Menjadi
tahu ternyata tidak selamanya berkah, tetapi kutukan. Belum lama ini aku muak
karena selalu dilabeli dengan label seorang aktivis, social justice warrior
atau apapun itu. Label-label itu membuat diriku terbelenggu. Aku seolah
dianggap bukan manusia lagi karena harus selalu bertindak benar. Setiap gerak,
mata-mata itu selalu mengikuti. Setiap celah mulut-mulut itu berucap,
melontarkan maki-makian.
Seharusnya
tidak ada beda antara aktivis dan bukan aktivis. Ini seharusnya menjadi
persoalan kesadaran dan tindakan. Jika kita meyakini bahwa semua orang harus
belajar, maka seharusnya semua orang belajar untuk tahu dan turut bertindak? Bukan
kemudian menghindari untuk tahu dan mendapat pemakluman. Aku tak menyukai dikotomi
aktivis dan non aktivis. Ini adalah permainan identitas yang membodohkan.
Aku
muak dan terlalu dengan beban yang tersemat pada seorang aktivis. Kita semua
memiliki kecenderungan untuk melakukan kesalahan. Namun ternyata, seorang
aktivis mendapatkan penghukuman lebih berat, tanpa pernah melihat hal-hal baik
yang pernah dilakukan.
Pengasingan adalah hukuman klise yang diberikan dan hidupnya ditutup dari berbagai kemungkinan untuk tumbuh. Saya bertanya, jika semua orang memiliki kecenderungan untuk salah, kenapa tidak diberikan kesempatan kedua, ketiga, keempat, bagi yang salah untuk berbuat kebaikan kembali? Dia perlu dirangkul. Pengasingan tak akan membuat manusia menjadi manusia kembali.
Aku
teringat pada sebuah puisi terakhir dari Soe Hok Gie di saat-saat dia merasakan
keterasingan hebat karena perbedaannya. Dia berkata:
…
Setelah
kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya.
Tentang
tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu.
Mari
sini sayang ku...
Kalian
yang pernah mesra,
Yang
pernah baik dan simpati pada ku..
Tegaklah
ke langit luas atau awan yang mendung...
Kita
tak pernah menanamkan apa-apa.
Kita
tak kan pernah kehilangan apa-apa.