Sore itu hujan disertai panas, aneh
memang. Aku hampir menggagalkan diri untuk mengajar di Badran, tetapi aku
kembali tergugah ketika mengingat sudah lama tidak bertemu mereka sejak piknik
di Panta Indrayanti. Aku pergi ke Badran menggunakan motor kali ini,
hujan-hujan naik sepeda kadang tidak menyenangkan. Banyak mobil dan motor yang
sangat arogan, tak peduli sepeda-sepeda yang terciprat lebat karena terjalan
mereka di jalan penuh air.
Aku segera pergi ke rumah anak-anak.
Ketika bertemu dengan Isma, dia meminta ijin terlebih dahulu untuk sholat
ashar. “Luar biasa anak ini” aku bergumam dalam hati. Sembari menunggu anak-anak
lain dating, aku berbincang dengan Ayahnya Isma. Dia menunjukkan produk tas dan
dompet kulitnya yang dibuat dengan tangannya sendiri tanpa menggunakan mesin
jahit. Aku pikir produknya cukup menarik. Aku menghela nafas seolah tekoneksi
dengan dirinya dan sedikit menyelami usaha kecilnya. Sebaik-baiknya produk Ayah
Isma, tetap saja dia akan menyerahkannya pada pengepul dan lepaslah dia dari
nilai produk yang dibuatnya.
Satu persatu anak-anak datang menghampiriku.
Aku berpamitan dengan Ayah Isma dan pergi bersama mereka di gardu kampung. Sebenarnya
aku tidak terlalu menyukai materinya (Bahasa Inggris), tapi karena niatanku
adalah membantu. Aku terima saja.
Anak-anak yang aku ajar cukup beragam
usianya. Hal ini menjadi tantangan tersendiri. Pertama, mereka sangat ingin
bermain ketika bertemu dengan kami. Kedua, ada materi yang perlu kami
sampaikan. Aku memulai belajar dengan permainan dengan mengkombinasikan
kata-kata Bahasa Inggris. Berjalan dengan sangat baik. Lalu aku memberikan
lembar teka-teki gambar binatang untuk mereka kerjakan. Beberapa anak menyerah.
Hal itu menjadi pembelajaran bagiku.
Seorang relawan datang membawa media
belajar lain. Anak-anak girang dan berebut memegang media belajar yang hanya
kertas plano ukuran A3 tersebut. Mereka mulai mengerjakan tugas yang disampaikan
oleh relawan. Di sela-sela tugas ada seorang anak berceletuk.
“Mas Didin kie tattoan lo” Kata Wulan
kepada anak lain.
“Berarti kamu kalua sholat nggak sah
lo mas”. Kata anak lain padaku.
“Aku kan nggak sholat.” Jawabku asal.
“Agamamu apa e mas?” Tanyanya kembali
dengan raut nyinyir.
“Aku nggak punya agama.” Jawabku
santai.
Mereka terdiam, sepertinya tidak siap
menerima jawabanku yang tidak biasa. Mereka dengan sendirinya mengalihkan
pembicaraan. Aku terbahak dalam hati serasa menang.
***
Diseberang anak-anak berkumpul, ada
seorang anak yang masih berkutat dengan puzzle yang aku berikan. Aku
mendekatinya. Dia menanyakan apakah dia boleh membawa pulang puzzle itu. Aku
tersenyum untuknya, atas keluguannya. Dia sekarang sekolah di kelas 5 SD,
seharusnya dia sudah masuk SMP tetapi karena “tidak mampu” dia harus tinggal
kelas di SD. Jika dilihat secara fisik, dia paling menjulang diantara
teman-temannya. Walau lebih unggul dari fisik, tapi justru dialah yang sering
dibully. Dia adalah seorang Kristen.
***
Anak-anak segera pulang ketika hari
mulai gelap. Seorang anak pulang ke rumah berukuran empat kali enam meter yang
disewa orang tuanya sebesar dua ratus ribu perbulan. Sebenarnya, tempat itu
lebih terlihat sebagai kos daripada rumah. Tapi siapa aku yang mengklaim konsep
rumah. Mereka sendiri punya konsep rumah masing-masing. Anak itu sibuk mencari
mukena dan sajadah. Dia ingin bergegas menuju masjid.
Dari bibir pintu rumah ayahnya
terlihat pulang. Hari yang melelahkan pagi sang Ayah. Sebelum menyerah pada
lantai, dia menanggalkan bajunya. Tattoo terlihat membujur di punggungnya yang
hitam. Si anak mencium tangan ayahnya dan pergi menuju masjid. Anak itu adalah
anak yang mengatakan bahwa sholatku tidak sah karena tattooku.
No comments:
Post a Comment