Thursday, 12 September 2024

Melihat Bunuh Diri Dengan Pandangan Lain

Mungkin tulisan ini perlu diawali dengan pernyataan bahwa ini bukan surat perpisahan, bukan ajakan, atau bukan penilaian. Tulisan ini adalah ungkapan pertemuanku dengan kasus bunuh diri. Tulisan ini juga sebatas kegelisahan ideologis yang berkecamuk. Seorang psikolog akan mengatakan seseorang tidak boleh melakukan bunuh diri. Baginya seseorang yang ingin bunuh diri sedang mengalami gangguan jiwa yang perlu ditolong. Sebaliknya, seorang nihilis mungkin menganggap bunuh diri adalah pilihan hidup. Toh buat apa juga hidup jika semuanya tidak berarti.

Pertemuan pertamaku dengan bunuh diri terjadi waktu di awal usia 20an tahun. Dia adalah konselorku, seorang yang penuh riang dan tawa. Dia menikah dan meninggalkan pekerjaannya sebagai konselor di sebuah lsm, pekerjaan yang dicintainya dengan sungguh-sungguh. Aku dengar dia memiliki kehidupan yang Bahagia. Namun tiba-tiba suatu hari dia datang ke kantor lsm dengan koper besar. Dia membuat bercerita bahwa dunia telah gawat dan mereka harus melakukan sesuatu. Dia juga berbagi tentang impiannya mendirikan sekolah alternatif. Tak seorang pun tahu apa yang sebenarnya terjadi. Hingga sore menjelang malam, dia ditemukan menggantung di rumahnya. Semua orang tertusuk dan terluka, siapa yang menyangka. Siapa yang menyangka, orang yang dikenal penuh tawa ternyata ingin mengakhiri hidupnya.

Ada beberapa kasus bunuh diri yang terjadi. Namun aku ingin memilih beberapa kasus saja yang membuatku merasa resah.

Seorang teman lama yang kukenal cukup pintar dan mapan. Dia seharusnya tidak perlu bekerja karena orang tuanya berlimpah harta. Aku memang mendengar keluarganya berantakan dan dia harus tinggal dengan ayahnya. Dia sempat berpacaran dengan dua orang sahabatku, semuanya berkahir tragis. Namun karena hal itu aku menjadi dekat dengan dia karena aku seperti sebagai jembatan antara dia dengan sahabat-sahabatku. Namun dia kemudian pergi dari Jogja dan suatu hari aku mendengar dia telah mengakhiri hidupnya. Aku mencoba menelisik apa yang terjadi dengan dirinya. Dia adalah seorang yang tidak meyakini Tuhan. Lalu dia sendiri tertarik untuk mempelajari apa yang akan terjadi setelah seorang meninggal dunia. Aku merasa dia sangat serius dengan penelitiannya. Terakhir aku membaca beberapa tulisannya tentang cara mengakhiri hidup dengan hal yang tidak menyakitkan. Dia pun mengakhiri hidupnya dengan cara itu. Aku tak merasakan dirinya sedih. Aku sangat merasa aneh, aku pun ternyata juga bersikap biasa saja dengan kematiannya.

Belum lama ini aku kehilangan seseorang yang aku cintai. Dia mengakhiri hidupnya secara tragis. Dia mencoba mencari pertolongan tetapi masalahnya memang sangat rumit. Dia dijebak dalam suatu masalah yang rumit dan penjahat itu mengeksploitasi finansialnya. Bagiku ini bukan bunuh diri melainkan pembunuhan. Namun hukum di Indonesia tak melihat perkara ini secara mendalam. Ini bunuh diri tetapi juga pembunuhan.

Mungkin aku tidak memiliki pendapat yang tegas mengenai bunuh diri. Mungkin aku memiliki kecenderungan berpihak pada nihilis. Bagiku hidup atau mati adalah pilihan. Kita semua telah hidup dan merasakan bagaimana hidup. Senang, sedih, kecewa, marah dan sebagainya. Kadang aku berpikir, jika kita terus hidup, apa yang akan kita peroleh lagi? Apakah ada hal baru yang tidak kita rasakan sebelumnya? Jika memilih mati, kenapa itu menjadi hal buruk? Apalagi jika kita telah merasa cukup dengan hidup.

Aku ingin menutup tulisan ini dengan ingatanku tentang sebuah pertemuan dengan seorang beberapa tahun yang lalu. Dia adalah seniman teater muda yang berbakat, bahkan jenius! Kasusnya sangat popular karena berbagai tuduhan seperti mengikuti gereja setan, dsb. Mungkin pilihan bunuh diri adalah caranya keluar dari berbagai persoalan hidup yang rumit dan seolah tak bisa diselesaikan. Namun bunuh dirina bagiku adalah pertunjukan seni. Dia melakukannya dengan penuh keindahan, dia menuliskan sebuah script pertunjukkan untuk mengatakan cukup pada kehidupan. Apa yang salah dari bunuh diri? Mungikinkan yang salah sebenarnya adalah kehidupan? Maka jangan salah untuk menyalahkan?

 

No comments:

Post a Comment