15.50 pm
Paris Bakery Café di lantai dua. Di tempat
ini aku biasa menghabiskan waktu untuk membaca atau hanya minum kopi. Hujan
mengguyur tepat ketika aku sampai di kafe. Aku selamat, tidak perlu lagi
repot-repot ke kamar mandi untuk berdandan karena kehujanan. Sore ini aku
sengaja berdandan rapi, tak lain buat dia, seorang sahabat yang sudah lama
tidak kutemui.
Segelas cappucino
dan sepotong kue foret noire rasa
coklat aku pesan sembari menunggunya. Tidak seperti biasanya dia datang
terlambat, mungkin itu karena hujan deras yang mengguyur tiba-tiba.
Aku
sudah mempersiapkan beberapa pertanyaan untuknya. Bisa jadi aku bisa menebak
apa yang ingin dibicarakannya denganku. Sejak pertemuan kami beberapa tahun
silam, di tempat ini juga, dia menjadi terobsesi dengan “kekasih sempurna”
menurut versinya. Pertemuan itu menjadi trigger
yang memicu nyala hasratnya yang tependam. Kira-kira pertemuan kami waktu itu
terjadi di waktu sore seperti ini.
Dia datang dengan air muka kecewa. Kala itu
aku sedang menikmati lalu-lalang kendaraan dari balkon lantai 2. Dia datang
tiba-tiba lalu meneguk cangkir kopi dan menghisap rokok yang aku taruh di
asbak. Kemudian ia menjatuhkan dirinya ke sofa rotan dengan bantalan hitam yang
menghadap lurus ke arah jalanan. Kupandangi dia yang diam. Tak ada salam ketika
dia datang, hanya diam. Bagiku hal itu adalah sebuah petanda akan suatu masalah.
“Kamu kenapa?” Tanyaku polos.
“Sebelll….!” Jawabnya panjang. Terlihat raut
muka penuh amarah.
“Sebel kenapa?” Tanyaku lagi.
“Guwe baru ketemu
sama orang. Lagaknya bok, blagu
banget. Sok ini-itu, palsu banget. Najis!” Dia kesal.
“Baru ketumbaran?” Tanyaku memastikan.
Matanya membelalak,
mengisyaratkan betapa bodohnya pertanyaanku. Aku pun tercekat.
Kami terdiam. Ini bukan pertama kali bagiku
menghadapinya dalam kejadian seperti ini, tetapi entah ketika momen seperti ini
datang. Empati dan simpati yang aku miliki tak termanifestasi ke dalam
kata-kata yang mampu membuatnya lebih tegar dan kuat. Aku hanya bisa melihatnya
diam dalam kekalutan.
“Laki-laki biasa yang
suka membaca, menulis, backpacking
dan mendaki gunung. Loe bisa membayangkan laki-laki seperti itu?” Tanyanya
kepadaku.
Aku masih diam,
mencerna pertanyaannya dalam-dalam.
“Dia tampil apa
adanya, bukan menjadi seseorang melainkan dirinya sendiri. Menyampaikan
kejujuran walau itu menyakitkan.” Dia menambahkan.
“One on thousand.” Jawabku.
“Guwe yakin orang
seperti itu ada. Dan loe harus tahu, oneday
I will find him!” Jawabnya penuh keyakinan.
Mimik mukanya berubah, raut muka sedih dan
kecewa sirna. Aku merasakan aura berapi-api memancar dari matanya yang
berbinar. Dia baru menyalakan harapannya dan itu membara panas. Sejak hari itu,
dia memulai mencari seseorang seperti bayangan di alam imajinasinya.
Beberapa bulan kemudian, aku bertemu
dengannya secara tak sengaja di acara open
house PLU Satu Hati, sebuah lsm yang bergerak di bidang advokasi LGBT.
Pesta sederhana dengan konsep outdoor
yang diadakan di halaman belakang kantor sekretariat. Lampu warna-warni
menghiasi pohon dan langit-langit, menghadirkan pelangi di malam hari. Meriah
sekali.
Dari kejauhan, disela-sela keramaian aku
melihatnya menggandeng seseorang yang asing bagiku. Mataku menelisik sosok
asing itu. Kulihat dia dari ujung sepatu hingga kepala. Sepatu kulit warna
coklat setinggi tumit, celana jeans pensil ketat dan kaos hitam dengan logo
bintang kejora berwarna merah. Rambut gaya duck’s
ass, disisir sekitar sisi kepala ala Elvis Presley. Manusia rock n roll!
Hanya hitungan detik hingga mata kami saling
bertatapan. Dia girang, menjerit riang mengetahui keberadaanku di pesta itu.
Tubuhku dihantam oleh pelukannya yang erat dan mendadak hingga aku sempat sesak
nafas.
“Eh, gimana gebetan
guwe?” Dia mengarahkan arah pandangannya kepada orang asing itu.
“Eksentrik.” Jawabku heran.
“Rock
and roll abis men!” Kedua tangannya membentuk simbol metal.
“Dapat darimana?” Tanyaku.
“Ceritanya
panjangggg, tapi yang jelas dia beda sama yang lain. Guwe suka banget sama
ideologi yang dia miliki.” Paparnya.
“Ideologi?” Aku
semakin heran.
“Dia itu kiri banget,
loe nggak habis pikir kan ada orang seperti dia di dunia glamor seperti ini?” Wajahnya
bertambah girang.
“I see…” Aku
pura-pura mengamini.
“Jelas doi itu pas
banget buat guwe, partner terbaik yang pernah guwe temui.” Katanya penuh
keyakinan.
Manusia rock
and roll itu mendekat ke arahku. Dengan gayanya yang kalem dia
memperkenalkan dirinya kepadaku. Lama kami berbincang, ternyata dia adalah
seorang aktivis buruh tulen yang sangat percaya dengan sebuah takdir bahwa
kelas proletar akan menguasai dunia kelak. Aku sedikit mengulik mengenai
kedekatan mereka, ternyata mereka secara resmi jadian sejak 2 bulan yang lalu.
Dua bulan yang mereka jalani terdengar sangat
menyenangkan. Banyak hal yang baru yang ditemui oleh sahabatku. Bahkan kalau
aku melihat dia pun jauh berubah, seperti terpengaruh oleh manusia rock and roll. Tak ada rasa tidak suka,
ganjil sejauh sahabatku berbahagia dengan manusia rock and roll itu.
Namun beberapa waktu setelah pesta open house, aku mendengar relasi
sahabatku dengan manusia rock and roll itu berakhir. Aku tidak tahu penyebab
pasti hubungan mereka putus karena belum bertemu dengannya sejak saat itu. Aku
sengaja menyimpan tanda tanya besar itu. Dan hari ini, dia akan datang di
lantai dua kafe ini.
16.15 pm
Aku kembali menyruput kembali kopi yang masih
tersisa separuh. Rasanya nikmat sekali minum kopi saat hujan-hujan seperti ini.
Tanpa aku sadari, dia muncul dari belakangku. Memelukku dari belakang dan
berbisik.
“Halo mr.
writer.” Sapanya.
“Sorry guwe
terlambat, hujannya juara!” Dia meminta maaf lalu duduk di sofa. Tanpa ijin dia
menyruput kopiku.
“Hmm…takarannya masih
sama. Long black dengan dua sendok
gula. Kamu tak berubah.” Dia terus mengoceh.
“Sendirian?” Tanyaku.
“Loe pikir ngajak
siapa?” Tanyanya balik.
“New partner maybe.” Aku memancing pembicaraan.
“Nggak ada lagi hal
gituan.”
“Seriusan? Aku nggak
percaya.”
“Terserah loe, tapi
sekarang guwe sudah berubah.” Katanya penuh keyakinan.
“Berubah lagi? Lalu
apa kabar dengan manusia rock and roll
yang aku temui di PLU?” Tanyaku.
“Ah, loe jangan
ungkit-ungkit manusia tanpa perasaan itu.” Mukanya kecut.
“Katanya dia tipe
kamu?”
“Awalnya sih guwe
pikir seperti itu, tapi lama-kelamaan guwe berpikir ulang. Masa guwe nggak
boleh jadi pacar yang romantis. Katanya belum saatnya, masih banyak persolaan
bangsa yang lebih penting dari urusan melankolia. Gila aja, emang guwe robot?”
Keluhnya.
Aku tersenyum
kecil,”I can see it.”
“Trus, loe sendiri
gimana? Do you have someone special?”
Tanyanya.
“Ya, ada seseorang.
Walau bukan sosok yang sempurna bagiku. Tetapi aku cukup bersyukur bisa bertemu
dengannya.”
“Seperti apa sih
orangnya?”
“Mas-mas jawa.
Umurnya agak beda jauh sih, tapi it’s oke
lah buatku.” Jawabku malu-malu.
“Yakin dia tipe loe?”
Tanyanya ragu.
“Hmmm…..Setelah lama
mencari, aku meyakini bahwa di dunia ini tidak ada hal sempurna yang bisa kita
cintai. Kita hanya bisa menyempurnakannya.” Jawabku.
“Loe salah bung,
kesempurnaan itu ada.” Dia membantah.
“Buktinya?” Tanyaku.
“Seseorang sempurna
yang bisa kita cintai adalah…..”Kedua jempolnya menunjuk dirinya.
Aku kaget dengan jawabannya. Betapa susahnya
memahami pemikirannya yang cukup unik. Sedikit demi sedikit aku mencoba
mencerna apa yang dimaksudkan oleh dirinya. Kulihat dirinya saat ini yang cukup
berbeda. Penampilannya sederhana, baju panel lengan panjang dengan celana jeans
butut ala-ala backpaker. Terlihat dia lebih menjadi dirinya sendiri dan tidak
peduli dengan tuntutan dandan sosial.
Aku mendengar bahwa dia memilih keluar dari
pekerjaannya saat itu sebagai seorang karyawan dan memilih untuk travelling
keliling Indonesia. Katanya dia hanya ingin menjadi sosok yang lebih bebas
saja. Sebuah alasan yang tidak mendasar bagiku. Kebebasan?
Pikiranku melayang kepada sebuah momen
beberapa tahun silam dimana kami bertemu di tempat yang sama. Dia pernah
mengutarakan mengenai sosok partner yang sempurna baginya. Laki-laki biasa tapi
bebas. Backpacking, membaca dan
menulis adalah kehidupannya. Dia tampil apa adanya, bukan menjadi seseorang
melainkan dirinya sendiri.
Aku tersentak dan sadar. Sosok sempurna yang
digambarkan olehnya sekarang berada tepat di depanku. Setelah mencari dan terus
mencari akhirnya dia menemukan sosok sempurna yang dia inginkan. Dan saat ini
dia berada di depanku sendiri. Dia adalah dirinya sendiri.
“Kamu tahu bung, I love me more than I know.”