Kehidupan dimulai dengan sebuah permulaan. Permulaan itu adalah
pertemuan, 28 Februari 2010, pijakan pertama untuk setapak demi setapak
merangkai waktu menjadi jalinan kronologi dan cerita-cerita. Kami
bertemu di sebuah sore biasa yang cenderung mendung. Dia tinggal di
sebuah kompleks perumahan estate yang cukup mewah di Kota Yogyakarta.
Rumah dua tingkat seragam berjejer mewah
dan elegan, beberapa satpam melirikku ketika aku memasuki kawasan itu.
Seolah ingin mengatakan orang asing dilarang iseng-iseng di area ini.
Ya, kedatanganku memang hanya keisengan belaka. Menjawab undangan
seorang asing yang aku temui di sebuah website yang konon banyak penipu
disana. Tetapi aku sudah hampir di rumahnya, aku tak mau mundur.
Lagipula aku menyukai “orang asing”, aku menantang diriku dengan
misteri, dan aku pecandu kebaruan.
Di
depan gerbang gerbang rumah aku berhenti mengambil handphoneku. Kulihat
dari luar dia melambai-lambaikan tangannya. Aku gelagapan, dia cukup
agresif dengan keterbukaan dan keceriaannya. Aku membalasnya dengan
senyum dan salam dalam bahasanya yang kulafalkan dengan artikulasi samar
karena gugup.
Aku duduk di ruang tamu sederhana, di sofa
hijau gelap dengan pola flora. Kulihat sekelilingku beberapa foto, botol
liquor dan lukisan-lukisan yang terlihat dibeli di Perempatan Sagan.
Dua gelas teh melesat dan kini berada di atas meja kaca, meja yang
menjadi batas antara si tuan rumah dan aku, si tamu. Perbincangan pun
dimulai, pelan-pelan aku dengarkan kata-katanya dengan seksama. Kadang
aku membalas ngawur karena aku salah menerka omongannya. Dia hanya
tersenyum dan maklum. Aku malu kelisutan, tetapi aku mencoba untuk
menunjukkan wibawaku sebagai seorang mahasiswa Fakultas Ekonomi dan
Bisnis UGM yang telah terkareditas secara internasional. Mungkin dia
bisa membaca wajahku yang tegang. Dia menawarkan musik untuk diputar.
Aku bertanya apakah dia memiliki lagunya BB King, tetapi dia menawarkan
alternatif lain bernama John Farrnham. Seorang musisi legendari dari
negaranya. Lagu pop cinta dengan beat yang menyenangkan. Kakiku secara
otomotis berjingkat-jingkat mengikuti melodi. Dia melirikku senang.
Musik
adalah mantra. Musik memang bukan dirangkai dengan bahasa-bahasa sulit
dan tak bisa dicerna seperti mantra kuno. Tetapi musik memiliki kekuatan
seperti mantra, menghipnotis, menarik jiwaku kedalam atmosfer absurd
imajiner. Ajaibnya, kami jadi bisa berbincang dengan lancar dan rileks.
Perbincangan ekonomi, politik hingga religi. Dari perdebatan hingga
kelakar tertawa. Inikah chemistry itu? Sebuah tali gaib yang mengikat
secara kasatmata.
Dia mampu mencium keingintahuanku yang
besar mengenai duniannya. Aku pun dibawanya ke sebuah ruangan di
belakang kamar tamu. Disana sehari-hari dia bekerja sebagai seorang
konsultan bisnis. Dia memperlihatkan beberapa desain yang dibuat oleh
tim nya. Dengan bangga dia berkoar-koar mengenai kejayaan yang dia raih
di bisnisnya. Dalam hati aku bertanya-tanya, bagaimana desain murahan
seperti itu bisa terjual di pasaran. Mungkin itulah pasar, tempat
pembuangan barang murahan yang diproduksi secara masal.
Aku
mencoba mengalihkan topik perbincangan. Kumulai dengan bertanya
mengenai foto-foto yang terpajang di atas rak teve. Satu per satu dia
menjelaskan, memberiku sebuah pintu untuk menelisik kehidupan yang
paling private dari dirinya. Hingga dia berhenti pada penjelasan sebuah
foto. Seorang bertopi yang sedang merangkul koala. Dia menghela nafas
panjang. Akhirnya aku menemukan bahwa dirinya adalah seorang yang
terluka karena ditinggal kekasih. Dia adalah tumbal ambisi materialisme
bernama uang. Ketika dia sadarsemua sudah terlambat. Dia berusaha untuk
menjaga relasinya tetapi si kekasih sudah pergi bersama hasratnya yang
lain. Luka itu masih terlihat dari nanar matanya. Bagaimana denganku?
Jika dia adalah korban dari seorang kekasih, maka aku adalah korban dari
realitas bahwa cinta dan seks bisa menjadi suatu hal yang terpisahkan.
Bahwa cinta tidak lagi transenden tetapi imanen. Seks adalah suatu hal
yang profan bukan lagi sakral. Walau kami berbeda cerita kehidupan,
tetapi kami memiliki kesamaan sebagai orang yang terluka.
Aku
memeluknya karena iba, dia membalasku dengan sebuah ciuman.Tidak!
mungkin aku yang menciumnya. Ciuman pertamaku dengannya. Setelah itu dia
berkata bahwa aku adalah orang yang baik dan menarik. Maka kami pun
bercinta di ranjangnya.
Dimanakah banalitas itu? Kutemukan
sentuhan-sentuhan yang mengobati luka. Bisikan-bisikan mistis yang
membuat bulu kudukku begidik. Kuraba senyumnya dalam remang, kutemukan
sebuah kedamaian dan kebahagiaan. Aku menyangka itu hanyalah sebuah
kamuflase pada awalnya. Imagologi atas nafsu yang disajikan lebih
romantis dan melankolis. Tetapi pemikiranku runtuh ketika dia mencoba
mensucikanku dari kotor atas perbuatan hina di pertemuan pertama kami.
Kamar mandi ala barat dengan wangi palm oil yang tidak akan pernah
kulupakan. Dia membasuhku dengan air hangat, menyeka mukaku dengan
tangannya. Katanya ini yang dilakukan orang jepang untuk menghormati
partnernya. Aku terperanjat, dia meruntuhkan berbagai pandanganku akan
cinta walau tidak sepenuhnya percaya atas creative destruction yang
ditawarkannya.
Aku pun pamit untuk pulang. Dia membekali
kepergianku dengan ciuman agar selamat dan bisa bertemu. Aku agak risih
karena tidak terbiasa. Ketika sampai di rumah, sebuah ikon pesan tertera
di layarku.
“Thank you for coming. See You soon. Hugs W”
Kata
Banksy “there are second opportunity called tomorrow.” Saat itu aku
tahu bahwa hari ini akan berlanjut pada besok. Sebuah kesempatan kedua
untukku untuk bertemu dengan cinta. Kesempatan menjadi seorang pecinta
setelah terluka. Atau apalah itu.
No comments:
Post a Comment