Monday, 8 January 2018

Dari Perempuan Itu


Perempuan itu terkejut begitu memasuki ruangan tempat dirinya menjalani seleksi wawancara. Ia melihat laki-laki yang ditemuinya di dalam kegiatan seni di Jalan boulevard UGM. Ia tidak terlalu dekat dengan laki-laki itu, tetapi mereka berbincang baik ketika bertemu. Laki-laki itu segera menyadari kedatangan perempuan yang menjaga langkahnya ketika memasuki ruangan.
“Eh kamu to”. Begitu laki-laki itu menyapa. Tanpa sebutan nama hingga membuat perempuan itu merasa bahwa laki-laki itu memang tak mengingat namanya. 

Begitulah pertemuan mereka terjadi, titik awal hingga mereka tumbuh menjadi layaknya seorang kakak-adik. Setidaknya itulah yang sering aku lihat dari hubungan mereka yang sangat unik. Ada saat-saat bahagia, kenangan yang selalu disertai tawa ketika perempuan itu mengingatnya. Atau hal-hal yang ia tak sukai tetapi ia lebih suka menyimpan untuk dirinya sendiri. 

Aku datang tanpa sebuah rencana ke rumah perempuan itu. Ia selalu terbuka untuk diriku. Kami duduk di ruangan bawah tempat kami sering berbincang banyak hal. Siang itu aku menanyakan sebuah rencana santai. Begitu aku menyampaikan hal itu secara sederhana tanpa muluk-muluk. Seperti biasanya ia selalu mengatakan “Apa yang bisa ia bantu.” Aku hampir mengejeknya, balasannya terlalu otomatis seperti seorang pelayan konsumen. Tetapi aku lebih memilih untuk membuka sebuah peluang untuk berbicara hal-hal yang ingin aku ketahui dari perjalanannya selama beraktivisme.

Perempuan itu menerawang ketika aku mengajukan beberapa pertanyaan. Aku sempat berpikir apakah pertanyaanku sedikit rumit untuk digali dari masa lalunya? Beberapa jawaban yang aku dengar terkesan sangat formal, sebuah bukti sukses ideologi organisasi tempatnya menghabiskan bertahun-tahun bersama komunitas tertindas. Ia berkali-kali juga tidak bisa untuk tidak mengaitkan organisasinya. Padahal aku ingin memunculkan subyektivitas dirinya dalam setiap jawabannya. Mungkin aku bukan seorang penanya yang baik, karena seharusnya aku tak perlu berharap dia menjawab sesuatu yang aku inginkan. Aku tahu aku bodoh.

Organisasi tua tempat perempuan mengabdikan diri memang besar pengaruhnya pada gerakan komunitas tertindas, terutama gerakan LGBT. Mereka-mereka yang pernah berada di organisasi itu adalah orang luar biasa yang selalu menginginkan perubahan. Dulu ketika isu HIV AIDS mendominasi segala funding dan wacana. Mereka memilih untuk membuka cakrawala wacana. Perjuangan identitas menjadi pijakan berikutnya untuk mendorong komunitas LGBT untuk bergerak lebih luas memperjuangkan hak mereka. Mereka tak hanya menganggap komunitas LGBT sebagai obyek proyek yang harus selalu didampingi. Mereka meyakini bahwa komunitas memiliki daya untuk menjadi aktor utama perubahan.

Perbincangan kami menjadi tidak teratur. Semakin lama aku bukan menjadi seorang penanya yang pintar. Semakin lama aku pun sedikit khawatir karena berkali-kali ia mengulang nama seorang laki-laki yang telah tiada. Seseorang yang sangat berarti untuk hidupnya. Aku cukup khawatir jika pertanyaanku akan membuka lukanya yang telah sembuh karena ikhlas. Kami diam sejenak, aku lalu mengalihkan pembicaraan pada hal-hal remeh tentang bahasan keseharian komunitas yang tak jauh dari pasangan, pesta atau kesenian. Ternyata dulu dan hari ini tak terlalu berbeda. Masalah-masalah yang seolah terulang, beranak-pinak dan tak terselesaikan. Aku tak ingin menjadi orang yang terlalu pemimis melihat masalah itu. Bukankah perubahan tidak akan pernah terjadi tanpa harapan yang harus selalu hidup. Dari perempuan itu aku semakin percaya bahwa harapan itu harus terus menyala dan diteruskan ke semua orang. Perempuan itu memang tidak terlalu yakin atau mungkin dia tidak terlalu ingat. Beberapa kali dia mengatakan untuk bertanya kepada laki-laki, “kakak”nya yang lebih dulu bergerak bersama komunitas. Aku tahu bahwa aku harus bertanya kepada laki-laki itu. Seorang laki-laki yang menyimpan banyak proses bersamanya. Kadang aku berandai-andai, jika laki-laki itu ingin menggunakan namanya. Mungkin ia telah menjadi seorang direktur, seorang aktivis ternama, atau seorang lain yang besar. Bagiku ia memilih bersama komunitas dan aku hormat padanya.

Aku tak pernah bisa menebak isi kepala perempuan itu. Semakin lama kami berbincang aku ingin semakin dalam menyelam. Mungkin dia akan sangat berbeda memaknai laki-laki itu. Dia lah yang telah lama mengenalnya. Sebelum berada di organisasi yang sama, ia telah mengenalnya melalui mantan kekasihnya. Dari teman kekasihnya ia bertemu dengan laki-laki itu di Boulevard UGM. Mereka berkumpul membicarakan banyak hal terutama kesenian. Di luar jalanan Boulevard perempuan itu juga bertemu dengan laki-laki itu menjadi seseorang yang aktif berbicara LGBT di banyak forum. Kami melihat gerakan yang dibangun oleh laki-laki adalah gerakan menengah. Tetapi aku tak bisa melihat sedangkal itu. Aku harus mendengarkan cerita lain tentang laki-laki itu dari orang lain, perempuan itu tak berani menceritakannya. Dari cerita orang lain, mereka bercerita tentang aksi bersama petani, ramaja jalanan, buruh. Jelaslah bahwa laki-laki itu telah melakukan bunuh diri kelas dan membaur bersama orang-orang kecil.

Melalui perempuan itu aku ingin menceritakan tentang laki-laki itu. Aku tidak ingin orang-orang seperti dirinya berlalu begitu saja dalam waktu. Seperti tahun demi tahun yang lalu, aku dan perempuan itu kehilangan orang-orang besar. Kehilangan selalu memyedihkan, memang. Namun, ada yang lebih menyakitkan jika kami yang pernah bersama mereka tak bisa menyampaikan jiwa mereka kepada lainnya. 

Sebelum teknologi mampu meniadakan kematian. Aku pikir mereka harus tercatat dalam sejarah. Demikian jiwa mereka akan tersampaikan pada lainnya.

Friday, 5 January 2018

Narasi Kecil Gerakan LGBT: Badai di otakku.


Belum terungkap bukan berarti tak ingin dikenang. Tidak tertulis jangan diartikan tak bersejarah.”

Aku selalu antusias mendengarkan cerita senior tentang gerakan LGBT. Cerita tentang bagaimana PLUSH terlahir dan menjadi rumah bagi mereka yang percaya kesetaraan. Di dalam perbincangan, mereka memanggil kisah-kisah yang mengendap lama. Aku menerawang dari dalam mata mereka. Berharap bisa terbawa pada ingatan itu. Setiap perbincangan tentang sejarah selalu menyenangkan. Mereka saling menimpali. Melengkapi ingatan yang terselip oleh waktu. Kadang satu diantara mereka tiba-tiba terkekeh. Teringat cerita jenaka. Lainnya pun ikut tertawa. Sebagai pendengar cerita, aku turut tertawa dan menjadi penonton yang berbahagia. Namun ada rasa sedih setelah mendengarkan cerita mereka. Tidak pernah aku menemukan cerita mereka di dalam buku, jurnal, atau sastra. Mereka seolah tersimpan dalam rahasia sejarah. Teronggok bersama kumpulan narasi kecil. Cerita yang tak terceritakan. Semangat baik yang tak tersampaikan?

Susah sekali menceritakan mereka. Terlalu banyak cerita menggelintar. Pertanyaan bagaimana memulai cerita mereka terngiang-ngiang di dalam benakku setiap kali bertemu dengan mereka. Aku merasa cerita mereka lebih dari sekedar alur peristiwa yang biasa ditemukan dalam ensiklopedia sejarah. Semangat, gagasan dan tantangan mereka harus terceritakan. Cerita mereka adalah persoalan memaknai garis waktu. Makna yang membuat gerakan LGBT tetap hidup hingga hari ini aku bersama mereka.

Menulis adalah caraku menghormati perjuangan mereka. Ini adalah iktikad. Mereka harus terceritakan. Pengorganisator akar rumput. Mereka yang tak pernah silau kedudukan organisasi. Tidak pernah memposisikan diri lebih hebat atau pintar dari komunitas. Mereka adalah teman dari komunitas. Teman yang membangkitkan ketertindasan menjadi sebuah perlawanan berarti. Saat ini mereka telah kembali ke dalam komunitas. Tak menjadi direktur lembaga, politisi atau orang ternama. Mereka adalah orang biasa dan kembali menjadi orang biasa.

Gerakan LGBT di Yogyakarta lahir dari rahim gerakan Kesehatan Reproduksi. Mendengar cerita teman, beberapa dari mereka mengatakan bahwa gerakan advokasi LGBT menjadi embrio wacana dari divisi pengorganisasian gay dan waria di PKBI Yogyakarta. Wacana advokasi tidak terlahir apik seperti konsep hari ini. Ini bukan menjadi sebuah perbandingan. Wacana hari ini adalah pikiran organik yang tumbuh sehingga ia tak lepas dari sejarahnya. Melihat wacana yang populer saat itu, isu HIV AIDS sedang berada di arus utama pengarusutamaan wacana. Ditambah hanya lembaga-lembaga HIV AIDS yang memberikan sokongan dana untuk kepentingan komunitas. Tanpa mengecilkan makna kolektif saat itu. Aku pikir perlu mengakui wacana yang berkembang saat itu membuat gerakan gay dan waria hanya menjadi kelompok yang diakui umum dalam gerakan sosial. Aku yakin, teman-teman ini tidak menyerahkan diri mereka puas dalam wacana lembaga sokongan dana dan wacana umum. Mereka telah berpikir keras mendiskusikan wacana seksualitas lebih luas, tentang orientasi seksual, hak tubuh dan lainnya. Mereka juga mulai berpikir mengajak gerakan Lesbian untuk berjuang bersama.

Sejarah mereka yang dulu cukup aktif di divisi pengorganisasian gay PKBI Yogyakarta juga perlu dicatat sebagai sebuah keberhasilan. Aku masih berhitung soal jumlah, berdasarkan cerita senior, banyak komunitas yang diorganisasi mereka. Ada Pelangi Jogja yang menjadi wadah berkesenian bagi komunitas, Komunitas satu Hati yang aktif dalam kegiatan sosial di Yogyakarta dan komunitas-komunitas tak bernama yang sering berkumpul di alun-alun utara, taman pintar dan titik lainnya. Jika aku harus bertepuk tangan, aku takut jemariku akan remuk saking salutnya. Bisa jadi pengorganisasian waktu itu adalah pengorganisasian terbesar dalam sejarah gerakan LGBT. Tidak hanya itu saja, aku juga mendengar bahwa gerakan LGBT pernah tergabung ke dalam gerakan agraria, buruh dan demokrasi. Interseksionalisme bukan wacana baru hari ini. Mereka telah lebih lama beririsan dengan gerakan lain. Irisan yang hari ini telah lapuk dan kembali dirajut susah payah.

Ternyata ada sedikit keraguan dari iktikad yang besar. Keraguan itu adalah pertanda bahwa aku harus bersabar untuk belajar. Sejarah itu terlalu luas, seperti cerita-cerita yang terlontar santai, mengalir deras hingga aku tak bisa mengimajinasikannya. Sejarah perlu membatasi dirinya agar mampu dimaknai. Aku sedang berpikir keras akan batasan itu. Pilihan yang sangat sulit. Aku pun bersiap untuk salah dengan pikiran terbuka. Menceritakan perjuangan merek adalah perkara rumit. Aku membayangkan setiap orang harus dihargai. Menghargai subyektif mereka, menghargai keakuan mereka. Tulisan seharusnya mampu menangkap bagaimana mereka memandang gerakan LGBT lahir dan tumbuh.

Monday, 1 January 2018

Laki-laki Bersalah

Aku sedih melihat ayahku. Kami terlihat berbincang seperti biasa memang. Seperti hari ini ketika aku pulang ke rumah. Kami bertegur sapa dan berbincang seperti ayah dan anak. Tapi aku merasakan suatu jarak yang coba ia lawan sendirian. Aksen kekakuan itu samar dari sosok dirinya yang senang bercanda. Sampai kapan pun laki-laki itu tak bisa menyembunyikan perasaannya di depanku, termasuk rahasinya. Bertahun-tahun ia menyangka aku tak akan pernah tahu. Padahal sejak ia berniat menyimpan sebuah rahasia, pada hari itu pula aku tahu. Kasihan ayahku. Ia seorang laki-laki bersalah.

Ayahku adalah seorang yang idealis, begitu kata kawanku di kampung. Ia terkenal orang nomor satu penolak budaya tahlilan di kampung. Bagiku ayah tidak serumit itu. Dia hanya seseorang yang memegang prinsip secara teguh. Seorang Muhammadiyah yang melakukan laku Muhammadiyah. Walau aku yakini hal seperti itu adalah politik dan aku telah sering menemukan dualisme dari hidupnya. Tentu aku tidak bisa menghakimi. Bagaimana pun juga seorang seperti diriku yanng meyakini kebenaran relatif tak mampu melakukan hal itu. Namun akhir-akhir ini, kepercayaanku akan kebenaran terkikis. Terutama ketika ibuku mengungkapkan derita yang bertahun-tahun dipendamnya sendiri kepada anak pertamanya, aku.

Tak ada keluarga yang bahagia selamanya. Janji pernikahan berlaku seperti kata-katanya. Mungkin dengan enteng sekali mereka mengatakan komitmennya dulu. Hingga tiba suatu hari di mana jalan berliku penuh cobaan, atau juga ada janji-janji yang ingkar. Begitulah kata-kata, terlalu mudah dikatakan kadang. Lalu apa yang terjadi selanjutnya? Kami anak-anak mereka. Aku tak tahu bagaimana memposisikan diriku di antara mereka. Laki-laki itu linglung tak karuan merasa bersalah, sementara ibuku berkali-kali menangis dan bahkan sempat kabur ke rumahku.

Saat ini ibuku telah baik-baik saja. Itu harapanku. Hanya laki-laki itu yang masih menyimpan sesuatu di dalam otaknya. Dia telah termakan oleh prinsipnya dan sikap dualismenya. Dia memang tersenyum ketika menjelaskan “rahasianya” kepada kami. Tetapi aku tahu gemuruh badai sedang menerjang kepala, mencabik-cabik hatinya. Dan semua ia tuntaskan dengan sebuah pernyataan “menuruti kemauan ibu”. Ingin aku meludah, tapi aku tak tega. Bagaimana pun ia ayah biologisku. Aku juga tak bisa membayangkan perasaan ibuku sendiri jika ia meludah. Selama ini aku terlihat hormat di mata mereka.
Kenapa aku muak. Pernyataan laki-laki itu adalah bukti bahwa ia congkak. Jika tidak aku tegur malam itu. Tentu dia tak akan pernah mengakui bahwa dirinya bersalah kepada kami, anak-anaknya. Walau ia menepis dengan kedok agama, pengakuan hingga memastikan bahwa warisan tetap berada di tangan anak-anak sahnya. Persetan dengan itu semua! Sekali lagi, bagaimana pun laki-laki itu adalah ayah biologisku. Selesai sudah amarahku dan hari ini amarah itu mengendap menjadi strategi jahat yang bisa aku keluarkan sewaktu-waktu kecuali dia tega membunuhku.

Laki-laki bersalah. Yang hari-harinya berlarut kesedihan. Hari-hari terasa begitu cepat. Jangka tiga minggu akan membuatnya gagap. Pilihannya adalah menyerah pada anak-anaknya yang beringas atau berperang dengan sesuatu yang membuatnya jelas kalah. Ia tak punya pilihan kecuali memilih tetap congkak. Jangan bersedih ayah. Begitulah hidup.