Seperti biasa, pagi memberikan salam hangatnya setelah mentari beranjak
dari peraduannya. Kabut tipis masih terlihat di atas bukit batulayar, tempat
aku tinggal di Senggigi, Lombok. Suasana yang indah dan tenang menciptakan
kedamaian jiwa di tengah badai masalah yang menerpa otakku. Kawanku berkata,
kelak ia akan membangun rumah dan tinggal disini. Tapi buatku, aku cukup merasa
bahagia di Yogyakarta.
Aku membersamai pagi yang indah ini dengan semangat yang menggebu-gebu.
Hari ini aku akan memacu motorku untuk bertemu dengan Suku Sasak, sebuah suku
legendaris yang tinggal di Lombok. Pelan-pelan aku menuruni bukit batulayar dan
segera aku pacu motorku setelah tiba di jalan hitam yang agak sepi pagi itu.
Destinasi pertamaku adalah di Sukarera. Tempat ini terkenal sebagai
penghasil kain tenun khas Suku Sasak. Konon hanya orang Sasaklah yang bisa
membuat kain tenun tersebut dan hal itu diwariskan sejak turun temurun.
Kota Sukarera berada di Lombok Tengah sementara Senggigi berada di
pesisir pantai bagian Lombok sehingga dibutuhkan kira-kira dua jam untuk sampai
disana. Aku harus bertanya berkali-kali untuk menemukan tempat ini karena
petunjuk jalan menuju Sukarera sangatlah minim sementara percabangan jalan ada
di mana-mana.
Aku tiba di Sukarera sekitar pukul 1 siang, daerah ini cukup kecil dan
sederhana. Aku melihat para ibu sedang menenun di gubuk kecil depan rumah.
Mereka menyambut kedatanganku dengan ramah. Kami sedikit berbicara mengenai
kehidupan mereka. Pembicaraan ini kemudian menguak imajinasi yang aku peroleh
dari buku dan mempertemukan dengan kenyataan Suku Sasak di tempat ini.
Suku Sasak di Daerah Sukarera hidup layaknya masyarakat lainnya.
Perbedaan mendasar hanyalah garis keturunan dan keahlian menenun yang masih
diwariskan dari generasi ke generasi. Setelah berbicang panjang lebar, aku
ditawari untuk melihat koleksi tenun mereka.
Ada beberapa koleksi yang mereka tawarkan. Ada kain tenun tradisional
dengan motif rumah adat Lombok hingga batik cap Lombok. Aku terkesan dengan
karya mereka, namun aku segera undur diri setelah mereka menawarkan harga
kepadaku. Segera aku beranjak ketempat lain sebelum angka-angka kain tenun nan
indah itu menggila di otakku.
Motorku yang menggila panas aku paksa untuk menghantarkanku ke sisi lain
Lombok di daerah Sade. Tempat ini sangat dekat dengan Kuta Lombok yang saat ini
semakin popular setelah bandara Lombok di pindah ke Lombok Tengah.
Sade dikenal sebagai tempat dimana suku asli Sasak masih hidup asri dan
alami. Lagi-lagi aku harus menghabiskan waktu sekitar 1 jam untuk mencapai
tempat ini. Sade terletak di Lombok bagian timur sehingga sempurnalah aku hari
ini membelah Pulau Lombok.
Gerbang Desa Sade terlihat tradisional dengan kayu dan rumbai-rumbai.
Ketika aku ingin masuk ke desa seorang pemuda memanggilku dan menyuruh aku
untuk parkir di depan gerbang masuk. Dia berkata aku harus memarkir sepeda
motor di luar desa untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti
ketidaknyamanan penduduk atau penduduk lokal meminta sepeda motorku.
Dia juga memberitahukan ada sumbangan sukarela untuk desa sebelum aku
masuk dan akan ada pendamping yang akan menemaniku berkeliling desa.
Tak lama setelah penjelasan singkat aku segera melangkah memasuki gerbang
Desa Sade. Tak lama berjalan ternyata aku menemukan beberapa motor disana.
Sebuah kejanggalan atas kontradiksi yang dikatakan oleh pemandu yang mencegatku
di depan gerbang desa.
Hari itu aku ditemani oleh seorang pemandu bernama Nilko. Dia adalah
penduduk asli desa tersebut. Ia terlihat begitu lokal dengan sarung sederhana dan
kaos tua. Walau begitu ia cakap berbahasa Inggris. Aku bertanya bagaimana ia
bisa berbicara Bahasa Inggris. Ternyata ia telah mendapat pelatihan untuk
menjadi seorang pemandu turis dan pernah bekerja di Hotel Novotel yang terletak
di Pantai Kuta, Lombok.
Nilko kemudian dengan ramah menjelaskan seluk beluk Desa Sade kepadaku
dengan bahasa yang rapid an professional.
Tentang Desa
Desa Sade terdiri dari sekitar 29 kepala keluarga dengan penduduk sekitar
150 orang, cukup padat untuk sebuah desa yang kecil. Desa ini nampaknya sudah
lama tidak mendapat hujan karena aku melihat bongkahan tanah retak dimana-mana.
Tempat ini cukup panas karena berdekatan dengan pantai.
Mata pencaharian warga adalah petani sehingga sangat bergantung dengan lahan
pertanian. Untuk musim kemarau seperti ini mereka tidak bisa berbuat banyak dan
mengandalkan pemasukan dari kunjungan turis ke desa.
Rumah di desa ini tersusun cukup rapi dan padat. Hampir setiap rumah
memiliki Lumbung, rumah tradisional Lombok yang digunakan sebagai tempat
menyimpan padi. Lumbung berbentuk lonjong dengan puncak melengkung tajam. Ia
disangga oleh kayu pondasi sehingga tidak bersentuhan dengan tanah. Hal itu
dilakukan untuk mencegah binatang memakan persediaan makanan mereka. Untuk
masuk ke lumbung, kita harus menggunakan tangga karena Lumbung hanya memiliki
satu pintu di sebelah samping dan cukup tinggi.
Rumah penduduk sendiri cukup unik karena beralasakan tanah liat yang
padat. Ubin tersebut adalah campuran antara tanah liat dan kotoran sapi.
Kotoran sapi tidak hanya digunakan untuk memadatkan ubin tetapi juga memiliki
arti filosofis. Mereka menggunakan kotoran sapi sebagai simbol kerja keras yang
mereka lekatkan pada setiap rumah disana.
Rumah tradisional dibuat tidak terlalu tinggi dengan satu pintu yang cukup
mungil. Hal itu sebuah kesengajaan sebagai bentuk penghormatan kepada tuan
rumah karena setiap kita memasuki rumah kita harus menunduk. Biasanya satu
rumah hanya memiliki satu kamar saja sebagai kamar wanita, sedangkan laki-laki
tidur di beranda rumah.
Laki-laki Suku Sasak sengaja tidur di beranda rumah sebagai penjaga
wanita terutama gadis yang mereka miliki dalam keluarga. Para gadis itu dijaga
agar tidak diculik oleh para bujang disana yang ingin memperistri mereka. Suku
Sasak memiliki tradisi berbeda dalam urusan pinang-meminang. Para bujang disana
harus berkompitisi untuk menculik para gadis karena gadis-gadis di Sasak
biasanya memiliki lebih dari satu pacar. Mereka juga harus memiliki siasat yang
cerdik untuk bisa menculik si gadis karena bapaknya hampir selalu berada di
beranda rumah.
Penculikan Gadis Sasak tidak bisa disamakan dengan arti penculikan secara
harfiah, mungkin lebih dekat dengan arti kawin lari. Setelah si bujang berhasil
menculik gadis maka gadis itu akan dibawa ke rumah si bujang. Setelah mereka
menyatakan pernikahan barulah wakil dari si bujang mendatangi keluarga si gadis
untuk memberitahu perihal pernikahan. Selanjutnya dua hari setellah prosesi itu
maka hulubalang di undang untuk meresmikan pernikahan.
Nilko secara panjang lebar menceritakan tradisi-tradisi Suku Sasak
sembari kami berjalan menuju sisi desa yang lain. Kami berjalan sampai di
tengah desa dan terdapat aula yang digunakan sebagai tempat pertemuan warga.
Seperti rumah tradisional lain, aula ini beralaskan tanah liat yang dicampur
dengan kotoran sapi.
Desa Sade memiliki beberapa perangkat desa tak jauh beda dari desa
laiinya. Sistem kasta yang sering dikait-kaitkan dengan mereka ternyata tidak
benar-benar diterapkan di desa ini. Memang ada kategori bangsawan dan rakyat
biasa, tetapi tidak ada stratifikasi sosial yang ketat. Mereka juga tidak
memiliki perbedaan berarti dalam ritual adat yang mereka lakukan.
Diantara Komersil dan Sosialis
Setelah berbicara panjang lebar dengan Nilko mengenai segala sisi dari
Desa Sade. Ia mengajakku ke sebuah rumah kecil tak jauh dari gerbang desa. Di
depan rumah terpampang logo PNPM Mandiri, ternyata pemerintah telah masuk ke
desa ini. Rumah itu adalah bantuan pemerintah dan digunakan warga sebagai
galeri karya kain tenun masyarakat.
Hasil karya mereka tidak jauh berbeda dari Suku Sasak yang berada di
Sukarera. Bedanya karya mereka lebih sederhana dan memiliki ukuran lebih kecil
karena menggunakan alat yang sangat tradisional. Aku sama sekali tidak berniat
untuk membeli kain tenun nan indah itu. Tetapi agar terlihat menghormati aku
mengajukan beberapa pertanyaan mengenai karya mereka. Seperti dugaan,
pertanyaan yang aku lontarkan berujung pahit dengan munculnya harga-harga
berangka banyak atas karya-karya mereka.
Tetapi ada hal yang menarik dari sistem mereka. Karya dihasilkan oleh
perempuan-perempuan Suku Sasak. Mereka mengerjakan secara individu dan menjual
secara kolektif. Hasil penjualan tidak diberikan oleh pembuat tetapi digunakan
secara kolektif untuk warga desa. Bisanya digunakan untuk membeli beras untuk
mencukupui kebutuhan desa. Sebuah sistem sosialis yang hidup subur dalam nilai
lokal di Suku Sasak.
Akhirnya kunjunganku ke Suku Sasak berakhir juga. Buku dan fakta kadang
berbeda dan aku cukup bahagia mengetahui realitas yang ada. Sebuah perjalanan membelah
Lombok yang luar biasa hari ini.
No comments:
Post a Comment