“Belum
terungkap bukan berarti tak ingin dikenang. Tidak tertulis jangan
diartikan tak bersejarah.”
Aku
selalu antusias mendengarkan cerita senior tentang gerakan LGBT.
Cerita tentang bagaimana PLUSH terlahir dan menjadi rumah bagi mereka
yang percaya kesetaraan. Di dalam perbincangan, mereka memanggil
kisah-kisah yang mengendap lama. Aku menerawang dari dalam mata
mereka. Berharap bisa terbawa pada ingatan itu. Setiap perbincangan
tentang sejarah selalu menyenangkan. Mereka saling menimpali.
Melengkapi ingatan yang terselip oleh waktu. Kadang satu diantara
mereka tiba-tiba terkekeh. Teringat cerita jenaka. Lainnya pun ikut
tertawa. Sebagai pendengar cerita, aku turut tertawa dan menjadi
penonton yang berbahagia. Namun ada rasa sedih setelah mendengarkan
cerita mereka. Tidak pernah aku menemukan cerita mereka di dalam
buku, jurnal, atau sastra. Mereka seolah tersimpan dalam rahasia
sejarah. Teronggok bersama kumpulan narasi kecil. Cerita yang tak
terceritakan. Semangat baik yang tak tersampaikan?
Susah
sekali menceritakan mereka. Terlalu banyak cerita menggelintar.
Pertanyaan bagaimana memulai cerita mereka terngiang-ngiang di dalam
benakku setiap kali bertemu dengan mereka. Aku merasa cerita mereka
lebih dari sekedar alur peristiwa yang biasa ditemukan dalam
ensiklopedia sejarah. Semangat, gagasan dan tantangan mereka harus
terceritakan. Cerita mereka adalah persoalan memaknai garis waktu.
Makna yang membuat gerakan LGBT tetap hidup hingga hari ini aku
bersama mereka.
Menulis
adalah caraku menghormati perjuangan mereka. Ini adalah iktikad.
Mereka harus terceritakan. Pengorganisator akar rumput. Mereka yang
tak pernah silau kedudukan organisasi. Tidak pernah memposisikan diri
lebih hebat atau pintar dari komunitas. Mereka adalah teman dari
komunitas. Teman yang membangkitkan ketertindasan menjadi sebuah
perlawanan berarti. Saat ini mereka telah kembali ke dalam komunitas.
Tak menjadi direktur lembaga, politisi atau orang ternama. Mereka
adalah orang biasa dan kembali menjadi orang biasa.
Gerakan
LGBT di Yogyakarta lahir dari rahim gerakan Kesehatan Reproduksi.
Mendengar cerita teman, beberapa dari mereka mengatakan bahwa gerakan
advokasi LGBT menjadi embrio wacana dari divisi pengorganisasian gay
dan waria di PKBI Yogyakarta. Wacana advokasi tidak terlahir apik
seperti konsep hari ini. Ini bukan menjadi sebuah perbandingan.
Wacana hari ini adalah pikiran organik yang tumbuh sehingga ia tak
lepas dari sejarahnya. Melihat wacana yang populer saat itu, isu HIV
AIDS sedang berada di arus utama pengarusutamaan wacana. Ditambah
hanya lembaga-lembaga HIV AIDS yang memberikan sokongan dana untuk
kepentingan komunitas. Tanpa mengecilkan makna kolektif saat itu. Aku
pikir perlu mengakui wacana yang berkembang saat itu membuat gerakan
gay dan waria hanya menjadi kelompok yang diakui umum dalam gerakan
sosial. Aku yakin, teman-teman ini tidak menyerahkan diri mereka puas
dalam wacana lembaga sokongan dana dan wacana umum. Mereka telah
berpikir keras mendiskusikan wacana seksualitas lebih luas, tentang
orientasi seksual, hak tubuh dan lainnya. Mereka juga mulai berpikir
mengajak gerakan Lesbian untuk berjuang bersama.
Sejarah
mereka yang dulu cukup aktif di divisi pengorganisasian gay PKBI
Yogyakarta juga perlu dicatat sebagai sebuah keberhasilan. Aku masih
berhitung soal jumlah, berdasarkan cerita senior, banyak komunitas
yang diorganisasi mereka. Ada Pelangi Jogja yang menjadi wadah
berkesenian bagi komunitas, Komunitas satu Hati yang aktif dalam
kegiatan sosial di Yogyakarta dan komunitas-komunitas tak bernama
yang sering berkumpul di alun-alun utara, taman pintar dan titik
lainnya. Jika aku harus bertepuk tangan, aku takut jemariku akan
remuk saking salutnya. Bisa jadi pengorganisasian waktu itu adalah
pengorganisasian terbesar dalam sejarah gerakan LGBT. Tidak hanya itu
saja, aku juga mendengar bahwa gerakan LGBT pernah tergabung ke dalam
gerakan agraria, buruh dan demokrasi. Interseksionalisme bukan wacana
baru hari ini. Mereka telah lebih lama beririsan dengan gerakan lain.
Irisan yang hari ini telah lapuk dan kembali dirajut susah payah.
Ternyata
ada sedikit keraguan dari iktikad yang besar. Keraguan itu adalah
pertanda bahwa aku harus bersabar untuk belajar. Sejarah itu terlalu
luas, seperti cerita-cerita yang terlontar santai, mengalir deras
hingga aku tak bisa mengimajinasikannya. Sejarah perlu membatasi
dirinya agar mampu dimaknai. Aku sedang berpikir keras akan batasan
itu. Pilihan yang sangat sulit. Aku pun bersiap untuk salah dengan
pikiran terbuka. Menceritakan perjuangan merek adalah perkara rumit.
Aku membayangkan setiap orang harus dihargai. Menghargai subyektif
mereka, menghargai keakuan mereka. Tulisan seharusnya mampu menangkap
bagaimana mereka memandang gerakan LGBT lahir dan tumbuh.
No comments:
Post a Comment