Saturday, 5 May 2012

Sasak: Lokal Yang Komersil


Seperti biasa, pagi memberikan salam hangatnya setelah mentari beranjak dari peraduannya. Kabut tipis masih terlihat di atas bukit batulayar, tempat aku tinggal di Senggigi, Lombok. Suasana yang indah dan tenang menciptakan kedamaian jiwa di tengah badai masalah yang menerpa otakku. Kawanku berkata, kelak ia akan membangun rumah dan tinggal disini. Tapi buatku, aku cukup merasa bahagia di Yogyakarta.

Aku membersamai pagi yang indah ini dengan semangat yang menggebu-gebu. Hari ini aku akan memacu motorku untuk bertemu dengan Suku Sasak, sebuah suku legendaris yang tinggal di Lombok. Pelan-pelan aku menuruni bukit batulayar dan segera aku pacu motorku setelah tiba di jalan hitam yang agak sepi pagi itu.

Destinasi pertamaku adalah di Sukarera. Tempat ini terkenal sebagai penghasil kain tenun khas Suku Sasak. Konon hanya orang Sasaklah yang bisa membuat kain tenun tersebut dan hal itu diwariskan sejak turun temurun.

Kota Sukarera berada di Lombok Tengah sementara Senggigi berada di pesisir pantai bagian Lombok sehingga dibutuhkan kira-kira dua jam untuk sampai disana. Aku harus bertanya berkali-kali untuk menemukan tempat ini karena petunjuk jalan menuju Sukarera sangatlah minim sementara percabangan jalan ada di mana-mana.

Aku tiba di Sukarera sekitar pukul 1 siang, daerah ini cukup kecil dan sederhana. Aku melihat para ibu sedang menenun di gubuk kecil depan rumah. Mereka menyambut kedatanganku dengan ramah. Kami sedikit berbicara mengenai kehidupan mereka. Pembicaraan ini kemudian menguak imajinasi yang aku peroleh dari buku dan mempertemukan dengan kenyataan Suku Sasak di tempat ini.

Suku Sasak di Daerah Sukarera hidup layaknya masyarakat lainnya. Perbedaan mendasar hanyalah garis keturunan dan keahlian menenun yang masih diwariskan dari generasi ke generasi. Setelah berbicang panjang lebar, aku ditawari untuk melihat koleksi tenun mereka.

Ada beberapa koleksi yang mereka tawarkan. Ada kain tenun tradisional dengan motif rumah adat Lombok hingga batik cap Lombok. Aku terkesan dengan karya mereka, namun aku segera undur diri setelah mereka menawarkan harga kepadaku. Segera aku beranjak ketempat lain sebelum angka-angka kain tenun nan indah itu menggila di otakku.

Motorku yang menggila panas aku paksa untuk menghantarkanku ke sisi lain Lombok di daerah Sade. Tempat ini sangat dekat dengan Kuta Lombok yang saat ini semakin popular setelah bandara Lombok di pindah ke Lombok Tengah.

Sade dikenal sebagai tempat dimana suku asli Sasak masih hidup asri dan alami. Lagi-lagi aku harus menghabiskan waktu sekitar 1 jam untuk mencapai tempat ini. Sade terletak di Lombok bagian timur sehingga sempurnalah aku hari ini membelah Pulau Lombok.

Gerbang Desa Sade terlihat tradisional dengan kayu dan rumbai-rumbai. Ketika aku ingin masuk ke desa seorang pemuda memanggilku dan menyuruh aku untuk parkir di depan gerbang masuk. Dia berkata aku harus memarkir sepeda motor di luar desa untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti ketidaknyamanan penduduk atau penduduk lokal meminta sepeda motorku.

Dia juga memberitahukan ada sumbangan sukarela untuk desa sebelum aku masuk dan akan ada pendamping yang akan menemaniku berkeliling desa.    

Tak lama setelah penjelasan singkat aku segera melangkah memasuki gerbang Desa Sade. Tak lama berjalan ternyata aku menemukan beberapa motor disana. Sebuah kejanggalan atas kontradiksi yang dikatakan oleh pemandu yang mencegatku di depan gerbang desa.

Hari itu aku ditemani oleh seorang pemandu bernama Nilko. Dia adalah penduduk asli desa tersebut. Ia terlihat begitu lokal dengan sarung sederhana dan kaos tua. Walau begitu ia cakap berbahasa Inggris. Aku bertanya bagaimana ia bisa berbicara Bahasa Inggris. Ternyata ia telah mendapat pelatihan untuk menjadi seorang pemandu turis dan pernah bekerja di Hotel Novotel yang terletak di Pantai Kuta, Lombok.

Nilko kemudian dengan ramah menjelaskan seluk beluk Desa Sade kepadaku dengan bahasa yang rapid an professional.

Tentang Desa
Desa Sade terdiri dari sekitar 29 kepala keluarga dengan penduduk sekitar 150 orang, cukup padat untuk sebuah desa yang kecil. Desa ini nampaknya sudah lama tidak mendapat hujan karena aku melihat bongkahan tanah retak dimana-mana. Tempat ini cukup panas karena berdekatan dengan pantai.

Mata pencaharian warga adalah petani sehingga sangat bergantung dengan lahan pertanian. Untuk musim kemarau seperti ini mereka tidak bisa berbuat banyak dan mengandalkan pemasukan dari kunjungan turis ke desa.

Rumah di desa ini tersusun cukup rapi dan padat. Hampir setiap rumah memiliki Lumbung, rumah tradisional Lombok yang digunakan sebagai tempat menyimpan padi. Lumbung berbentuk lonjong dengan puncak melengkung tajam. Ia disangga oleh kayu pondasi sehingga tidak bersentuhan dengan tanah. Hal itu dilakukan untuk mencegah binatang memakan persediaan makanan mereka. Untuk masuk ke lumbung, kita harus menggunakan tangga karena Lumbung hanya memiliki satu pintu di sebelah samping dan cukup tinggi.

Rumah penduduk sendiri cukup unik karena beralasakan tanah liat yang padat. Ubin tersebut adalah campuran antara tanah liat dan kotoran sapi. Kotoran sapi tidak hanya digunakan untuk memadatkan ubin tetapi juga memiliki arti filosofis. Mereka menggunakan kotoran sapi sebagai simbol kerja keras yang mereka lekatkan pada setiap rumah disana.

Rumah tradisional dibuat tidak terlalu tinggi dengan satu pintu yang cukup mungil. Hal itu sebuah kesengajaan sebagai bentuk penghormatan kepada tuan rumah karena setiap kita memasuki rumah kita harus menunduk. Biasanya satu rumah hanya memiliki satu kamar saja sebagai kamar wanita, sedangkan laki-laki tidur di beranda rumah.

Laki-laki Suku Sasak sengaja tidur di beranda rumah sebagai penjaga wanita terutama gadis yang mereka miliki dalam keluarga. Para gadis itu dijaga agar tidak diculik oleh para bujang disana yang ingin memperistri mereka. Suku Sasak memiliki tradisi berbeda dalam urusan pinang-meminang. Para bujang disana harus berkompitisi untuk menculik para gadis karena gadis-gadis di Sasak biasanya memiliki lebih dari satu pacar. Mereka juga harus memiliki siasat yang cerdik untuk bisa menculik si gadis karena bapaknya hampir selalu berada di beranda rumah.

Penculikan Gadis Sasak tidak bisa disamakan dengan arti penculikan secara harfiah, mungkin lebih dekat dengan arti kawin lari. Setelah si bujang berhasil menculik gadis maka gadis itu akan dibawa ke rumah si bujang. Setelah mereka menyatakan pernikahan barulah wakil dari si bujang mendatangi keluarga si gadis untuk memberitahu perihal pernikahan. Selanjutnya dua hari setellah prosesi itu maka hulubalang di undang untuk meresmikan pernikahan.

Nilko secara panjang lebar menceritakan tradisi-tradisi Suku Sasak sembari kami berjalan menuju sisi desa yang lain. Kami berjalan sampai di tengah desa dan terdapat aula yang digunakan sebagai tempat pertemuan warga. Seperti rumah tradisional lain, aula ini beralaskan tanah liat yang dicampur dengan kotoran sapi.

Desa Sade memiliki beberapa perangkat desa tak jauh beda dari desa laiinya. Sistem kasta yang sering dikait-kaitkan dengan mereka ternyata tidak benar-benar diterapkan di desa ini. Memang ada kategori bangsawan dan rakyat biasa, tetapi tidak ada stratifikasi sosial yang ketat. Mereka juga tidak memiliki perbedaan berarti dalam ritual adat yang mereka lakukan.

Diantara Komersil dan Sosialis
Setelah berbicara panjang lebar dengan Nilko mengenai segala sisi dari Desa Sade. Ia mengajakku ke sebuah rumah kecil tak jauh dari gerbang desa. Di depan rumah terpampang logo PNPM Mandiri, ternyata pemerintah telah masuk ke desa ini. Rumah itu adalah bantuan pemerintah dan digunakan warga sebagai galeri karya kain tenun masyarakat.

Hasil karya mereka tidak jauh berbeda dari Suku Sasak yang berada di Sukarera. Bedanya karya mereka lebih sederhana dan memiliki ukuran lebih kecil karena menggunakan alat yang sangat tradisional. Aku sama sekali tidak berniat untuk membeli kain tenun nan indah itu. Tetapi agar terlihat menghormati aku mengajukan beberapa pertanyaan mengenai karya mereka. Seperti dugaan, pertanyaan yang aku lontarkan berujung pahit dengan munculnya harga-harga berangka banyak atas karya-karya mereka.

Tetapi ada hal yang menarik dari sistem mereka. Karya dihasilkan oleh perempuan-perempuan Suku Sasak. Mereka mengerjakan secara individu dan menjual secara kolektif. Hasil penjualan tidak diberikan oleh pembuat tetapi digunakan secara kolektif untuk warga desa. Bisanya digunakan untuk membeli beras untuk mencukupui kebutuhan desa. Sebuah sistem sosialis yang hidup subur dalam nilai lokal di Suku Sasak.

Akhirnya kunjunganku ke Suku Sasak berakhir juga. Buku dan fakta kadang berbeda dan aku cukup bahagia mengetahui realitas yang ada. Sebuah perjalanan membelah Lombok yang luar biasa hari ini.  

No comments:

Post a Comment