Aku
sedih melihat ayahku. Kami terlihat berbincang seperti biasa memang.
Seperti hari ini ketika aku pulang ke rumah. Kami bertegur sapa dan
berbincang seperti ayah dan anak. Tapi aku merasakan suatu jarak yang
coba ia lawan sendirian. Aksen kekakuan itu samar dari sosok dirinya
yang senang bercanda. Sampai kapan pun laki-laki itu tak bisa
menyembunyikan perasaannya di depanku, termasuk rahasinya.
Bertahun-tahun ia menyangka aku tak akan pernah tahu. Padahal sejak
ia berniat menyimpan sebuah rahasia, pada hari itu pula aku tahu.
Kasihan ayahku. Ia seorang laki-laki bersalah.
Ayahku
adalah seorang yang idealis, begitu kata kawanku di kampung. Ia
terkenal orang nomor satu penolak budaya tahlilan di kampung. Bagiku
ayah tidak serumit itu. Dia hanya seseorang yang memegang prinsip
secara teguh. Seorang Muhammadiyah yang melakukan laku Muhammadiyah.
Walau aku yakini hal seperti itu adalah politik dan aku telah sering
menemukan dualisme dari hidupnya. Tentu aku tidak bisa menghakimi.
Bagaimana pun juga seorang seperti diriku yanng meyakini kebenaran
relatif tak mampu melakukan hal itu. Namun akhir-akhir ini,
kepercayaanku akan kebenaran terkikis. Terutama ketika ibuku
mengungkapkan derita yang bertahun-tahun dipendamnya sendiri kepada
anak pertamanya, aku.
Tak
ada keluarga yang bahagia selamanya. Janji pernikahan berlaku seperti
kata-katanya. Mungkin dengan enteng sekali mereka mengatakan
komitmennya dulu. Hingga tiba suatu hari di mana jalan berliku penuh
cobaan, atau juga ada janji-janji yang ingkar. Begitulah kata-kata,
terlalu mudah dikatakan kadang. Lalu apa yang terjadi selanjutnya?
Kami anak-anak mereka. Aku tak tahu bagaimana memposisikan diriku di
antara mereka. Laki-laki itu linglung tak karuan merasa bersalah,
sementara ibuku berkali-kali menangis dan bahkan sempat kabur ke
rumahku.
Saat
ini ibuku telah baik-baik saja. Itu harapanku. Hanya laki-laki itu
yang masih menyimpan sesuatu di dalam otaknya. Dia telah termakan
oleh prinsipnya dan sikap dualismenya. Dia memang tersenyum ketika
menjelaskan “rahasianya” kepada kami. Tetapi aku tahu gemuruh
badai sedang menerjang kepala, mencabik-cabik hatinya. Dan semua ia
tuntaskan dengan sebuah pernyataan “menuruti kemauan ibu”. Ingin
aku meludah, tapi aku tak tega. Bagaimana pun ia ayah biologisku. Aku
juga tak bisa membayangkan perasaan ibuku sendiri jika ia meludah.
Selama ini aku terlihat hormat di mata mereka.
Kenapa
aku muak. Pernyataan laki-laki itu adalah bukti bahwa ia congkak.
Jika tidak aku tegur malam itu. Tentu dia tak akan pernah mengakui
bahwa dirinya bersalah kepada kami, anak-anaknya. Walau ia menepis
dengan kedok agama, pengakuan hingga memastikan bahwa warisan tetap
berada di tangan anak-anak sahnya. Persetan dengan itu semua! Sekali
lagi, bagaimana pun laki-laki itu adalah ayah biologisku. Selesai
sudah amarahku dan hari ini amarah itu mengendap menjadi strategi
jahat yang bisa aku keluarkan sewaktu-waktu kecuali dia tega
membunuhku.
Laki-laki
bersalah. Yang hari-harinya berlarut kesedihan. Hari-hari terasa
begitu cepat. Jangka tiga minggu akan membuatnya gagap. Pilihannya
adalah menyerah pada anak-anaknya yang beringas atau berperang dengan
sesuatu yang membuatnya jelas kalah. Ia tak punya pilihan kecuali
memilih tetap congkak. Jangan bersedih ayah. Begitulah hidup.
No comments:
Post a Comment