusik memori-memori masa lalu. Masih teringat
dengan jelas ketika aku bertemu dengan seorang kawan kampus saat melihat
demonstrasi di depan gedung DPRD. Aku bertanya organisasi apa yang diwakilinya?
Dia menggelengkan kepala, walau secarik kain tanda demonstran telah melingkar
di lengannya, tidak ada satupun organisasi yang diwakili oleh dirinya kecuali
dirinya sendiri. Baru beberapa minggu setelah pertemuan itu kami berdiskusi
kenapa dia ingin sekali bergabung dengan lsm atau organisasi di luar kampus.
Ada represi tidak langsung, ada kebebasan yang terbatas, hanya karena dia
berbeda dari agama mayoritas.
Beberapa bulan setelah itu aku bertemu
dengan kawan kampus lainnya. Seseorang yang melihatku berbeda hari itu karena
sangat aktif di dalam gerakan perjuangan LGBT. Aku duduk di depannya,
melihatnya yang terlihat sangat antusias dengan berbagai pertanyaan. Dia juga
salah seorang kawan yang sangat tertarik untuk bergabung di LSM di luar kampus.
Merasa minoritas dan tentu saja tidak bebas menjadi satu dari alasan lainnya.
Aku merasa sangat miris, baru akhir-akhir itu saja aku banyak berbicara secara
intim dengan kawan-kawan minoritas kampus. Sebuah pertemuan yang sangat
mencerahkan, tetapi sebenarnya dia sempat takut untuk bertemu denganku. Apalagi
dulu aku dikenalnya sebagai seorang ilam yang taat dan pengusung khilafah, pendukung
politik islam di kampus. Aku tersentak, dia malah terkekeh.
Aku menyadari benar waktu itu mahasiswa
bergerak dan berjuang berdasarkan kelompok dan golongannya masing-masing. Hari
ini aku melihat hal serupa di dalam sebuah lingkup yang lebih luas. Bahkan ada
yang menggunakan tongkat dan samurainya untuk mencapai tujuannya.
Sebenarnya bagaimana negara ini
didesain. Pada Pancasila Tuhan duduk agung di sila pertama, sementara di
undang-undang 45 ayatnya mengatakan bahwa negara Indonesia berasaskan asas
hukum. Dimanakah batas agama di dalam kehidupan masyarakat yang majemuk ini?
Kita berbicara di suatu masyarakat umum yang melihat agama secara simbolik,
belum sejauh melihatnya sebagai makna. Bahwa memiliki simbol berbeda adalah
suatu perbedaan yang menciptakan kelas dan kelompok-kelompok di dalam
masyarakat, mayoritas dan minoritas. Apa
yang terjadi jika masyarakat terbagi kedalam fragmen-fragmen tertutup. Jika
bukan represi, hegemoni, tentu saja clash.
Berbicara batas aku sama sekali tidak
setuju dengan Turki dan Prancis yang melarang pemakaian atribut keagamaan di
ruang publik. Bagiku hal semacam itu adalah bentuk pelucutan beribadah dan
beragama. Namun di suatu konteks kehidupan beragama yang memiliki batas di
dalam masyarakat majemuk tertentu bisa menyinggung kenyamanan bersama. Apalagi
karakter masyarakat pada umumnya masih tersusun antara mayoritas dan minoritas.
Aku rasa membatasi agama itu perlu. Aku berbicara mengenai pembatasan agama di
ruang publik. Apa itu ruang publik? Sepeetinya aku butuh lembaran kertas lain
untuk menjelaskannya. Sejauh ini aku hanya bisa memikirkan dua hal, yaitu akses
dan subordinasi.
Akses terkait dengan jalur yang bisa
ditempuh oleh siapa saja. Entah hal itu terkait dengan beribadah, berpolitik
dan lain-lain. Misal, syarat minimal pendirian tempat ibadah. Sedangkan
subordinasi adalah sebuah proses dimana terjadi stratifikasi atas-bawah. Siapa
yang berkuasa dan siapa yang dikuasi, walau relasi semacam ini tidak bisa
dilihat secara eksplisit. Hal seperti ini lebih mudah ditemukan di dalam
kehidupan berpolitik. Politik yang menggunakan tameng agama untuk meraih kuasa.
Menurutku, jika beragama membuat batas eksklusif dan menjadikan satu pihak
menjadi sublevel, maka ada batas agama yang kebablasan.
Siapa yang membatasi? Aku sendiri
sedang mengalami dilema untuk menjawab pertanyaan ini. Sejauh ini aku sudah
terlanjur tidak pernah percaya dengan negara. Dan hari ini aku menulis ini
semua dengan perasaan seorang minoritas. Minoritas di dalam minoritas. Tidak
ada yang lebih berarti kecuali perasaan.
No comments:
Post a Comment