Monday, 16 September 2024

Kenapa Aktivis Tidak Boleh Salah?

 

Menjadi tahu ternyata tidak selamanya berkah, tetapi kutukan. Belum lama ini aku muak karena selalu dilabeli dengan label seorang aktivis, social justice warrior atau apapun itu. Label-label itu membuat diriku terbelenggu. Aku seolah dianggap bukan manusia lagi karena harus selalu bertindak benar. Setiap gerak, mata-mata itu selalu mengikuti. Setiap celah mulut-mulut itu berucap, melontarkan maki-makian.

Seharusnya tidak ada beda antara aktivis dan bukan aktivis. Ini seharusnya menjadi persoalan kesadaran dan tindakan. Jika kita meyakini bahwa semua orang harus belajar, maka seharusnya semua orang belajar untuk tahu dan turut bertindak? Bukan kemudian menghindari untuk tahu dan mendapat pemakluman. Aku tak menyukai dikotomi aktivis dan non aktivis. Ini adalah permainan identitas yang membodohkan. 

Aku muak dan terlalu dengan beban yang tersemat pada seorang aktivis. Kita semua memiliki kecenderungan untuk melakukan kesalahan. Namun ternyata, seorang aktivis mendapatkan penghukuman lebih berat, tanpa pernah melihat hal-hal baik yang pernah dilakukan.

Pengasingan adalah hukuman klise yang diberikan dan hidupnya ditutup dari berbagai kemungkinan untuk tumbuh. Saya bertanya, jika semua orang memiliki kecenderungan untuk salah, kenapa tidak diberikan kesempatan kedua, ketiga, keempat, bagi yang salah untuk berbuat kebaikan kembali? Dia perlu dirangkul. Pengasingan tak akan membuat manusia menjadi manusia kembali.

Aku teringat pada sebuah puisi terakhir dari Soe Hok Gie di saat-saat dia merasakan keterasingan hebat karena perbedaannya. Dia berkata:

Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya.

Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu.

Mari sini sayang ku...

Kalian yang pernah mesra,

Yang pernah baik dan simpati pada ku..

Tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung...

Kita tak pernah menanamkan apa-apa.

Kita tak kan pernah kehilangan apa-apa.

 

 

Thursday, 12 September 2024

Melihat Bunuh Diri Dengan Pandangan Lain

Mungkin tulisan ini perlu diawali dengan pernyataan bahwa ini bukan surat perpisahan, bukan ajakan, atau bukan penilaian. Tulisan ini adalah ungkapan pertemuanku dengan kasus bunuh diri. Tulisan ini juga sebatas kegelisahan ideologis yang berkecamuk. Seorang psikolog akan mengatakan seseorang tidak boleh melakukan bunuh diri. Baginya seseorang yang ingin bunuh diri sedang mengalami gangguan jiwa yang perlu ditolong. Sebaliknya, seorang nihilis mungkin menganggap bunuh diri adalah pilihan hidup. Toh buat apa juga hidup jika semuanya tidak berarti.

Pertemuan pertamaku dengan bunuh diri terjadi waktu di awal usia 20an tahun. Dia adalah konselorku, seorang yang penuh riang dan tawa. Dia menikah dan meninggalkan pekerjaannya sebagai konselor di sebuah lsm, pekerjaan yang dicintainya dengan sungguh-sungguh. Aku dengar dia memiliki kehidupan yang Bahagia. Namun tiba-tiba suatu hari dia datang ke kantor lsm dengan koper besar. Dia membuat bercerita bahwa dunia telah gawat dan mereka harus melakukan sesuatu. Dia juga berbagi tentang impiannya mendirikan sekolah alternatif. Tak seorang pun tahu apa yang sebenarnya terjadi. Hingga sore menjelang malam, dia ditemukan menggantung di rumahnya. Semua orang tertusuk dan terluka, siapa yang menyangka. Siapa yang menyangka, orang yang dikenal penuh tawa ternyata ingin mengakhiri hidupnya.

Ada beberapa kasus bunuh diri yang terjadi. Namun aku ingin memilih beberapa kasus saja yang membuatku merasa resah.

Seorang teman lama yang kukenal cukup pintar dan mapan. Dia seharusnya tidak perlu bekerja karena orang tuanya berlimpah harta. Aku memang mendengar keluarganya berantakan dan dia harus tinggal dengan ayahnya. Dia sempat berpacaran dengan dua orang sahabatku, semuanya berkahir tragis. Namun karena hal itu aku menjadi dekat dengan dia karena aku seperti sebagai jembatan antara dia dengan sahabat-sahabatku. Namun dia kemudian pergi dari Jogja dan suatu hari aku mendengar dia telah mengakhiri hidupnya. Aku mencoba menelisik apa yang terjadi dengan dirinya. Dia adalah seorang yang tidak meyakini Tuhan. Lalu dia sendiri tertarik untuk mempelajari apa yang akan terjadi setelah seorang meninggal dunia. Aku merasa dia sangat serius dengan penelitiannya. Terakhir aku membaca beberapa tulisannya tentang cara mengakhiri hidup dengan hal yang tidak menyakitkan. Dia pun mengakhiri hidupnya dengan cara itu. Aku tak merasakan dirinya sedih. Aku sangat merasa aneh, aku pun ternyata juga bersikap biasa saja dengan kematiannya.

Belum lama ini aku kehilangan seseorang yang aku cintai. Dia mengakhiri hidupnya secara tragis. Dia mencoba mencari pertolongan tetapi masalahnya memang sangat rumit. Dia dijebak dalam suatu masalah yang rumit dan penjahat itu mengeksploitasi finansialnya. Bagiku ini bukan bunuh diri melainkan pembunuhan. Namun hukum di Indonesia tak melihat perkara ini secara mendalam. Ini bunuh diri tetapi juga pembunuhan.

Mungkin aku tidak memiliki pendapat yang tegas mengenai bunuh diri. Mungkin aku memiliki kecenderungan berpihak pada nihilis. Bagiku hidup atau mati adalah pilihan. Kita semua telah hidup dan merasakan bagaimana hidup. Senang, sedih, kecewa, marah dan sebagainya. Kadang aku berpikir, jika kita terus hidup, apa yang akan kita peroleh lagi? Apakah ada hal baru yang tidak kita rasakan sebelumnya? Jika memilih mati, kenapa itu menjadi hal buruk? Apalagi jika kita telah merasa cukup dengan hidup.

Aku ingin menutup tulisan ini dengan ingatanku tentang sebuah pertemuan dengan seorang beberapa tahun yang lalu. Dia adalah seniman teater muda yang berbakat, bahkan jenius! Kasusnya sangat popular karena berbagai tuduhan seperti mengikuti gereja setan, dsb. Mungkin pilihan bunuh diri adalah caranya keluar dari berbagai persoalan hidup yang rumit dan seolah tak bisa diselesaikan. Namun bunuh dirina bagiku adalah pertunjukan seni. Dia melakukannya dengan penuh keindahan, dia menuliskan sebuah script pertunjukkan untuk mengatakan cukup pada kehidupan. Apa yang salah dari bunuh diri? Mungikinkan yang salah sebenarnya adalah kehidupan? Maka jangan salah untuk menyalahkan?

 

Monday, 9 September 2024

Kenapa mendengarkan orang lain lebih mudah daripada mendengarkan diri sendiri?

Seperti orang tersesat, dia terdorong untuk bertanya ke mana jalan yang benar. Namun dia tidak pernah puas dan terus bertanya. Kemudian orang-orang memberinya jalan kebenaran dari versi mereka masing-masing. Dia terlalu menyerap banyak hal sehingga membuatnya menimbang-nimbang, terombang ambing. Sedikit demi sedikit, pertimbangan itu meracaunya. Lalu, kebenaran demi kebenaran menjadi relatif dan seolah tidak ada lagi kebenaran.

Emosinya mulai bergejolak, meluap-luap dan hampir meledak. Tak tahu lagi mana yang benar. Lalu dia memilih sesuatu yang menurutnya benar. Dia melihat segala sesuatu dalam kacamata dirinya dan kacamata itu berbentuk egosentris. Dirinyalah yang paling benar. Namun sebenarnya hatinya hampa. Walau dia telah memiliki jalan kebenarannya, ada keraguan dalam hati. Dan pelan-pelan dia tersadar, dia terlalu banyak mendengarkan orang dan lupa mendengar dirinya sendiri.

Dirinya hilang dalam kehidupan yang berjalan terlalu cepat. Membuatnya menjadi seorang ahistoris. Kepentingan adalah persoalan hari ini dan besok. Kebenaran adalah wujud dari kepentingan-kepentingan.

Aku berkata kepadanya, ada sesuatu yang tidak bisa didengar dengan telinga. Karena telinga hanya mendengar ucap, bukan getaran hati.