Ketenangan di
dalam keriuahan pusat wisata, tidak pernah kubayangkan sebelumnya ada tempat
dimana orang-orang berdoa khusuk diantara desakan turis yang ingin berfoto
gila. Kolam memanjang dengan bunga-bunga warna ungu dan putih. Si ikan
mengintip malu-malu, bersembunyi dibalik daun teratai yang hampir bulat penuh. Kinara-kinari
mengamati secara seksama, menjaga, tak pernah lelah di pojok-pojok kolam.
Mengabdikan hidupnya melindungi kolam itu dari marabahaya. Kujentikkan
permukaan kolam dengan jariku, merusak lentik kolam yang tenang. Ikan-ikan
bertebaran kesegala penjuru mencari persembunyian baru. Tanpa sepengetahuanku,
dia menatapku tajam, memperingatkanku yang usil. Aku pun menghampirinya dengan
senyum, menjelaskan padanya bahwa aku tak pernah berniat jahat apapun. Kami pun
segera pergi ke dalam vihara. Bau dupa tercium kuat, terbakar di depan altar
Sang Buddha yang tertidur dengan tangan yang menyangga kepalanya. Dia
bersimpuh, menyalakan dupa dan menancapkannya, berdoa dengan cara dan kata yang
tak pernah kupahami.
Selesai berdoa
dia mengajakku berkeliling vihara. Ada beberapa vihara di dalam vihara tersebut. Pada awalnya aku
sedikit kebingungan memahami hal tersebut. Namun setelah dia bercerita bahwa
vihara-vihara itu dibangun sebagai lambang persahabatan antar umat Buddha di
beberapa negara seperti Thailand dan Jepang, pertanyaanku terjawab dengan
sendirinya. Di beberapa tempat di vihara ada beberapa patung Buddha dengan para
Bodhisatva. Sekilas aku melihat beberapa ukiran yang mirip dengan ukiran Jawa
dan Bali. Aku mengira hal itu sebuah akulturasi yang terjadi antara agama dan
kultur setempat. Jika demikian maka agama menemukan dirinya dengan
kultur-kultur setempat seperti yang aku lihat di dalam vihara ini.
Denting syahdu
bergema, alam memainkan melodinya pada pipa-pipa alumunium yang tergantung
memutar di pojok gedung perpustakaan. Terbesit pemikiran bahwa keindahan
bukanlah ciptaan manusia melainkan alam itu sendiri. Seperti nada harmonis yang
baru saja kudengerkan, bunyi yang digerakkan oleh angin (alam). Menciptakan
keindahan alami, mensucikan jiwa-jiwa kami yang terpolusi.
Kami menemui
beberapa biksu yang sedang melakukan rutinitas di vihara. Satu diantara mereka
bertanya, “Foto-foto?”
Pertanyaan
yang bagiku sangat ambigu. Apakah maksudnya kami ingin berfoto dengannya atau
dia mempersilahkan kami untuk mengambil foto di vihara ini. Seandainya dia
berhenti dari rutinitasnya dan mengajakku berbicara maka akan aku jelaskan
bahwa kami disini bukan untuk mencari hiburan dan eksistensi sosial media. Lantas
akan kuluruskan pandangannya mengenai label turis yang disematkan pada kami.
Tetapi itu seandainya saja.
Kami memasuki
sebuah ruangan perpustakaan kecil yang berada satu atap dengan vihara.Kuintip
deretan buku-buku itu dari balik kaca, aku langsung takjub. Deretan buku-buku
dengan caption “filsafat” dan “meditasi” memikatku. Segera kubuka rak buku itu
dan mengambil buku-buku kuno secara acak. Pikiranku terbuka lebar,memahami dan
meresapi,bahkan kadang imajinasi lari seliar-liarnya. Waktu pun menjadi sia-sia
di ruangan itu. Aku terhanyut pada tulisan-tulisan dan makna dibaliknya.
Tak terasa
sore pun berada di penghujung hari. Kami tutup buku-buku kami dan
mengembalikannya pada tempat semula. Biksu-biksu satu persatu masuk ke vihara
untuk berdoa sore, melewati kami dengan senyum yang tulus. Seandainya aku tahu
bagaimana mengucapkan salam dengan cara Budhha, aku akan menyalami mereka
satu-satu. Kami keluar dari ruang perpustakaan. Kulihat sekitar dengan seksama,
tiba-tiba aku merasakan sebuah keganjilan. Batinku mencoba menelisik,mencari
tahu ada apa sebenarnya.
“Bayangkan,
biksu yang mencoba lepas dari kehidupan duniawi, mereka tinggal dalam sangkar
surgawi semacam ini. Berapa rupiah yang harus dikeluarkan untuk merawat vihara
ini setiap bulannya?” Tiba-tiba dia bertanya secara spontan.
Aku tercekat
mendengar pertanyaan yang dilontarkannya. Aku tak berani menjawab dan mencoba
untuk meresapi pertanyaannya terlebih dahulu. Pertanyaannya ada benarnya,
sebenarnya apa makna menjadi seorang biksu dan tinggal di dalam vihara? Ada kekhawatiran
dalam diriku akan menemui sebuah kenyataan bahwa simbol biksu akan
kesederhanaan dan meninggalkan hal-hal keduniawian akan hancur. Jika melihat
sekitarku sekarang ini maka para biksu ini hidup lebih makmur daripada
orang-orang miskin di bantaran sungai. Aku takut mereka hidup di sebuah vihara
yang eksklusif dan jauh dari umat. Terjadi banalitas makna kehidupan biksu.
Lalu apa sesungguhnya makna suci dan profan? Fana dan abadi? Kebajikan dan
Berlimpahan?
Kulihat
dirinya yang berdiri tegak dengan pendirian dan perspektifnya mengenai dunia.
Seorang punk yang belum lama kukenal, dia yang dimata masyarakat adalah
orang-orang yang menyimpang. Namun sejauh yang aku lihat, jauh lebih bijak dan
jujur daripada orang-orang terpandang dan suci. Mampu melihat realitas sebagai
hiperealitas yang tumpang tindih lalu menjadi jujur karena pilihannya yang
berani. Memang dia suka membaca buku dan teori-teori, tetapi dia tak terjebak
pada diskursus eklusif dan mampu membawanya pada tataran realitas paling
sederhana, ligkungannya sendiri.
Tahukah,
beberapa hari ini dia menyatakan cintanya kepadaku. Ketika aku bertanya
mengenai alasannya mencintaiku dia berkata “cinta saja”. Jawabannya membuat
diriku ragu dan tidak terlalu mempercayainya. Tetapi akhir-akhir ini
benar-benar merasakan keberadaannya. Dia memelukku ketika hatiku goyah, kami
tertawa bersama pada perjamuan seorang kawan, hingga menemaniku terhanyut pada
mimpi-mimpi yang kadang seram. Dia mengartikan cinta dengan keberadaannya di
dalam kehidupanku secara nyata. Bukan seperti mereka yang hanya bilang cinta
saja tetapi secara fisik tak pernah hadir. Dimabuk kepayang oleh kata-kata
cinta yang kehilangan makna. Tak pernah membalas kasih dan lebih sibuk dengan
dirinya sendiri. Tak pernah memberi selamat ulang tahun atau lebih parah lagi
tak pernah berkata terima kasih atas apa yang didapatnya.
Dia yang
kukenal akhir-akhir ini memaknai dengan tindakanya. Dia memang tidak terlihat
sebagai orang suci, tetapi bagiku dia tidak lebih profan dari biksu dan mereka
yang tak mau kusebut namanya.
Kami pun
meninggalkan tempat itu dan berjanji tak akan pernah pergi ketempat itu lagi.
Lebih baik mengembara dalam kesendirian dan menjadikan kehidupan sebagai guru
katanya dengan senyum lepas.
No comments:
Post a Comment