Monday, 1 January 2018

Laki-laki Bersalah

Aku sedih melihat ayahku. Kami terlihat berbincang seperti biasa memang. Seperti hari ini ketika aku pulang ke rumah. Kami bertegur sapa dan berbincang seperti ayah dan anak. Tapi aku merasakan suatu jarak yang coba ia lawan sendirian. Aksen kekakuan itu samar dari sosok dirinya yang senang bercanda. Sampai kapan pun laki-laki itu tak bisa menyembunyikan perasaannya di depanku, termasuk rahasinya. Bertahun-tahun ia menyangka aku tak akan pernah tahu. Padahal sejak ia berniat menyimpan sebuah rahasia, pada hari itu pula aku tahu. Kasihan ayahku. Ia seorang laki-laki bersalah.

Ayahku adalah seorang yang idealis, begitu kata kawanku di kampung. Ia terkenal orang nomor satu penolak budaya tahlilan di kampung. Bagiku ayah tidak serumit itu. Dia hanya seseorang yang memegang prinsip secara teguh. Seorang Muhammadiyah yang melakukan laku Muhammadiyah. Walau aku yakini hal seperti itu adalah politik dan aku telah sering menemukan dualisme dari hidupnya. Tentu aku tidak bisa menghakimi. Bagaimana pun juga seorang seperti diriku yanng meyakini kebenaran relatif tak mampu melakukan hal itu. Namun akhir-akhir ini, kepercayaanku akan kebenaran terkikis. Terutama ketika ibuku mengungkapkan derita yang bertahun-tahun dipendamnya sendiri kepada anak pertamanya, aku.

Tak ada keluarga yang bahagia selamanya. Janji pernikahan berlaku seperti kata-katanya. Mungkin dengan enteng sekali mereka mengatakan komitmennya dulu. Hingga tiba suatu hari di mana jalan berliku penuh cobaan, atau juga ada janji-janji yang ingkar. Begitulah kata-kata, terlalu mudah dikatakan kadang. Lalu apa yang terjadi selanjutnya? Kami anak-anak mereka. Aku tak tahu bagaimana memposisikan diriku di antara mereka. Laki-laki itu linglung tak karuan merasa bersalah, sementara ibuku berkali-kali menangis dan bahkan sempat kabur ke rumahku.

Saat ini ibuku telah baik-baik saja. Itu harapanku. Hanya laki-laki itu yang masih menyimpan sesuatu di dalam otaknya. Dia telah termakan oleh prinsipnya dan sikap dualismenya. Dia memang tersenyum ketika menjelaskan “rahasianya” kepada kami. Tetapi aku tahu gemuruh badai sedang menerjang kepala, mencabik-cabik hatinya. Dan semua ia tuntaskan dengan sebuah pernyataan “menuruti kemauan ibu”. Ingin aku meludah, tapi aku tak tega. Bagaimana pun ia ayah biologisku. Aku juga tak bisa membayangkan perasaan ibuku sendiri jika ia meludah. Selama ini aku terlihat hormat di mata mereka.
Kenapa aku muak. Pernyataan laki-laki itu adalah bukti bahwa ia congkak. Jika tidak aku tegur malam itu. Tentu dia tak akan pernah mengakui bahwa dirinya bersalah kepada kami, anak-anaknya. Walau ia menepis dengan kedok agama, pengakuan hingga memastikan bahwa warisan tetap berada di tangan anak-anak sahnya. Persetan dengan itu semua! Sekali lagi, bagaimana pun laki-laki itu adalah ayah biologisku. Selesai sudah amarahku dan hari ini amarah itu mengendap menjadi strategi jahat yang bisa aku keluarkan sewaktu-waktu kecuali dia tega membunuhku.

Laki-laki bersalah. Yang hari-harinya berlarut kesedihan. Hari-hari terasa begitu cepat. Jangka tiga minggu akan membuatnya gagap. Pilihannya adalah menyerah pada anak-anaknya yang beringas atau berperang dengan sesuatu yang membuatnya jelas kalah. Ia tak punya pilihan kecuali memilih tetap congkak. Jangan bersedih ayah. Begitulah hidup.

No comments:

Post a Comment