Saturday, 25 February 2017

Agama Anak-Anak

Sore itu hujan disertai panas, aneh memang. Aku hampir menggagalkan diri untuk mengajar di Badran, tetapi aku kembali tergugah ketika mengingat sudah lama tidak bertemu mereka sejak piknik di Panta Indrayanti. Aku pergi ke Badran menggunakan motor kali ini, hujan-hujan naik sepeda kadang tidak menyenangkan. Banyak mobil dan motor yang sangat arogan, tak peduli sepeda-sepeda yang terciprat lebat karena terjalan mereka di jalan penuh air.
Aku segera pergi ke rumah anak-anak. Ketika bertemu dengan Isma, dia meminta ijin terlebih dahulu untuk sholat ashar. “Luar biasa anak ini” aku bergumam dalam hati. Sembari menunggu anak-anak lain dating, aku berbincang dengan Ayahnya Isma. Dia menunjukkan produk tas dan dompet kulitnya yang dibuat dengan tangannya sendiri tanpa menggunakan mesin jahit. Aku pikir produknya cukup menarik. Aku menghela nafas seolah tekoneksi dengan dirinya dan sedikit menyelami usaha kecilnya. Sebaik-baiknya produk Ayah Isma, tetap saja dia akan menyerahkannya pada pengepul dan lepaslah dia dari nilai produk yang dibuatnya.
Satu persatu anak-anak datang menghampiriku. Aku berpamitan dengan Ayah Isma dan pergi bersama mereka di gardu kampung. Sebenarnya aku tidak terlalu menyukai materinya (Bahasa Inggris), tapi karena niatanku adalah membantu. Aku terima saja.
Anak-anak yang aku ajar cukup beragam usianya. Hal ini menjadi tantangan tersendiri. Pertama, mereka sangat ingin bermain ketika bertemu dengan kami. Kedua, ada materi yang perlu kami sampaikan. Aku memulai belajar dengan permainan dengan mengkombinasikan kata-kata Bahasa Inggris. Berjalan dengan sangat baik. Lalu aku memberikan lembar teka-teki gambar binatang untuk mereka kerjakan. Beberapa anak menyerah. Hal itu menjadi pembelajaran bagiku.
Seorang relawan datang membawa media belajar lain. Anak-anak girang dan berebut memegang media belajar yang hanya kertas plano ukuran A3 tersebut. Mereka mulai mengerjakan tugas yang disampaikan oleh relawan. Di sela-sela tugas ada seorang anak berceletuk.
“Mas Didin kie tattoan lo” Kata Wulan kepada anak lain.
“Berarti kamu kalua sholat nggak sah lo mas”. Kata anak lain padaku.
“Aku kan nggak sholat.” Jawabku asal.
“Agamamu apa e mas?” Tanyanya kembali dengan raut nyinyir.
“Aku nggak punya agama.” Jawabku santai.
Mereka terdiam, sepertinya tidak siap menerima jawabanku yang tidak biasa. Mereka dengan sendirinya mengalihkan pembicaraan. Aku terbahak dalam hati serasa menang.
***
Diseberang anak-anak berkumpul, ada seorang anak yang masih berkutat dengan puzzle yang aku berikan. Aku mendekatinya. Dia menanyakan apakah dia boleh membawa pulang puzzle itu. Aku tersenyum untuknya, atas keluguannya. Dia sekarang sekolah di kelas 5 SD, seharusnya dia sudah masuk SMP tetapi karena “tidak mampu” dia harus tinggal kelas di SD. Jika dilihat secara fisik, dia paling menjulang diantara teman-temannya. Walau lebih unggul dari fisik, tapi justru dialah yang sering dibully. Dia adalah seorang Kristen.
***
Anak-anak segera pulang ketika hari mulai gelap. Seorang anak pulang ke rumah berukuran empat kali enam meter yang disewa orang tuanya sebesar dua ratus ribu perbulan. Sebenarnya, tempat itu lebih terlihat sebagai kos daripada rumah. Tapi siapa aku yang mengklaim konsep rumah. Mereka sendiri punya konsep rumah masing-masing. Anak itu sibuk mencari mukena dan sajadah. Dia ingin bergegas menuju masjid.
Dari bibir pintu rumah ayahnya terlihat pulang. Hari yang melelahkan pagi sang Ayah. Sebelum menyerah pada lantai, dia menanggalkan bajunya. Tattoo terlihat membujur di punggungnya yang hitam. Si anak mencium tangan ayahnya dan pergi menuju masjid. Anak itu adalah anak yang mengatakan bahwa sholatku tidak sah karena tattooku.



No comments:

Post a Comment