Friday, 5 January 2018

Narasi Kecil Gerakan LGBT: Badai di otakku.


Belum terungkap bukan berarti tak ingin dikenang. Tidak tertulis jangan diartikan tak bersejarah.”

Aku selalu antusias mendengarkan cerita senior tentang gerakan LGBT. Cerita tentang bagaimana PLUSH terlahir dan menjadi rumah bagi mereka yang percaya kesetaraan. Di dalam perbincangan, mereka memanggil kisah-kisah yang mengendap lama. Aku menerawang dari dalam mata mereka. Berharap bisa terbawa pada ingatan itu. Setiap perbincangan tentang sejarah selalu menyenangkan. Mereka saling menimpali. Melengkapi ingatan yang terselip oleh waktu. Kadang satu diantara mereka tiba-tiba terkekeh. Teringat cerita jenaka. Lainnya pun ikut tertawa. Sebagai pendengar cerita, aku turut tertawa dan menjadi penonton yang berbahagia. Namun ada rasa sedih setelah mendengarkan cerita mereka. Tidak pernah aku menemukan cerita mereka di dalam buku, jurnal, atau sastra. Mereka seolah tersimpan dalam rahasia sejarah. Teronggok bersama kumpulan narasi kecil. Cerita yang tak terceritakan. Semangat baik yang tak tersampaikan?

Susah sekali menceritakan mereka. Terlalu banyak cerita menggelintar. Pertanyaan bagaimana memulai cerita mereka terngiang-ngiang di dalam benakku setiap kali bertemu dengan mereka. Aku merasa cerita mereka lebih dari sekedar alur peristiwa yang biasa ditemukan dalam ensiklopedia sejarah. Semangat, gagasan dan tantangan mereka harus terceritakan. Cerita mereka adalah persoalan memaknai garis waktu. Makna yang membuat gerakan LGBT tetap hidup hingga hari ini aku bersama mereka.

Menulis adalah caraku menghormati perjuangan mereka. Ini adalah iktikad. Mereka harus terceritakan. Pengorganisator akar rumput. Mereka yang tak pernah silau kedudukan organisasi. Tidak pernah memposisikan diri lebih hebat atau pintar dari komunitas. Mereka adalah teman dari komunitas. Teman yang membangkitkan ketertindasan menjadi sebuah perlawanan berarti. Saat ini mereka telah kembali ke dalam komunitas. Tak menjadi direktur lembaga, politisi atau orang ternama. Mereka adalah orang biasa dan kembali menjadi orang biasa.

Gerakan LGBT di Yogyakarta lahir dari rahim gerakan Kesehatan Reproduksi. Mendengar cerita teman, beberapa dari mereka mengatakan bahwa gerakan advokasi LGBT menjadi embrio wacana dari divisi pengorganisasian gay dan waria di PKBI Yogyakarta. Wacana advokasi tidak terlahir apik seperti konsep hari ini. Ini bukan menjadi sebuah perbandingan. Wacana hari ini adalah pikiran organik yang tumbuh sehingga ia tak lepas dari sejarahnya. Melihat wacana yang populer saat itu, isu HIV AIDS sedang berada di arus utama pengarusutamaan wacana. Ditambah hanya lembaga-lembaga HIV AIDS yang memberikan sokongan dana untuk kepentingan komunitas. Tanpa mengecilkan makna kolektif saat itu. Aku pikir perlu mengakui wacana yang berkembang saat itu membuat gerakan gay dan waria hanya menjadi kelompok yang diakui umum dalam gerakan sosial. Aku yakin, teman-teman ini tidak menyerahkan diri mereka puas dalam wacana lembaga sokongan dana dan wacana umum. Mereka telah berpikir keras mendiskusikan wacana seksualitas lebih luas, tentang orientasi seksual, hak tubuh dan lainnya. Mereka juga mulai berpikir mengajak gerakan Lesbian untuk berjuang bersama.

Sejarah mereka yang dulu cukup aktif di divisi pengorganisasian gay PKBI Yogyakarta juga perlu dicatat sebagai sebuah keberhasilan. Aku masih berhitung soal jumlah, berdasarkan cerita senior, banyak komunitas yang diorganisasi mereka. Ada Pelangi Jogja yang menjadi wadah berkesenian bagi komunitas, Komunitas satu Hati yang aktif dalam kegiatan sosial di Yogyakarta dan komunitas-komunitas tak bernama yang sering berkumpul di alun-alun utara, taman pintar dan titik lainnya. Jika aku harus bertepuk tangan, aku takut jemariku akan remuk saking salutnya. Bisa jadi pengorganisasian waktu itu adalah pengorganisasian terbesar dalam sejarah gerakan LGBT. Tidak hanya itu saja, aku juga mendengar bahwa gerakan LGBT pernah tergabung ke dalam gerakan agraria, buruh dan demokrasi. Interseksionalisme bukan wacana baru hari ini. Mereka telah lebih lama beririsan dengan gerakan lain. Irisan yang hari ini telah lapuk dan kembali dirajut susah payah.

Ternyata ada sedikit keraguan dari iktikad yang besar. Keraguan itu adalah pertanda bahwa aku harus bersabar untuk belajar. Sejarah itu terlalu luas, seperti cerita-cerita yang terlontar santai, mengalir deras hingga aku tak bisa mengimajinasikannya. Sejarah perlu membatasi dirinya agar mampu dimaknai. Aku sedang berpikir keras akan batasan itu. Pilihan yang sangat sulit. Aku pun bersiap untuk salah dengan pikiran terbuka. Menceritakan perjuangan merek adalah perkara rumit. Aku membayangkan setiap orang harus dihargai. Menghargai subyektif mereka, menghargai keakuan mereka. Tulisan seharusnya mampu menangkap bagaimana mereka memandang gerakan LGBT lahir dan tumbuh.

No comments:

Post a Comment