Seperti orang tersesat, dia terdorong untuk bertanya ke mana
jalan yang benar. Namun dia tidak pernah puas dan terus bertanya. Kemudian
orang-orang memberinya jalan kebenaran dari versi mereka masing-masing. Dia
terlalu menyerap banyak hal sehingga membuatnya menimbang-nimbang, terombang
ambing. Sedikit demi sedikit, pertimbangan itu meracaunya. Lalu, kebenaran demi
kebenaran menjadi relatif dan seolah tidak ada lagi kebenaran.
Emosinya mulai bergejolak, meluap-luap dan hampir meledak. Tak
tahu lagi mana yang benar. Lalu dia memilih sesuatu yang menurutnya benar. Dia
melihat segala sesuatu dalam kacamata dirinya dan kacamata itu berbentuk egosentris.
Dirinyalah yang paling benar. Namun sebenarnya hatinya hampa. Walau dia telah
memiliki jalan kebenarannya, ada keraguan dalam hati. Dan pelan-pelan dia
tersadar, dia terlalu banyak mendengarkan orang dan lupa mendengar dirinya
sendiri.
Dirinya hilang dalam kehidupan yang berjalan terlalu cepat. Membuatnya
menjadi seorang ahistoris. Kepentingan adalah persoalan hari ini dan besok. Kebenaran
adalah wujud dari kepentingan-kepentingan.
Aku berkata kepadanya, ada sesuatu yang tidak bisa didengar dengan telinga. Karena telinga hanya mendengar ucap, bukan getaran hati.
No comments:
Post a Comment