Tuesday, 30 October 2012

Mbah Nawi: Cerita Pemberontak

Bibit pemberontakan sudah tertanam lama di dalam nadirku, aku baru tahu setelah pamanku berbicara mengenai kakek buyutku yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Siang itu setelah memetik jagung di sawah, aku berdiskusi santai dengan pamanku. Ketika berbicara mengenai kondisi sawah beliau menceritakan kisah mengenai kakak buyutku yang bernama Mbah Nawi.

Jika Kakekku lahir pada tahun 1930an, dan kakekku adalah anak terakhir dari istri kedua Mbah Nawi. Aku bisa memperkirakan bahwa Mbak Nawi lahir pada tahun 1860an. Zaman ketika VOC masih bercokol kuat di Yogykarta.

Berdasarkan penuturan pamanku, Mbah Nahwi tidak berasal dari Dusun Jetis, Mororejo, rumah kakekku berada saat ini. Beliau berasal dari Dusun Glagahombo. Dusun yang terletak sekitar tiga kilometer ke arah barat.

Perpindahan Mbah Nawi ke Dusun Jetis memiliki sebab unik karena berupa pengusiran pemerintah kelurahan kepadanya. Pengusiran itu disebabkan karena Mbah Nawi menolak memberikan upeti, hasil panen, kepada pemerintah setempat. Kalau Mbah Nawi memberikan upeti, beliau memberikan jumlah yang sangat sedikit.

Pemerintah kelurahan marah besar dan akhirnya mengusir beliau dari Dusun Glagahombo. Pengusiran itu ditandai dengan batang bambu yang diletakkan di depan rumahnya. Batang bambu itu adalah simbol pengusiran kelurahan bagi warganya yang tidak taat.

Pamanku berkata Mbah Nawi sangat aktif di dalam lingkungan sosialnya. Beliau cukup kritis dengan konstelasi masyarakatnya. Tidak heran jika beliau berani memberontak kepada pemerintah kelurahan yang besikap tidak adil kepada warganya dan waktu itu merupakan perpanjangan kolonialisme VOC.

Walau Mbah Nawi tidak disukai oleh pemerintah kelurahan namun beliau memiliki banyak relasi dan teman di lingkungan masyarakatnya. Aku bisa membayangkan bagaimana ia sangat dekat dengan lingkungannya.
Satu hal yang membuatku sangat kagum adalah etos belajar beliau yang sangat tinggi. Hingga di penghujung usia beliau masih suka mengaji (belajar). Beliau rela bepergian jauh untuk belajar. Bahkan beliau menutup usianya ketika beliau dalam perjalanan mengaji.

Saturday, 27 October 2012

Teroris dan Korupsi di Meja Burjo


Tadi sore aku keluar ke warung dekat rumah karena tidak ada makanan tersisa, terpaksa aku harus keluar untuk mencari makanan. Sempat bingung mau makan malam apa, tetapi karena aku cukup lelah maka aku pergi ke warung dekat rumah di sebelah selatan pertigaan Jalan Kenanga.

Aku masuk ke warung kecil ala jawa barat yang dikenal dnegan sebutan burjo. Sudah ada beberapa orang yang makan disana sambil melihat televisi. Penjaga burjo yang akrab disebut aak’ keluar dari kamar belakang. Ia bertubuh gempal dengan kaos polo warna coklat.

“Mau makan apa om?’’ Tanyanya santai.
“Hmm…nasi telur aja mas.” Aku sempat kebingungan mencari menu yang ditempel ditembok.
“Mau minum apa?”
“Jerus panas aja deh ak!” Pintaku.

Aku menyeret kursi dari bawah meja yang menghadap ke televisi. Kebetulan tayangan yang dilihat waktu itu adalah berita nasional. Belum sempat aku fokus dengan berita yang ditayangkan, aak burjo sudah mengeluarkan minuman dan makanan yang aku pesan.

Aku segera menyantap makanan yang terhidang karena terburu lapar. Aku sesekali menengok ke layar televisi, berharap kalau-kalau ada berita bagus yang muncul. Namun sayangnya yang berita yang muncul cukup klise, penangkapan teroris di Solo yang menjadi perhatian bagi warga sekitar.

Bagiku hal itu tidak begitu menarik tetapi Bapak-bapak yang tua disebelahku berceletuk membuatku tertarik.

“Mending dadi koruptor karo teroris.” Katanya.
“Lha ngopo pak?” Tanya Aak Burjo.
“Yo nek koruptor kan ra bakal dicekel, nek teroris ditangkap karo polisi.”
“Ngopo ra dadi maling wae, kan podo ra kecekel.”
“Yo nek bejo, nek ora lak yo ditangkap kuwi.”
“Iyo yo pak, enak dadi koruptor wae”.

Aku hanya bisa tertawa dalam hati, betapa jenaka kejadian itu. Siapa yang tidak tahu dengan korupsi dan koruptor di Indonesia. Segala kisahnya cukup dikenal hingga untuk bapak tua yang terlihat dari kelas akar rumput. Dia bahkan tahu bahwa koruptor di Indonesia mendapat perlakuan yang menguntungkan baginya.

Sayangnya suara-suara akar rumput ini tak sampai kelangit istana sana. Bagi akar rumput cukuplah mainan elitis sebagai tema perbincangan di sela makan malam saja. 

Monday, 15 October 2012

Buku, Pesta, dan Cinta-ku: G-nite

Udara malam tak begitu dingin, aku baru saja pulang dari Panti Rapih mengantarkan temanku berobat. Aku tiba di rumah pukul 10 malam lalu segera mandi, melepas peluh dan penat. Setelah mandi aku melihat handphoneku, ada satu pesan dan miscalled. Belum sempat aku cek isi pesan, aku mendapat telpon dari Pedro.

Pedro belum lama tinggal di Yogyakarta, mungkin sekitar 3 bulan. Aku mengenal dia dari salah satu teman kuliahku. Pedro sangat tertarik untuk mengeksplore kehidupan Yogyakarta terutama dunia gay. Dia tinggal bersama dengan patnernya di Jogja, tetapi seolah ia tidak bisa leluasa.

“Hi Rastra, Where are you?”.

“I am at my house”.

“I am at Boshe at the parking area. Are you coming for the party tonight?”.

“Ah…Why you don’t tell me if you wanna come tonight. I will be there at eleven. My friends and I will meet there”.

“So you will come for one hour?”.

“Oke, I am going to boshe now”.

Segera aku mengganti pakaian dengan baju terbaik, sepotong jeans biru dengan kaos warna krem muda. Bukan dandanan populer tetapi aku cukup nyaman pakain ini. Aku merasa menjadi diriku sendiri.

Sesampai di Boshe aku segera memarkirkan motorku. Disana masih sepi, aku kira demikian karena biasanya teman-teman datang sekitar pukul 11 malam dan akan klimaks pukul 11.30 malam sebelum Guest List (GL) ditutup.

Aku tidak melihat Pedro diluar Boshe, ternyata dia sudah berada di dalam. Aku tidak langsung masuk karena harus menunggu teman-teman yang memakai GL-ku. Aku pergi ke Indomaret, tempat biasa kami berkumpul sebelum masuk ke pesta. Sebotol jus orange pulpy aku ambil dari kulkas. Aku duduk di luar dan mencampur jus itu dengan cognac yang aku bawa dari rumah.

Batang leherku tertarik kencang, hawa hangat merasuk perlahan ketubuhku. Aku mulai “naik” sedikit demi sedikit beriring dengan tegukan minuman oplosanku.

Pukul 11 malam Boshe sudah dikerumuni oleh anak-anak muda dengan dandanan terbaiknya. Beberapa temanku sudah datang. Kami memutuskan untuk masuk agar bisa mendapat meja. Alunan musik semakin terasa ketika aku berjalan masuk ke ruang utama. Hatiku berdegub kencang menyesuaikan beat lagu-lagu yang dimainkan. Langit-langit dipenuhi bintang warna-warni yang bergerak memenuhi ruang. Alangkah meriahnya malam ini.

Pedro dan temannya duduk di sebelah kiri stage, beberapa botol sudah terhidang di atas meja. Botol berkelas dengan beberapa botol beer, Pedro cukup berkelas dengan gaya hidupnya. Aku menyambutnya dengan pelukan dan ciuman.

“Hai, just two of you coming tonight?”.

“Yes, just two of us. How’s your life going?”.

“I am good, just busy to do program at my office. Usual things”.

“This if for you”. Pedro menawarkan sebotol bir mix max padaku.

“Thanks”. Aku memeluknya sebagai tanda terima kasih.

“Why you don’t text me if you wanna go here?”. Aku bertanya dengan muka heran.

“Well, we just go here”.

“Usually my friends and I come here at 11 pm. We go together. So, if you wanna go, we go together next time”.

“Sure, we come together next time”. 

“Well, enjoy the nite”. Aku beranjak dari tempat duduk dan pergi ke gerombolan temanku yang sedang asyik berdansa.

Malam ini cukup ramai karena Event Orginizer (EO) yang mengonsep acara, Popcorn, merayakan ulang tahunnya yang keempat. Game, sexy dancer dan drag queen mengisi acara dengan cukup meriah walau terlihat tanpa konsep yang jelas.

Aku melihat beberapa teman mulai berdatangan, seolah hampir semua temanku datang ke pesta malam ini. Dari kerumunan aku melihat sosok yang tak asing bagiku. Jack datang, sebuah kejutan bagiku. Aku segera menyapanya.

“Hi, you are coming tonite!”. Sapaku.

“Yes, I won’t miss the party tonight. I buy beer please join the table with me!”. Dia berbicara dengan aksen kakunya. Terkesan seperti aksen Rusia.

“Sure, kewl!”. Kami segera menuju meja.

“You look fater now”.

“I am happy!”.

“Everything oke with you and your husband?”.

“Yes, we are quite busy to manage the house. How about your life?”.

“We have some guest in the weekend, just busy with it”.

“You have good business then”.

“Ya..everything alright. Where is your husband?”.

“He doesn’t like to go to g-nite in Jogja. He prefer go to party in Thailand”. Aku tertawa.

Aku sangat suka dengan sosok Jack, perawakannya tinggi, tegap dan besar namun ia membawakan dirinya sangat santai. Pikirannya cukup terbuka sehingga aku bebas berdiskusi dengannya. Kami mengobrol panjang lebar. Kadang aku harus berteriak ke telinganya karena suaraku kalah dengan dentuman musik yang sangat keras.

Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya. Dia sibuk dengan bisnis yang ia kelola dengan patnernya. Malam ini patnernya sedang berada di Singapura, aku berharap bisa lebih dekat dan intim dengannya malam ini. Tetapi aku ragu, kami hanya sebatas teman saja, lagipula patnerku dan dia cukup dekat.

Suara peluit dibuyikan dengan ritmis unik dan runtut. Itu adalah tanda dance floor akan segera di gelar. Aku beranjak dari kursi dan berdiri berjoget mengikuti musik yang dimainkan oleh DJ. Aku sempat kecewa dengan DJ karena ia tidak membawakan musiknya dengan bagus. Perpaduan musik yang aku kira kurang pas.

Pedro menghampiriku yang sedang asyik berjoget dengan teman-temanku. Dia ingin pulang karena besok paginya harus bekerja. Aku memeluk dan menciumnya sebagai tanda perpisahan. Aku melanjutkan berjoget di depan stage yang mulai ramai.

Ketika aku sedang asyik berjoget, rangkulan tangan dari belakang menerkamku tiba-tiba. Aku membalikkan badan. Ternyata itu adalah Pedro, dia memeluk dan menciumku.

“I thought you are going home”.

“I wanna stay lil bit longer. I am lonely in the house. It always noce to be with you”.

“I like you”.

Kami semakin erat berpelukan dan berciuman. Kami tak peduli dengan orang sekitarku. Aku tak peduli omongan anggapan orang. Persetan dengan kucing, pelacur atau label lainnya yang bisa saja tersemat kepadaku. Aku cukup senang malam ini dan aku tidak menganggu orang lain. Kami melakukannya tanpa paksaan satu sama lain. Inilah kehidupan liberal yang ideal aku kira.

“I think I have to go now”. Pedro mulai melepas pelukannya kepadaku.

“So sad, I will miss you”. Rayuku.

Pedro segera menghilang dalam kerumunan. Aku tak begitu peduli dengan kepergiannya, masih ada temanku yang menemaniku disini. Aku melihat Jack sedang memeluk lelaki muda, bermesraan dan berjoget bersama. Kami saling menatap mata, aku tersenyum kepadanya. Dia melepas pelukannya dan pergi menghampiriku. Aku melemparkan senyumanku, dia memelukku dan menciumku.

“Who’s that guy?”.

“He just my friend”. Kataku acuh.

“We sleep together sometime, I ll fuck you!”. Dia semakin erat memelukku.

“Sure!”.

Kami tak tak bisa lepas dari pelukan yang dipenuhi oleh nafsu. Aku merasa damai bersandar kedalam bahunya. Aku tidak memikirkan apapun hanya ingin menikmati waktu saat ini. Aku sebenarnya sangat menginginkan Jack, tetapi aku sadar bahwa aku dan dia sudah memiliki patner masing-masing.

Inilah G-nite, ketika keinginan-keinginan yang terbalut tabu kita pendam erat-erat, semua luruh seketika. Seperti mimpi? Aku kira demikian karena aku tak tahu apa yang akan terjadi selepas pesta. Siapa yang tahu kalau janji dan rayuan akan terpenuhi. Aku sendiri tidak terlalu berharap. Percuma untuk berharap untuk mimpi, nikmati saja layaknya pesta. 

***

Saturday, 13 October 2012

Sofia-ku



Hujan mulai turun di pertengahan bulan Oktober, itu tandanya hujan datang lebih awal dari perkiraan kami. Bagi kebanyakan orang, datangnya hujan memberikan penyegaran atas kerontang yang dibawa kemarau, tetapi bagiku adalah sebuah tangisan.

Orang bisa saja terlelap nyenyak bersama hujan, tetapi aku tak bisa tidur. Aku tidak takut hujan, tetapi itu membuatku merasa sangat dingin dan sepi. Sempat berpikir mengenai neraka yang aku yakini adalah suatu hal diluar pikiran manusia jadi kenapa harus dipikirkan oleh manusia. Tetapi rasa itu tiba-tiba muncul begitu saja. Bayangkan jika kita tertidur pulas dan tidak terbangun kembali. Apa yang terjadi? Sementara aku bukan pemeluk agama yang teguh. Neraka kah jawabannya? Bulu kudukku berdiri membayangkan “neraka”, aku menjadi risau.

Beberapa hari setelah aku terbayang oleh neraka aku mulai yakin bahwa di tengah permainan ini manusia hanya bisa memainkan perannya dalam batasan aturan yang ada. Jadi aku mencoba menikmati kehidupan yang tengah aku jalani. Seperti sistem-sistem yang lain, reward dan punishment adalah hal yang wajar. Tetapi betapa indahnya jika aku bisa bertemu dengan surga.
Para..para..paradise.

Begitulah lagu yang sering aku dengarkan akhir-akhir ini. Menyenangkan dan menimbulkan tanda tanya besar akan adanya surga. 

Kawan karibku pernah berkata surga adalah tempat dimana kita tidak pernah bosan dan semua birahi bisa terpenuhi disana. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan disana. Aku membuka gambar-gambar di google mengenai surga. Surga tergambarkan sebagai taman penuh warna, suatu warna menyenangkan dengan aliran sungai dan bunga-bunga yang tak pernah kita lihat di bumi.

Semua yang indah, tempat dimana nafsu-nafsu terpenuhi membabi buta, apa yang kurang? Kebahagiaan, apakah aku akan berbahagia disana? Lalu apakah kebahagiaan itu bagiku?

Semalam aku melihat sebuah film berjudul “vanila sky”. Film itu menceritakan mengenai mimpi seorang eksekutif muda yang hidup dengan kehidupan flamboyannya. Suatu hari mengalamai kecelakaan tragis yang membuat hidupnya berubah drastis. Dulu dia dalah sosok yang sangat tampan, namun kecelakaan memberikan luka yang mengerikan. Dia tidak mampu untuk hidup di dunia nyata dan akhirnya dengan teknologi “Lucid Dream” dia dibawa ke mimpi buatan di alam mati surinya.

Mimpinya adalah gambaran dunia yang berbeda dengan kehidupan nyatanya. Mimpiny adalah sesuatu yang ia inginkan. Sosok Sofia adalah salah satu hal yang ia inginkan namun tidak ia temukan di dunia nyata. Sofia menjadi poros kehidupan dan sumbu kebahagiaan bagi hidupnya. Sofia adalah arti kebahagiaan baginya. Bagiku?

Aku melihat foto di samping atas rak buku di kamar atas. Foto lama yang hanya tertempel di tembok, aku melihat senyum lepasku. Dua orang memelukku dari sisi kanan dan kiri. Jika diingat itu adalah momen yang terindah bagiku. Mendaki gunung bersama sahabat terdekat, mencapai puncak, melihat sunrise. Tetapi dipeluk oleh kedua orang itu adalah hal yang jauh berbeda.

Apa yang lebih indah daripada memeluk sahabat terbaik di kananmu dan memeluk manusia besar di sebelah kirimu. Bersama mereka aku tidak terlalu merisaukan masa depan, sebuah rumah yang semakin jauh aku rengkuh. Waktu tak bisa terukur dengan uang jika bersama mereka.

Kini semua hanya mimpi saja, sofia untukku. Aku masih berandai-andai memiliki kesempatan itu sekali lagi. Tetapi bagaimana mungkun, mengatakan rindu saja aku tidak mampu. Lebih baik aku berlari ke dalam mimpi saja. Dunia dimana sofiaku berada.

Wednesday, 10 October 2012

Si Kerbau, Rencana Naik Gunung



Suatu sore sepulang dari sekolah, Beaver pergi ke Perpustakaan Kota untuk mencari-cari buku. Dia sering pergi ke perpustakaan untuk membaca atau menulis. Perpustakaan Kota adalah salah satu tempat favorit baginya. Ketika sedang mencari buku-buku ensikopedia dia menemukan buku mengenai gunung-gunung di Indonesia.

Dia teringat dengan masa lalunya. Beaver sangat suka mendaki gunung, namun saat ini tidak dia lakukan karena tidak memiliki patner. Ia tidak mengambil buku mengenai gunung yang ia temukan, ia lebih tertarik untuk mengambil buku karangan “Hujan di Bulan Juni” karangan Sapardi Djoko. Ia kemudian pergi ke meja bundar di depan perpustakaan.

Tak lama kemudia Si Kerbau, teman baik Beaver, datang dengan sepeda warna merahnya. Ia datang dengan wajah yang cukup serius dengan jenggot tipisnya. 

“Mana, katanya mau ajak teman-temanmu?”. Dia bertanya kepada Beaver.
“Nanti mereka juga akan datang, tunggu aja”.
“Ada apa sih?”.
“Ya mau ngenalin kalian aja. Tapi aku ada suatu rencana”.
“Rencana apa? Jangan sok misterius deh. Males aku”. Wajah Kerbau semakin serius.
“Tunggu aja deh, yang jelas percaya sama aku”.
“Oke deh, pokoknya tubuh dan jiwaku aku serahkan kepadamu!”. Kerbau dan Beaver tertawa.

Tak lama kemudian Panda dan Ular datang mengendarai sepeda warna biru, sepeda lama yang diberikan orang tua Panda. Ia kadang mengeluh menaiki sepeda biru itu, sudah tak layak pakai katanya. Beaver langsung mengenalkan mereka kepada Si Kerbau. Perkenalan cukup cair, mereka mudah akrab walau kadang omongan mereka tidak nyambung.

Dengan wajah misterius dan senyuman multi tafsir ia mengambil alih obrolan teman-temannya.
“Kalian udah pernah naik gunung belum?”.
“Aku udah pernah sekali ke Merbabu sama temanku”. Kata Beaver.
“Aku belum pernah sama sekali, tapi aku suka traveling”. Ular menambahkan.
“Gimana kalau akhir pekan ini kita naik Gunung Merbabu?”. Beaver mengajak.
“Aku ikut!”. Kerbau mengiyakan tanpa pikir panjang.
“Nah kalo mau naik Gunung Merbabu ada beberapa jalur. Tetapi kita pilih Jalur Selo atau Wekas aja. Kalo kita pilih jalur Selo kita bakal lewat pemandangan yang sangat bagus, bahkan mungkin kita bisa melihat bunga edelweis disana. Nah kalo lewat Wekas, itu jalur yang paling pendek kira-kira 6 jam aja.  Bagaimana?”
“Lewat Selo aja kan bagus”. Kata Ular.
“Boleh juga lewat sana, tetapi jalannya bercabang-cabang jadi kalo berangkat malam hari agak cukup riskan kesasar”. Papar Beaver.
“Tapi if we plan we will not lose”. Kerbau meyakinkan.
“Ya udah kita buat persiapan aja, itu yang penting. Aku nggak masalah mau pergi lewat Jalur Selo yang penting kita siap-siap”. Panda menambahkan.
“Oke, kita naik lewat jalur Selo saja. Aku suka jalur itu”. Beaver mengiyakan.

Rencananya mereka akan mendaki selama dua hari satu malam. Mereka kemudian membagi tugas masing-masing terkati perbekalan, tenda dan persiapan individu. Mereka terlihat cukup antusias. Mereka membayangkan sebuah petualangan luar biasa yang akan dihadapi.

Malam-malam pun dipenuhi dengan mimpi di alam mimpi. Bintang-bintang berkerlap-kerlip menyusun harapan-harapan yang mereka bubungkan ke langit.  

Saturday, 6 October 2012

Uang "Sosial"



Matahari belum genap betul tenggelam di arah barat. Aku berpikir jalan-jalan sangat padat dijejali orang-orang yang pulang bekerja. Aku menunda pulang, membayangkan jalan yang penuh sesak sudah membuatku sakit. Entah kenapa emosiku gampang sekali terpacu, semangat kerjaku juga menurun. 

Aku menyeduh segelas teh untuk menemani dan duduk di ruang tengah bersama teman-teman yang masih tinggal. Mereka berbicara asyik menyinggung mengenai program-program pelatihan sedangkan aku terpaku dengan layar laptop bermain game sambil menguping pembicaraan mereka.

Aku tertarik dengan pembicaraan mereka mengenai uang transport dan per diem yang mereka peroleh ketika mengikuti suatu pelatihan. Temanku juga menanyakan per diem yang pernah aku peroleh ketika berangkat pelatihan di Jakarta. Seolah mereka mencoba untuk membandingkan.

Perbincangan terbawa kedalam guyonan ringan saja, tetapi ada hal yang membuatku risih. Batinku memberontak, apalagi ketika dikaitkan bahwa sangat manusiawi jika manusia membutuhkan uang. Sayangnya pengalamanku dengan uang membuatku sangat muak kadang. Ia lebih tabu daripada seks atau perdebatan mengenai agama.

Banyak selintingan yang mengatakan bahwa teman-teman komunitas hanya mencari uang di dalam tubuh komunitas. Aku tidak mempercayai itu sepenuhnya karena berpikir teman-teman memiliki sebuah visi personal untuk kemajuan pergerakan dan melakukan aksi nyata untuk memajukan komunitas.

Mengingat kata Ahmad Dahlah “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari penghidupan di Muhammadiyah”, dengan ketulusan perjuangan dan kerja keras Muhammadiyah menjadi salah satu organisasi muslim terbesar di Indonesia. Aku kira kunci keberhasilan mereka terletak pada manusia-manusia yang berjuang di dalamnya. 

Aku masih ingat ketika bapakku mengajakku untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Muhammadiyah. Mereka yang aktif adalah para sukarelawan bahkan mereka menyumbang apa yang mereka bisa berikan untuk kegiatan Muhammadiyah. Melihat perjuangan mereka adalah suatu hal yang luar biasa. Kuncinya adalah ketulusan, tekad dan harapan. Mereka menghidupi pergerakan dan mereka dengan hal itu.

Bukan bermaksud untuk membandingkan untuk mencari kelemahan-kelemahan pergerakan komunitas saat ini. Tetapi kita bisa belajar dari organisasi masyarakat yang sudah besar. Temanku pernah mengatakan bahwa tidak akan ada lembaga donatur lagi beberapa tahun lagi. Apakah perjuangan akan berakhir? Aku takut apa yang telah dimulai akan berakhir sia-sia.

Satu persatu teman-temanku pergi meninggalkan kantor. Hari sudah cukup gelap aku pun bersiap untuk pulang ke rumah.

Uang memiliki suatu misteri yang belum aku pahami. Ia memberikan kekuatan dan kegilaan yang tak bisa terbantahkan. Tetapi sudah saatnya kita menanamkan suatu pandangan bahwa kita tak bisa diperbudak oleh uang. 

Lebih baik aku pulang, aku semakin gila dan aneh saja.