Tuesday, 26 July 2016

Yang Tidak Terceritakan di 28 Februari

Kehidupan dimulai dengan sebuah permulaan. Permulaan itu adalah pertemuan, 28 Februari 2010, pijakan pertama untuk setapak demi setapak merangkai waktu menjadi jalinan kronologi dan cerita-cerita. Kami bertemu di sebuah sore biasa yang cenderung mendung. Dia tinggal di sebuah kompleks perumahan estate yang cukup mewah di Kota Yogyakarta. Rumah dua tingkat seragam berjejer mewah dan elegan, beberapa satpam melirikku ketika aku memasuki kawasan itu. Seolah ingin mengatakan orang asing dilarang iseng-iseng di area ini. Ya, kedatanganku memang hanya keisengan belaka. Menjawab undangan seorang asing yang aku temui di sebuah website yang konon banyak penipu disana. Tetapi aku sudah hampir di rumahnya, aku tak mau mundur. Lagipula aku menyukai “orang asing”, aku menantang diriku dengan misteri, dan aku pecandu kebaruan.

Di depan gerbang gerbang rumah aku berhenti mengambil handphoneku. Kulihat dari luar dia melambai-lambaikan tangannya. Aku gelagapan, dia cukup agresif dengan keterbukaan dan keceriaannya. Aku membalasnya dengan senyum dan salam dalam bahasanya yang kulafalkan dengan artikulasi samar karena gugup.

Aku duduk di ruang tamu sederhana, di sofa hijau gelap dengan pola flora. Kulihat sekelilingku beberapa foto, botol liquor dan lukisan-lukisan yang terlihat dibeli di Perempatan Sagan. Dua gelas teh melesat dan kini berada di atas meja kaca, meja yang menjadi batas antara si tuan rumah dan aku, si tamu. Perbincangan pun dimulai, pelan-pelan aku dengarkan kata-katanya dengan seksama. Kadang aku membalas ngawur karena aku salah menerka omongannya. Dia hanya tersenyum dan maklum. Aku malu kelisutan, tetapi aku mencoba untuk menunjukkan wibawaku sebagai seorang mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM yang telah terkareditas secara internasional. Mungkin dia bisa membaca wajahku yang tegang. Dia menawarkan musik untuk diputar. Aku bertanya apakah dia memiliki lagunya BB King, tetapi dia menawarkan alternatif lain bernama John Farrnham. Seorang musisi legendari dari negaranya. Lagu pop cinta dengan beat yang menyenangkan. Kakiku secara otomotis berjingkat-jingkat mengikuti melodi. Dia melirikku senang.

Musik adalah mantra. Musik memang bukan dirangkai dengan bahasa-bahasa sulit dan tak bisa dicerna seperti mantra kuno. Tetapi musik memiliki kekuatan seperti mantra, menghipnotis, menarik jiwaku kedalam atmosfer absurd imajiner. Ajaibnya, kami jadi bisa berbincang dengan lancar dan rileks. Perbincangan ekonomi, politik hingga religi. Dari perdebatan hingga kelakar tertawa. Inikah chemistry itu? Sebuah tali gaib yang mengikat secara kasatmata.

Dia mampu mencium keingintahuanku yang besar mengenai duniannya. Aku pun dibawanya ke sebuah ruangan di belakang kamar tamu. Disana sehari-hari dia bekerja sebagai seorang konsultan bisnis. Dia memperlihatkan beberapa desain yang dibuat oleh tim nya. Dengan bangga dia berkoar-koar mengenai kejayaan yang dia raih di bisnisnya. Dalam hati aku bertanya-tanya, bagaimana desain murahan seperti itu bisa terjual di pasaran. Mungkin itulah pasar, tempat pembuangan barang murahan yang diproduksi secara masal.

Aku mencoba mengalihkan topik perbincangan. Kumulai dengan bertanya mengenai foto-foto yang terpajang di atas rak teve. Satu per satu dia menjelaskan, memberiku sebuah pintu untuk menelisik kehidupan yang paling private dari dirinya. Hingga dia berhenti pada penjelasan sebuah foto. Seorang bertopi yang sedang merangkul koala. Dia menghela nafas panjang. Akhirnya aku menemukan bahwa dirinya adalah seorang yang terluka karena ditinggal kekasih. Dia adalah tumbal ambisi materialisme bernama uang. Ketika dia sadarsemua sudah terlambat. Dia berusaha untuk menjaga relasinya tetapi si kekasih sudah pergi bersama hasratnya yang lain. Luka itu masih terlihat dari nanar matanya. Bagaimana denganku? Jika dia adalah korban dari seorang kekasih, maka aku adalah korban dari realitas bahwa cinta dan seks bisa menjadi suatu hal yang terpisahkan. Bahwa cinta tidak lagi transenden tetapi imanen. Seks adalah suatu hal yang profan bukan lagi sakral. Walau kami berbeda cerita kehidupan, tetapi kami memiliki kesamaan sebagai orang yang terluka.

Aku memeluknya karena iba, dia membalasku dengan sebuah ciuman.Tidak! mungkin aku yang menciumnya. Ciuman pertamaku dengannya. Setelah itu dia berkata bahwa aku adalah orang yang baik dan menarik. Maka kami pun bercinta di ranjangnya.

Dimanakah banalitas itu? Kutemukan sentuhan-sentuhan yang mengobati luka. Bisikan-bisikan mistis yang membuat bulu kudukku begidik. Kuraba senyumnya dalam remang, kutemukan sebuah kedamaian dan kebahagiaan. Aku menyangka itu hanyalah sebuah kamuflase pada awalnya. Imagologi atas nafsu yang disajikan lebih romantis dan melankolis. Tetapi pemikiranku runtuh ketika dia mencoba mensucikanku dari kotor atas perbuatan hina di pertemuan pertama kami. Kamar mandi ala barat dengan wangi palm oil yang tidak akan pernah kulupakan. Dia membasuhku dengan air hangat, menyeka mukaku dengan tangannya. Katanya ini yang dilakukan orang jepang untuk menghormati partnernya. Aku terperanjat, dia meruntuhkan berbagai pandanganku akan cinta walau tidak sepenuhnya percaya atas creative destruction yang ditawarkannya.
Aku pun pamit untuk pulang. Dia membekali kepergianku dengan ciuman agar selamat dan bisa bertemu. Aku agak risih karena tidak terbiasa. Ketika sampai di rumah, sebuah ikon pesan tertera di layarku.

“Thank you for coming. See You soon. Hugs W”

Kata Banksy “there are second opportunity called tomorrow.” Saat itu aku tahu bahwa hari ini akan berlanjut pada besok. Sebuah kesempatan kedua untukku untuk bertemu dengan cinta. Kesempatan menjadi seorang pecinta setelah terluka. Atau apalah itu.

No comments:

Post a Comment