Tuesday, 26 July 2016

Di Persimpangan Rindu

Kehidupan adalah perulangan sejarah. Pertemuan awal dengannya pun tidak lebih dari perulangan pengalaman. Kami bertemu, saling bertukar hal privasi, bersenang-senang dan bercinta. Seolah hal itu adalah siklus alamiah yang menyandingi siklus paling alamiah tentang lahir-hidup-mati. Aku merasa hampa, tidak berada. Heidegger mengatakan kejatuhan eksistensial terjadi ketika manusia terperangkap dalam dunia umum atau dunia keseharian bernama common sense. Tidak ada kebaruan. Lebih parah lagi, kami mulai tidak jujur dengan saling menyuguhkan citra bahwa kami adalah manusia-manusia ideal. Dia mencitrakan dirinya sebagai manusia mapan. Dibuatlah sebuah manipulasi dan simulasi yang beranekaragam. Hampir setiap kali kami bertemu kami pergi ke sebuah restoran yang berakhir dengan tagihan sebanyak uang sakuku sebulan. Atau pergi ke bioskop dan tempat-tempat nyaman bentukan ekses dari kapitalisme. Sementara aku mencitrakan diri sebagai seorang sosok kekasih ideal baik secara fisik maupun karakter. Bertutur layaknya buku-buku petualangan indah dan menantang. Kami sama-sama mengkontruksi sebuah euforia romantis. Menjadikan diri kami sama-sama nyaman dan selalu bahagia, tidak ada luka, getir, pilu layaknya kehidupan yang sesungguhnya.

Di ulang tahunku dia mengajakku ke sebuah restoran premium bergaya Jepang dan Korea. Ini adalah perayaan ulang tahun pertama kami dan bagiku perayaan paling mewah sepanjang hidupku. Kami duduk berdua di sebuah ruang private. Lampu  lampion bergantungan anggun di langit-langit. Meja sudah tertata rapi dengan berbagai sendok, garpu dan pisau. Beberapa pot menghiasi pojok ruangan, memberi kesan ruangan itu lebih luas dan ramah. Ini seperti sebuah potret ruang makan keluarga seperti yang pernah aku lihat di film-film Jepang. Malam itu berakhir sangat romantis dan membahagiakan. Oh, Bagaimana aku tidak bisa luluh dengan apa yang dilakukannya selama ini untukku? Sayangnya, di malam itu aku harus memberitahunya bahwa bulan depan aku harus pergi ke Karimunjawa selama dua bulan. Dia sedih karena kami baru saja bertemu tidak lebih dari 4 bulan dan harus berpisah sementara. Kami pun bercinta seolah tidak akan pernah bertemu pernah lagi.

Hari itu akhirnya tiba, dia memberkatiku dengan pelukan perpisahan dan membekali diriku dengan ciuman goodbye for now. Aku berangkat ke pulau di utara Pulau Jawa, meninggalkan dirinya yang meratap pilu. Kini dunia romantis yang kami bangun bertali pada sebuah jaringan nirkabel tak kasat mata bernama sms. Pagi, siang dan malam kami mencoba untuk saling berkabar dan saling mengatakan cinta.

Di bulan pertama, kehadiran kami di ruang realitas mampu tergantikan secara virtual diantara barisan teks. Aku terheran-heran dan tergelitik tentang cara kami mempertahankan relasi. Sungguh, selama ini aku yang tidak percaya dengan dunia yang tak beruang dan mewaktu, harus mengakui bahwa hari ini kasih tidak lagi terbatas. Namun di bulan kedua, aku mulai gelisah. Ada sesuatu yang menyerang batinku. Kekuatan metafisika yang membuatku berkelisut di dalam tidur. Membangunkanku di tengah malam yang sunyi dan melamun lebih lama.

Aku mengadu pada Pulau Tengah dan Pulai Kecil. Aku bertanya kemanakah hasratku pergi? Keramaian adalah kekosongan. Kesenangan adalah kehampaan. Dan senja menjawab peraduanku dengan sebuah jawaban, rindu. Apakah aku sedang rindu padanya? Apakah aku adalah orang yang tak mampu menahan dahaga akan kehadirannya? Bagaimana dengan ruang virtual yang telah menembus batas-batas kasih dalam ruang? Apakah rindu adalah sakau bagi pecinta? Apakah aku jatuh cinta? Hujaman tanya itu semakin mendekatkanku pada apa yang selama ini hilang. Sebuah kepercayaan pada cinta yang sakral. Aku menyerah kalau harus rindu. Aku bertekuk lutut jika memang cinta.

Hari-hari di awal Bulan Agustus adalah sebuah penantian. Waktu tidak lagi menjadi ukuran pasti. Menjadi relatif dan menjebakku dalam penantian panjang. Aku sadar bahwa waktu tidak lagi lagi linier. Kulihat sekitarku lebih mendalam, aku berdiri di sebuah persimpangan. Persimpangan rindu.
Kutenteng tasku di pundak, kutatap lautan jauh dimana Pulau Jawa bersembunyi dibalik batas pandang. Aku berdoa semoga ombak tak mengamuk kali ini. Aku ingin segera kembali kepelukannya dan menghapus getir rindu dengan manis bibir tipisnya.

Yang Tidak Terceritakan di 28 Februari

Kehidupan dimulai dengan sebuah permulaan. Permulaan itu adalah pertemuan, 28 Februari 2010, pijakan pertama untuk setapak demi setapak merangkai waktu menjadi jalinan kronologi dan cerita-cerita. Kami bertemu di sebuah sore biasa yang cenderung mendung. Dia tinggal di sebuah kompleks perumahan estate yang cukup mewah di Kota Yogyakarta. Rumah dua tingkat seragam berjejer mewah dan elegan, beberapa satpam melirikku ketika aku memasuki kawasan itu. Seolah ingin mengatakan orang asing dilarang iseng-iseng di area ini. Ya, kedatanganku memang hanya keisengan belaka. Menjawab undangan seorang asing yang aku temui di sebuah website yang konon banyak penipu disana. Tetapi aku sudah hampir di rumahnya, aku tak mau mundur. Lagipula aku menyukai “orang asing”, aku menantang diriku dengan misteri, dan aku pecandu kebaruan.

Di depan gerbang gerbang rumah aku berhenti mengambil handphoneku. Kulihat dari luar dia melambai-lambaikan tangannya. Aku gelagapan, dia cukup agresif dengan keterbukaan dan keceriaannya. Aku membalasnya dengan senyum dan salam dalam bahasanya yang kulafalkan dengan artikulasi samar karena gugup.

Aku duduk di ruang tamu sederhana, di sofa hijau gelap dengan pola flora. Kulihat sekelilingku beberapa foto, botol liquor dan lukisan-lukisan yang terlihat dibeli di Perempatan Sagan. Dua gelas teh melesat dan kini berada di atas meja kaca, meja yang menjadi batas antara si tuan rumah dan aku, si tamu. Perbincangan pun dimulai, pelan-pelan aku dengarkan kata-katanya dengan seksama. Kadang aku membalas ngawur karena aku salah menerka omongannya. Dia hanya tersenyum dan maklum. Aku malu kelisutan, tetapi aku mencoba untuk menunjukkan wibawaku sebagai seorang mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM yang telah terkareditas secara internasional. Mungkin dia bisa membaca wajahku yang tegang. Dia menawarkan musik untuk diputar. Aku bertanya apakah dia memiliki lagunya BB King, tetapi dia menawarkan alternatif lain bernama John Farrnham. Seorang musisi legendari dari negaranya. Lagu pop cinta dengan beat yang menyenangkan. Kakiku secara otomotis berjingkat-jingkat mengikuti melodi. Dia melirikku senang.

Musik adalah mantra. Musik memang bukan dirangkai dengan bahasa-bahasa sulit dan tak bisa dicerna seperti mantra kuno. Tetapi musik memiliki kekuatan seperti mantra, menghipnotis, menarik jiwaku kedalam atmosfer absurd imajiner. Ajaibnya, kami jadi bisa berbincang dengan lancar dan rileks. Perbincangan ekonomi, politik hingga religi. Dari perdebatan hingga kelakar tertawa. Inikah chemistry itu? Sebuah tali gaib yang mengikat secara kasatmata.

Dia mampu mencium keingintahuanku yang besar mengenai duniannya. Aku pun dibawanya ke sebuah ruangan di belakang kamar tamu. Disana sehari-hari dia bekerja sebagai seorang konsultan bisnis. Dia memperlihatkan beberapa desain yang dibuat oleh tim nya. Dengan bangga dia berkoar-koar mengenai kejayaan yang dia raih di bisnisnya. Dalam hati aku bertanya-tanya, bagaimana desain murahan seperti itu bisa terjual di pasaran. Mungkin itulah pasar, tempat pembuangan barang murahan yang diproduksi secara masal.

Aku mencoba mengalihkan topik perbincangan. Kumulai dengan bertanya mengenai foto-foto yang terpajang di atas rak teve. Satu per satu dia menjelaskan, memberiku sebuah pintu untuk menelisik kehidupan yang paling private dari dirinya. Hingga dia berhenti pada penjelasan sebuah foto. Seorang bertopi yang sedang merangkul koala. Dia menghela nafas panjang. Akhirnya aku menemukan bahwa dirinya adalah seorang yang terluka karena ditinggal kekasih. Dia adalah tumbal ambisi materialisme bernama uang. Ketika dia sadarsemua sudah terlambat. Dia berusaha untuk menjaga relasinya tetapi si kekasih sudah pergi bersama hasratnya yang lain. Luka itu masih terlihat dari nanar matanya. Bagaimana denganku? Jika dia adalah korban dari seorang kekasih, maka aku adalah korban dari realitas bahwa cinta dan seks bisa menjadi suatu hal yang terpisahkan. Bahwa cinta tidak lagi transenden tetapi imanen. Seks adalah suatu hal yang profan bukan lagi sakral. Walau kami berbeda cerita kehidupan, tetapi kami memiliki kesamaan sebagai orang yang terluka.

Aku memeluknya karena iba, dia membalasku dengan sebuah ciuman.Tidak! mungkin aku yang menciumnya. Ciuman pertamaku dengannya. Setelah itu dia berkata bahwa aku adalah orang yang baik dan menarik. Maka kami pun bercinta di ranjangnya.

Dimanakah banalitas itu? Kutemukan sentuhan-sentuhan yang mengobati luka. Bisikan-bisikan mistis yang membuat bulu kudukku begidik. Kuraba senyumnya dalam remang, kutemukan sebuah kedamaian dan kebahagiaan. Aku menyangka itu hanyalah sebuah kamuflase pada awalnya. Imagologi atas nafsu yang disajikan lebih romantis dan melankolis. Tetapi pemikiranku runtuh ketika dia mencoba mensucikanku dari kotor atas perbuatan hina di pertemuan pertama kami. Kamar mandi ala barat dengan wangi palm oil yang tidak akan pernah kulupakan. Dia membasuhku dengan air hangat, menyeka mukaku dengan tangannya. Katanya ini yang dilakukan orang jepang untuk menghormati partnernya. Aku terperanjat, dia meruntuhkan berbagai pandanganku akan cinta walau tidak sepenuhnya percaya atas creative destruction yang ditawarkannya.
Aku pun pamit untuk pulang. Dia membekali kepergianku dengan ciuman agar selamat dan bisa bertemu. Aku agak risih karena tidak terbiasa. Ketika sampai di rumah, sebuah ikon pesan tertera di layarku.

“Thank you for coming. See You soon. Hugs W”

Kata Banksy “there are second opportunity called tomorrow.” Saat itu aku tahu bahwa hari ini akan berlanjut pada besok. Sebuah kesempatan kedua untukku untuk bertemu dengan cinta. Kesempatan menjadi seorang pecinta setelah terluka. Atau apalah itu.

Monday, 18 July 2016

Dibaliknya Ada Kejujuran



            Kami berdua berjuang melaju ke atas bukit di Pantai Parangtritis. Jalan yang penuh lubang dan curam membuat si ducky, motor vario biru kami, tersengal-sengal menaiki jalanan yang tak biasa ia lalui. Sejujurnya, baru pertama kali ini aku melewati jalanan yang cukup sepi dan rusak ini. Padahal sudah berkali-kali aku pergi ke Pantai Parangtritis namun aku tidak pernah mendengar dan tahu bahwa ada sebuah “tempat rahasia” seperti yang dikatakan oleh Wolfie. Sebuah tempat sempurna untuk menikmati senja katanya.

            Dari belakang aku memeluk Wolfie dan tak begitu memperdulikan imajinasi-imajinasi yang diiming-imingkan olehnya. Buat apa bertanya-tanya akan absurditas sebuah kata. Lebih baik aku menikmati perjalanan ini. Lagipula jarang sekali aku bisa sedekat ini dengannya, apalagi cuma berdua saja. 

            Ducky berhenti di sebuah warung kecil di atas bukit. Seorang Ibu menyapa kami dari dalam warungnya. Sepertinya ibu ini sudah hafal dengan si Wolfie. Ini bukan kejadian pertama, dulu waktu kami ke Pantai Ngobaran. Beberapa penduduk disana juga mengenalnya. Anak ini memang mudah dekat dengan orang, tetapi aku kira dia bisa sedekat ini karena sudah sering bertemu dengan mereka. Pantas anak ini tidak kelar-kelar kuliah, terlalu banyak berpetualang gumamku dalam hati. 

            Setelah mengobrol sejenak dengan Ibu penjaja warung, kami berjalan menaiki jalan setapak di samping warung. Dia terus saja melaju, kakinya dengan kokoh menaiki tangga satu demi satu. Sementara aku yang jarang berolah raga dan tubuh segemuk ini harus mati-matian mengikuti ritmenya. Ingin sekali kuberteriak memintanya untuk memperlambat langkahnya. Atau permintaan yang lebih yaitu menggandeng tanganku. Tempat ini kan lumayan sepi jadi kita tidak perlu malu-malu berpacaran, pikirku. Tetapi,  egoku terlalu kuat. Kubiarkan saja dia melangkah bebas. 

            Perlahan dari atas aku melihat permukaan laut yang biru dengan ombaknya yang tenang. Angin sepoi-sepo menghempas. Ternyata Ombak Parangtritis yang seram itu terlihat tenang dan indah dari atas sini. Seketika semangatku membara. Aku terpacu untuk mendaki lebih cepat ke puncak. 

            Dari puncak dia berdiri menghadap selatan, memandang lautan lepas. Bebas. Dia berbalik memandangku ketika tahu aku sudah berada di puncak. Adegan ini mirip sekali dengan film-film drama romantis. Sayang tak ada backsound musik dan senja belum tiba. Lihatlah matanya yang berbinar cerah. Siapa yang tidak luluh karenanya. Diulungkannya tangannya, membuka dada, memanggil jiwaku yang haus olehnya. Aku pun mendekat. 

            Dia merangkulku mesra. Kami sama-sama memandang lautan berbatas horison. Lapang sekali laut yang menghubungkan Samudra Hindia ini. Kulihat wajahnya yang damai. Kucondongkan kepalaku hendak menciumnya. Membawa suasana menuju klimaks. Tetapi dia menghentikanku, tanpa kata dan hanya dengan senyumannya. Seolah itu mampu menjelaskan segala pemakluman. Aku sedikit kecewa.

            Akhirnya kami duduk berdua saja di pinggir tebing menunggu senja. Kugenggam tangan yang menyangga duduknya. Terlihat geliat risih, namun dia membiarkanku menang kali ini. Matanya masih menatap lautan lepas. Entah apa yang dilihatnya dari luasnya laut. 

            “Sepertinya enak ya kalau punya rumah pinggir pantai.” Katanya.
            “Kenapa?” Tanyaku.
“Tiap hari bisa melihat pemandangan seperti ini. Melihat keseluruhan, meniadakan subyek imparsial.” Paparnya serius.
“Maksudnya?” Aku bingung dengan kata-katanya.
“Melihat bukan hanya ombaknya saja, bukan hanya batas horison. Tetapi keseluruhan sebagai lautan lepas bebas.” Dia tersenyum.

Gila! Orang ini filosofis sekali batinku. Sudah beberapa bulan aku mengenal, bahkan dekat dengannya. Tetapi dia selalu mampu memberikan kejutan yang tak pernah kuduga. Mungkin hal inilah yang membuatku jatuh hati dengannya.

“Menurutmu, apa itu kejujuran?” Dia bertanya.
“Hmm…ketika kita berperilaku dan berbicara dengan sebenar-benarnya.” Jawabku.
“Bagaimana caranya?” Tanyanya.
“Hah?...Kalau kita mau jujur, ya kita bisa jujur.” Jawabku singkat.

Tak ada satu kata pun dia membalas. Terdiam, pandangannya kembali terbebas ke lautan. Perlahan Senja tiba menuruni batas horison. Bulat sempurna, dengan langit jingga merona. Aku menyaksikannya terbenam di lautan. Cahayanya terpendar di permukaan laut yang tenang. Aku tidak pernah menyangka kalau senja bisa seindah ini. Sekarang mataku berkaca-kaca.  

Dari sudut penglihatan, aku tahu Wolfie sedang memandangku. Tak kubalas memandangnya dan terus melihat cahaya senja yang mulai hilang ditelan lautan. Ada sedikit rasa balas dendam walau setitik. Tak kuasangka dia memeluk dan mencium keningku. Tidak seperti biasanya dia memiliki inisiatif untuk mengungkapkan rasa sayangnya. Hatiku berjingkrak riang. Tuhan memberi hal yang terbaik disaat yang terbaik. Jadi inilah pemberian dan waktu terbaik itu.

Kami saling memandang. Tanpa kata dan belaian kasih, hanya saling memandang. Tetapi momen ini lebih intim dari bercumbu mesra di kamar gelap. 

Malam pun tiba. Gelap menyelubungi sekitar, kami segera turun. Sampai di bawah, warung di bawah pun sudah tutup. Wolfie mengajakku pergi ke Pantai Parangtritis. 

I have surprize for you.” Katanya.

 Si Ducky segera membawa kami di Pantai Parangtritis. Dari kejauhan hanya terlihat gelap dan riuh ombak. Pergi ke pantai di malam hari seolah mendatangi maut karena kita tidak tahu secara persis dimanakah ombak itu akan datang. Tak perlu ragu betapa ombak Pantai Parangtritis cukup mematikan. Belum lama aku membaca beberapa wisatawan meninggal karena terseret ombak. Bulu romaku bergidik sekarang. 

Ternyata setelah kami mendekat ke bibir pantai. Ada beberapa penjaja jagung dan wedang ronde disana. Di temani dengan lampu petromak mereka melayani wisatawan yang sengaja datang di malam hari. Kami duduk di gerobak penjual wedang ronde yang berada tepat di bibir pantai. Tak jauh dari batas ombak tergulung habis. 

“Mana surprize nya? Tanyaku.
“Tunggu sebentar lagi. Kira-kira jam 11 malam lah.” Jawabnya.
“Jadi kita mau pulang jam berapa?” Tanyaku lagi.
“Kamu mau pulang ke kota selarut ini? Tanyanya balik.

Sekali lagi dia membuatku terbungkam. Terpaksa aku harus mengikuti rencananya. Entah tidur di hotel, tidur lesehan di pantai atau tak tidur sama sekali. Aku hanya bisa pasrah. 

Malam semakin larut bersama riuh ombak yang mengganas. Dari seramnya lautan aku melihat sisi kontras dari anggunnya bulan purnama sempurna. Bersinar megah diantara ribuan bintang yang memenuhi langit kelam.

Kami terdiam menikmati suasana malam. Wolfie beranjak dan pergi ke dalam gelap. Tak lama dia kembali dan memanggilku. Dia ingin aku mengikutinya. Apakah ini adalah waktu untuk kejutan itu?

Tak jauh dari penjaja wedang ronde, dia mengajakku berpindah ke seorang penjual "kerak telur". Kesan awalku ketika melihat pedagang itu mirip dengan penjual kerak telur. Lihat saja ada beberapa butir telur yang terjejer rapi. Dari kejauhan aku mendengar orang-orang tertawa samar dalam gelap. 

Wolfie menggelar tikar yang disewanya dari penjual "kerak telur" itu. Kami duduk jauh dari terang. Rasa antusias memacu jantungku untuk berdegup kencang. Aku jadi membayangkan hal-hal seronok. Tetapi amankah di tempat seperti ini. Imajinasiku semakin menggila. 

"Ini kejutannya!" Katanya.
"Apa ini?" Tanyaku. Kubuka bungkus makanan yang dia bawa.
"Omelet?" Tanyaku lagi.
"Coba deh makan." Pintanya. 

Kucicipi omelet itu yang sudah diiris sama rata. Rasanya tak jauh berbeda dari omelette. Lalu apa yang menjadi kejutannya? Aku terheran-heran. Ada sedikit rasa kecewa karena kukira ada hal yang lebih spesial dari sekedar omelet.

"Ini bukan sembarang omelette. Namanya magic mushroom." Dia berbisik lirih.

Aku tambah bingung. Dia pun akhirnya ikut makan beberapa iris omelet itu. Lama-lama aku merasa ada efek yang aneh dari makanan itu. Otot pipiku tertarik, memaksaku untuk tertawa. Ada rasa geli yang menggelitik dipikiranku padahal aku sadar tidak ada hal yang lucu sama sekali. Aku sadar, tetapi telah lepas kendali.

Begitu juga dengan Wolfie. Ledakan tawa dan kata-kata makian. Jiwa berontaknya keluar, sementara aku hanya bisa tertawa kecil menimpali tingkah lakunya. Seolah omelet itu mampu mengeluarkan jiwa-jiwa jujur kami. Menghadirkan diri kami yang lain.

Aku merangkul dirinya yang kalap. Menyeretnya hingga terjauh ke pasir. Kami pun sama-sama tertawa. Aku benar-benar terbawa suasana.

"I love you Wolfie." Kataku.
"I love you too Panda." Katanya.

Panda? Hatiku seketika remuk. Aku kira dia akan memanggil namaku. Tetapi justru nama lama itu yang dia ucapkan. Jadi itulah isi hatinya yang paling jujur. Bukan aku, tetapi dia. 

Mentari malu-malu terlihat dari ufuk timur. Aku terbangun dari tidurku. Kulihat Wolfie berdiri di bibir pantai, menanti hancurnya buih-buih ombak. Aku menghampirinya. 

Kami berdua berdiri bersebelahan, memandang lautan. Disaat-saat seperti ini terjadi suatu kebekuan yang tidak pernah kami ketahui sebabnya. Kami yang telah sama-sama bertelanjang diri seharusnya mampu untuk lebih terbuka. Tetapi kenyataannya berbeda. Mungkin ini hal lain.

Aku berharap dia akan memulai pembicaraan. Tapi dia justru bungkam dengan kepala yang tertunduk.



 




Wednesday, 22 June 2016

Pengungsi di Vihara



Ketenangan di dalam keriuahan pusat wisata, tidak pernah kubayangkan sebelumnya ada tempat dimana orang-orang berdoa khusuk diantara desakan turis yang ingin berfoto gila. Kolam memanjang dengan bunga-bunga warna ungu dan putih. Si ikan mengintip malu-malu, bersembunyi dibalik daun teratai yang hampir bulat penuh. Kinara-kinari mengamati secara seksama, menjaga, tak pernah lelah di pojok-pojok kolam. Mengabdikan hidupnya melindungi kolam itu dari marabahaya. Kujentikkan permukaan kolam dengan jariku, merusak lentik kolam yang tenang. Ikan-ikan bertebaran kesegala penjuru mencari persembunyian baru. Tanpa sepengetahuanku, dia menatapku tajam, memperingatkanku yang usil. Aku pun menghampirinya dengan senyum, menjelaskan padanya bahwa aku tak pernah berniat jahat apapun. Kami pun segera pergi ke dalam vihara. Bau dupa tercium kuat, terbakar di depan altar Sang Buddha yang tertidur dengan tangan yang menyangga kepalanya. Dia bersimpuh, menyalakan dupa dan menancapkannya, berdoa dengan cara dan kata yang tak pernah kupahami. 

Selesai berdoa dia mengajakku berkeliling vihara. Ada beberapa vihara  di dalam vihara tersebut. Pada awalnya aku sedikit kebingungan memahami hal tersebut. Namun setelah dia bercerita bahwa vihara-vihara itu dibangun sebagai lambang persahabatan antar umat Buddha di beberapa negara seperti Thailand dan Jepang, pertanyaanku terjawab dengan sendirinya. Di beberapa tempat di vihara ada beberapa patung Buddha dengan para Bodhisatva. Sekilas aku melihat beberapa ukiran yang mirip dengan ukiran Jawa dan Bali. Aku mengira hal itu sebuah akulturasi yang terjadi antara agama dan kultur setempat. Jika demikian maka agama menemukan dirinya dengan kultur-kultur setempat seperti yang aku lihat di dalam vihara ini. 

Denting syahdu bergema, alam memainkan melodinya pada pipa-pipa alumunium yang tergantung memutar di pojok gedung perpustakaan. Terbesit pemikiran bahwa keindahan bukanlah ciptaan manusia melainkan alam itu sendiri. Seperti nada harmonis yang baru saja kudengerkan, bunyi yang digerakkan oleh angin (alam). Menciptakan keindahan alami, mensucikan jiwa-jiwa kami yang terpolusi. 

Kami menemui beberapa biksu yang sedang melakukan rutinitas di vihara. Satu diantara mereka bertanya, “Foto-foto?”

Pertanyaan yang bagiku sangat ambigu. Apakah maksudnya kami ingin berfoto dengannya atau dia mempersilahkan kami untuk mengambil foto di vihara ini. Seandainya dia berhenti dari rutinitasnya dan mengajakku berbicara maka akan aku jelaskan bahwa kami disini bukan untuk mencari hiburan dan eksistensi sosial media. Lantas akan kuluruskan pandangannya mengenai label turis yang disematkan pada kami. Tetapi itu seandainya saja. 

Kami memasuki sebuah ruangan perpustakaan kecil yang berada satu atap dengan vihara.Kuintip deretan buku-buku itu dari balik kaca, aku langsung takjub. Deretan buku-buku dengan caption “filsafat” dan “meditasi” memikatku. Segera kubuka rak buku itu dan mengambil buku-buku kuno secara acak. Pikiranku terbuka lebar,memahami dan meresapi,bahkan kadang imajinasi lari seliar-liarnya. Waktu pun menjadi sia-sia di ruangan itu. Aku terhanyut pada tulisan-tulisan dan makna dibaliknya. 

Tak terasa sore pun berada di penghujung hari. Kami tutup buku-buku kami dan mengembalikannya pada tempat semula. Biksu-biksu satu persatu masuk ke vihara untuk berdoa sore, melewati kami dengan senyum yang tulus. Seandainya aku tahu bagaimana mengucapkan salam dengan cara Budhha, aku akan menyalami mereka satu-satu. Kami keluar dari ruang perpustakaan. Kulihat sekitar dengan seksama, tiba-tiba aku merasakan sebuah keganjilan. Batinku mencoba menelisik,mencari tahu ada apa sebenarnya. 

“Bayangkan, biksu yang mencoba lepas dari kehidupan duniawi, mereka tinggal dalam sangkar surgawi semacam ini. Berapa rupiah yang harus dikeluarkan untuk merawat vihara ini setiap bulannya?” Tiba-tiba dia bertanya secara spontan.

Aku tercekat mendengar pertanyaan yang dilontarkannya. Aku tak berani menjawab dan mencoba untuk meresapi pertanyaannya terlebih dahulu. Pertanyaannya ada benarnya, sebenarnya apa makna menjadi seorang biksu dan tinggal di dalam vihara? Ada kekhawatiran dalam diriku akan menemui sebuah kenyataan bahwa simbol biksu akan kesederhanaan dan meninggalkan hal-hal keduniawian akan hancur. Jika melihat sekitarku sekarang ini maka para biksu ini hidup lebih makmur daripada orang-orang miskin di bantaran sungai. Aku takut mereka hidup di sebuah vihara yang eksklusif dan jauh dari umat. Terjadi banalitas makna kehidupan biksu. Lalu apa sesungguhnya makna suci dan profan? Fana dan abadi? Kebajikan dan Berlimpahan?

Kulihat dirinya yang berdiri tegak dengan pendirian dan perspektifnya mengenai dunia. Seorang punk yang belum lama kukenal, dia yang dimata masyarakat adalah orang-orang yang menyimpang. Namun sejauh yang aku lihat, jauh lebih bijak dan jujur daripada orang-orang terpandang dan suci. Mampu melihat realitas sebagai hiperealitas yang tumpang tindih lalu menjadi jujur karena pilihannya yang berani. Memang dia suka membaca buku dan teori-teori, tetapi dia tak terjebak pada diskursus eklusif dan mampu membawanya pada tataran realitas paling sederhana, ligkungannya sendiri.

Tahukah, beberapa hari ini dia menyatakan cintanya kepadaku. Ketika aku bertanya mengenai alasannya mencintaiku dia berkata “cinta saja”. Jawabannya membuat diriku ragu dan tidak terlalu mempercayainya. Tetapi akhir-akhir ini benar-benar merasakan keberadaannya. Dia memelukku ketika hatiku goyah, kami tertawa bersama pada perjamuan seorang kawan, hingga menemaniku terhanyut pada mimpi-mimpi yang kadang seram. Dia mengartikan cinta dengan keberadaannya di dalam kehidupanku secara nyata. Bukan seperti mereka yang hanya bilang cinta saja tetapi secara fisik tak pernah hadir. Dimabuk kepayang oleh kata-kata cinta yang kehilangan makna. Tak pernah membalas kasih dan lebih sibuk dengan dirinya sendiri. Tak pernah memberi selamat ulang tahun atau lebih parah lagi tak pernah berkata terima kasih atas apa yang didapatnya. 

Dia yang kukenal akhir-akhir ini memaknai dengan tindakanya. Dia memang tidak terlihat sebagai orang suci, tetapi bagiku dia tidak lebih profan dari biksu dan mereka yang tak mau kusebut namanya.

Kami pun meninggalkan tempat itu dan berjanji tak akan pernah pergi ketempat itu lagi. Lebih baik mengembara dalam kesendirian dan menjadikan kehidupan sebagai guru katanya dengan senyum lepas.





Monday, 20 June 2016

Selingkuh adalah Posmodern



Ini adalah sebuah jebakan. Malam ini seperti malam di masa lalu, lautan gelap meraung-raung. Dia  bergemuruh dan anginnya membuat gigiku gemeretak. Baru saja kami beramai-ramai tertawa di bibir pantai, tetapi mereka dengan sengaja meninggalkan kami berdua. Mereka berdalih ingin menikmati quality time mereka berdua. Bedebah! ini adalah jebakan gumamku. Seperti masa lalu kami akhirnya hanya berdiam diri berdua, namun kini kami memiliki jarak yang walau hanya sedekap tetapi terasa sangat jauh. Diam dulu menjadi momen menikmati, kini menjadi momen bertanya-tanya. 

Beberapa minggu yang lalu seorang sahabat mengatakan akan pergi ke Jogja dan mengajakku menghabiskan waktu liburannya sebagai pegawai ibu kota yang sangat singkat dan nanggung. Katanya itu lebih baik daripada tidak memiliki liburan sama sekali. Tentu saja, dengan uang yang diraupnya dengan pengekangan, liburan lebih berharga dari kehidupan gaya-gayaan yang diburunya ketika weekend tiba. 

Aku berpikir mungkin dia hanya mengajak aku dan sahabat lamanya yang sekarang tinggal dan bekerja di Jogja. Ternyata dia mengajak seseorang yang sebenarnya aku tidak perlu kaget jika dia juga berada di antara kami. Bahkan aku sempat menduga dia akan datang juga dan aku berharap pula akan keberadaannya diantara kami. Kami berempat memang memiliki relasi yang cukup unik dan dekat. Tetapi aku dan dia memiliki sebuah relasi rumit yang tidak pernah selesai walau kami sama-sama tahu pernah saling mencintai. Mungkin itulah yang membuat segalanya menjadi rumit.

   Setahun yang lalu kami bertemu kembali dan setelah meninggalnya kekasihku aku benar-benar berani untuk terang-terangan mencintainya. Mungkin aku terlalu agresif, atau mungkin saja aku sudah tidak mengenal dirinya yang berubah. Untuk kesekian kalinya semua berakhir buruk. Bahkan aku berjanji kepada diriku untuk menyisihkan dirinya dari kehidupanku untuk selamanya. Sayangnya dia kembali hadir. Lebih tepatnya dia menghadirkan dirinya kembali ke dalam kehidupannku dan aku tidak pernah bisa menolaknya. 

Menghadapi janji yang harus kulanggar, memberanikan diri melawan trauma masa lalu dan menahan diri untuk tidak jatuh kembali. Betapa sulitnya untuk tidak memikirkan mengenai dirinya walau kita hanya bertemu sesaat ketika mengobrol biasa di Excelso Malioboro ketika menemaninya menunggu bus travel-nya.

Anjing! Seharusnya aku biasa saja dan seharusnya pula dia biasa saja setelah kita bertemu dua kali kesempatan terakhit. Tetapi kenapa di malam ini aku benar-benar merasa canggung. Aku mendekap dadaku dengan kedua tanganku, meletakkan kening kepalaku pada dengkul kaki yang kutekuk kebelakang. Lama-lama aku berharap ingin sendiri saja daripada bersamanya yang diam.

“Bagaimana kabarnya?” Tanyanya memecah sunyi.
Kepalaku kuangkat, menyandarkan daguku pada dengkul. “Ya normal-normal saja.” Aku menjawab dengan cara yang menurutku sendiri pun aneh.
“Kamu semakin bahagia saja ya?!” Nadanya bercampur antara bertanya dan seolah memberikan penilaian.
“Aku tidak mencintainya.” Kata itu tiba-tiba muncul begitu saja. Ingin kutarik kembali, tetapi terlanjur keluar. Dalam hati aku bertanya-tanya kenapa aku terlalu jujur padanya.
“Hahaha....” Tawanya pecah. Ada sedikit nada sinis diakhirtawanya seperti biasa. Aku tak semakin karuan. Hinaan itu.
“Sejak tak memiliki cemburu, aku tak yakin aku memiliki cinta!” Sanggahku.
“Lalu bagaimana dengan kematian kekasihmu?” Dia menembakku.
“Kau tak perlu mengungkitnya!” Kataku.

Kami kembali terdiam kembali, sementara laut semakin bergemuruh. Tak ada bintang, tak ada bulan. Terdengar cekikikan ketawa dari kejauhan. Kuberanikan melirik dirinya, tak kusangka dirinya sedang menatapku sedari tadi. 

“Aku tidak merasa mencintainya. Terlebih aku hanya menginginkan teman hidup seperti yang pernah aku lalui bersama kekasihku dulu. Persetubuhan itu seolah hanya saling menggesekkan ketelanjangan dan memasukkan penis yang mengejan kedalam dirinya. Lalu orgasme, kadang bersamaan, kadang hanya aku atau dia.”
“Bulshit...!” Dia menyela.

Dia beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan diriku sendiri di bibir pantai. Kepergiannya justru membuat diriku lega, tapi aku berharap dirinya tidak merasa menjadi seorang sex buddy ku semata setelah apa yang telah kami lalui bersama. Tidak! Aku tidak boleh berpikir demikian karena itu justru akan membuatku merasa sangat bersalah lagi.

   Aku tidak pernah berharap orang lain, terutama dia untuk memahami kehidupanku. Aku berpikir membicarakan cinta adalah sia-sia karena itu diluar jangkauan manusia kecuali mereka memaksakannya di dalam ikatan pernikahan. Apa yang menggerakkan diriku untuk seks tak lebih daripada pemenuhan hasrat. Itu pun aku mulai bosan dengan cara-cara biasa hingga tertarik untuk mencampuradukkan dengan kekerasan kuasa dan simbol. 

Diluar itu semua aku tetaplah diriku yang penuh mimpi tetapi penuh pertimbangan. Aku yang tak mau menerima metanarasi yang disediakan dan memilih memeliki banyak perspektif hingga aku lupa bagaimana menjadi tegas di dalam suatu hal.

Aku kembali ke kamar cottage. Lampu sengaja kumatikan. Kubiarkan diriku dalam ketelanjangan dibawah pelukan selimut. Ini adalah salah satu cara diriku mendapatkan kebebasan. Menjadi telanjang, sendiri dalam kegelapan. 

Hingga menjelang pagi aku belum bisa tidur padahal aku merasa tidak memikirkan apapun. Tiba-tiba pintu kamar terbuka, aku sengaja berdiam diri. Terdengar pintu itu dikunci. Langkahnya berdecit, satu-demi satu dia melucuti pakaiannya. Lalu dia menyelinap ke dalam selimutku.

“Pernikahan itu adalah modern sedangkan perselingkuhan adalah posmodern”. Dia berbisik di belakang tengkuk leherku.