Monday, 26 February 2018

Travelling Danau Toba: Menuju Samosir


Air berombak, menari-nari bersama sepoi angin. Tak lelah menyisir permukaan danau. Dingin terhembus, di tengah matahari yang tertutup awan sejak pagi tadi. Aku berdiri di Pelabuhan Tigaraja. Samar-samar terlihat pulau di seberang sana. Tertutup kabut tipis malu-malu. Samosir! Dengan logat khas Batak seorang awak kapal menawariku untuk segera naik ke kapalnya. Katanya, tak perlu lama-lama, langsung berangkat. Aku tak lantas terbujuk rayunya. Aku tetap berdiri, memaku di atas dermaga. Melihat sebuah pulau legendaris, hasil ledakan maha dasyat dari letusan gunung yang menyisakan tak lebih dari seperempat pupulasi manusia di bumi saat itu.

Aku berdiri di atas Pelabuhan Tiga Raja, hanya lima menit dari penginapan Melissa Palace. Setiap hari ratusan orang menyeberang ke Pulau Samosir. Sebagian besar adalah penduduk Pulau Samosir yang bekerja dan hidup di sana. Hanya ada beberapa turis yang berangkat satu kapal bersama kami. Kita tidak perlu dikerjar waktu untuk menyeberang ke Pulau Samosir. Setiap satu jam sekali ada kapal yang menyeberang, mulai dari pukul 7 pagi hingga 5 sore. Dari pelabuhan Tiga Raja kita bisa memilih 2 destinasi utama untuk berlabuh, Tuk tuk dan Tomok. Aku memilih Tuk tuk sebagai basis kami untuk menjelajah Pulau Samosir. Dari Pelabuhan Tiga raja menuju Tuk tuk dibutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk menyeberang. 

Di atas kapal seorang awak menanyakan di hotel mana aku akan menginap. Awalnya aku curiga kenapa dia menanyakan hotelku. Lalu aku jawab kalau aku akan tinggal di Homestay Romlan. Tanpa bertanya lagi dia pergi begitu menarik biaya menyeberang sebesar Rp 15 ribu per orang. Ketika Pulau Samosir terlihat di depan mata, aku turun menemui awak kapal. Aku bertanya-tanya kenapa aku tak pernah melihat tempat seperti pelabuhan bagi kapal untuk bersandar. Dia terbahak, geli mendengar pertanyaanku. Dengan logatnya yang lantang dia mengatakan kalau kami akan turun di Homestay Romlan. Setiap turis akan diantar ke hotel masing-masing karena setiap hotel yang ada di pinggir danau memiliki tempat untuk bersandar. Suatu hal di luar dugaanku. Padahal jauh-jauh hari ketika aku memesan homestay, aku telah bertanya apakah mereka bisa menyediakan pick up transport dari pelabuhan. Pantas mereka tidak pernah menjawab pertanyaanku satu itu.

Ada banyak sekali hotel di Tuk tuk karena daerah ini adalah daerah wisata utama di Pulau Samosir. Beragam harga dan fasilitas bisa dipilih. Menurutku akan lebih bagus jika kamu memesan hotel terlebih dahulu sebelum sampai di sana. Alasan pertama supaya kamu bisa dengan jelas di antar langsung ke hotelmu. Ada dua rekomendasi hotel yang bisa saya sarankan, Pertama Homestay Romlan. Kedua, Hotel Bagus. 

Homestay Romlan memiliki review yang bagus di beberapa website travelling. Review tersebut menurutku sesuai dengan fasilitas dan terutama pelayanan yang diberikan. Pekerja di Homestay Romlan sangat ramah. Bertanyalah kepada mereka tentang hal-hal seputar travelling. Mereka akan memberikan informasi yang cukup menarik.

Tuk tuk
Jalanan begitu lengang, tak banyak lalu lalang kendaraan. Orang-orang berkumpul di depan rumah, menyapa kami dengan hangat. Tak lama kami berjalan, deretan cafe bergaya western terlihat begitu kontras dengan rumah-rumah penduduk lokal. Mereka tidak hanya berbicara bahasa Inggris, di antara mereka berbicara Bahasa Belanda dan Jerman walau sebatas percakapan sederhana saja. Dari mana mereka belajar bahasa-bahasa itu? Mungkinkah dari pemilik cafe-cafe tersebut. Aku menahan diri untuk tidak membayangkan Bali.
Tanpa pergi kemana pun dan hanya duduk di tepi pinggir danau adalah sebuah kelegaan dari indahnya alam Danau Toba. Aku bisa menghabiskan beberapa gelas bir dan diam tanpa berucap apapun. Jangan terburu-buru untuk meninggalkan Pulau Samosir. Tinggalah sekitar 2-3 hari supaya benar-benar merasakan atmosfer Pulau Samosir dan Danau Toba. 

Pilihan alat transportasi untuk berkeliling di Pulau Samosir cukup terbatas. Kita bisa menyewa sepeda, motor, atau mobil. Pada awalnya aku berniat untuk menyewa sepeda, harga sewa Rp 40 ribu bisa ditawar jika kita menyewa lebih dari satu. Namun setelah melihat topografi Pulau Samosir yang berbukit dan berkelok-kelok, akhirnya aku memutuskan untuk menyewa sepeda motor. Harga sewa motor yang aku peroleh Rp 90 ribu termasuk bensin. Jika kamu menyewa di Homestay Bagus, mereka menawarkan harga Rp 70 ribu tanpa bensin. Tidak susah untuk mencari tempat persewaan motor. Toko, cafe dan Hotel sepanjang jalan utama Tuk-tuk menawarkan jasa rental motor.

Kuliner Pulau Samosir
Ada banyak sekali warung, cafe dan restoran yang berjejal di jalanan Tuk tuk. Jangan kaget melihat harga yang tertera di buku menu. Orang Jogja sepertiku harus pandai-pandai memilih makanan supaya bugdet travelling tetap terkendali. Padahal memilih bukan perkara mudah. Menu makanan khas Pulau Samosir, ikan mujair dan Babi Panggang susah sekali tidak tercatat di nota order. 

Setelah berkeliling ke Warung Islam (yang juga menjual bir), Cafe western, Restoran Batak, hingga Restoran Cina di sepanjang Tuk-tuk. Masakan yang paling enak dan genuine menurutku adalah Warung Rohana. Setelah membaca berbagai review di internet dan menyelami lautan kuliner Pulau Samosir. Ternyata pilihan terbaik justru berasal dari tempat yang tak terduga. Mutiara Danau Toba adalah kiasan yang tepat. 

Rohana adalah nama sekaligus pemilik warung sederhana tersebut. Ia menyewa sebuah tempat sederhana di pinggir jalan utama timur Tuk tuk. Di tempat itu kamu harus bersabar menunggu masakan dimasak karena ia hanyalah satu-satunya pekerja di warung. Namun penantianmu akan berbuah manis. Mintalah lidahmu berkata jujur ketika mencicipi Mujair yang dihidangkan dengan kuah santan asam. Dagingnya sangat lembut, bumbu-bumbu merasuk ke dalam setiap potong dagingnya. Tak lupa pesanlah menu sederhana salad buah. Pilihan buah yang dipotong-potong, ditaburi buah markisa dan parutan kelapa muda. Aku belum pernah mencoba salad buah semacam ini.

Thursday, 15 February 2018

Travelling Danau Toba: Membuat Itinary di Parapat


Di setiap rumah batak terukir pahatan cicak. Ia adalah lambang persahabatan. Itu kenapa orang Batak ada di mana-mana dan bersahabat dengan siapapun juga. Begitu kata seorang tetua di salah satu Jangga Dolok yang aku kunjungi, tak jauh dari Danau Toba. Aku meyakini perkataanya, apalagi orang batak dikenal memiliki budaya merantau. Waktu sekolah di Menengah Pertama aku tpunya seorang teman bermarga batak, Harahap. Walau ia lahir dan besar di Yogyakarta, ia meyakini memiliki darah batak dalam tubuhnya. Ia selalu bangga menyebut dirinya Batak walau jarang ke Sumatra. Kami tidak banyak bicara soal Batak akrena dia pun tak tahu persis. Hingga kini aku tak pernah tahu Batak yang sebenarnya.

Ketertarikanku pada Batak telah menuntunku untuk melakukan travelling pertama kali ke tanah Sumatra. Sayang sekali, setelah sekian lama menyukai travelling. Aku baru memutuskan untuk pergi ke Sumatra pada tahun 2018. Danau Toba menjadi tujuan pertama. Sebuah kisah mengatakan bahwa Batak lahir tempat itu.

Ada banyak pilihan travelling ke Danau Toba. Aku memilih menggunakan pesawat karena waktu yang terbatas. Dari sini jelas aku bukan seorang backpacker kulit yang sangat keren itu. Bukan juga seorang hippies. Setidaknya suatu hari nanti aku ingin menjadi. Perjalanan darat bisa membutuhkan waktu sekitar 3-4 hari hanya untuk sampai di Sumatera Utara. Saat ini sudah ada rute pesawat dari Yogyakarta-Medan (Kualanamu) setiap harinya, harganya pun cukup terjangkau bagi seorang kelas pekerja seperti diriku. Harga perjalanan darat dan udara tidak jauh berbeda. Jadi jelas travelling lewat jalur udara adalah pilihan sangat tepat. Kalau tidak salah saat ini Air Asia dan Citilink bergantian terbang dari Yogyakarta-Medan setiap harinya.

Bandara utama Medan saat ini adalah Bandara Kualanamu International Airport. Ia berada di Deli Serdang, salah satu dari 20 Kabupaten di Sumatra Utara. Sekitar 26 km dari kota Medan (30 menit menggunakan railink, sekitar 1 jam menggunakan taksi).Terletak di bagian Timur tak jauh dari Selat Malaka. Warga Jogja jangan heran dengan bandara ini karena jauh super besar daripada bandara kita tercinta Bandara Adi Sutjipto.

Medan-Parapat
Kenapa memilih kota kecil Parapat? Padahal banyak jalan menuju Pulau Samosir. Parapat memiliki jarak terdekat dengan Pulau Samosir dan jarak paling dekat dari bandara untuk menyeberang ke Pulau Samosir jika dibandingkan kota lainnya. Kota kecil ini juga bukan sekedar kota penyeberangan semata. Dari titik ini travelling akan mencari sebuah makna.
Sesampainya di Bandara Kualanamu kamu bisa memilih banyak moda transportasi untuk pergi ke Parapat.

1. Naik Bus Damri, Tidak ada bus langsung ke Parapat. Justru Kita harus pergi ke Medan dulu baru memilih bus jurusan Parapat.

2. Sewa motor di Medan. Jika kamu memilih opsi ini kamu harus pergi ke Medan terlebih dahulu. Saranku buatlah initiary untuk berkeliling di Medan baru ke Danau Toba. Dari Bandara Kualanamu ke Medan kita bisa menggunakan shared taksi, bus damri atau railink. Untuk Railink kamu harus memesan tiket minimal 1 hari sebelum keberangkatan. Di beberapa aplikasi travelling kamu akan mendapatkan harga diskon hingga 50%. Salah satu aplikasi yang menyediakan tiket pembelian Railink adalah Deal Medan.

3. Shared taxi di Bandara. Salah satu agen shared taxi resmi yang ada di bandara adalah nice trans.

4. Uber, Gocar dan taksi online lainnya. Pemerintah Sumatera Utara dikenal sebagai pihak yang paling menentang moda transportasi ini. Aku pernah menemui razia taksi online waktu berkeliling di Kota Medan. Walau cuma sekedar sosialisasi. Tetapi ketemu Polisi dimanapun selalu tidak menyenangkan bagiku. Untuk menggunakan moda transportasi ini kamu harus negosiasi dengan driver untuk mengantarmu ke Parapat. Kata kawanku, hanya taksi online yang menawarkan jasa paling murah selain bus.

Aku travelling berempat dengan teman-temanku. Shared taxi menjadi pilihan hemat dan paling nyaman, apalagi aku tiba di Bandara tengah malam. Aku memesan shared taxi dari hotel milik seorang kawan (Melissa Palace). Biaya shared taksi Rp 550 ribu, lebih murah dari harga pada umumnya yang mengenakan biaya 90 ribu per kepala, total satu mobil Rp 630 ribu. Jika kamu pergi sendiri dan ingin naik share taksi, kamu bisa menghubungi Nice Trans yang terdapat di Bandara. Biayanya per orang sekitar Rp 90 ribu. Aku telah melakukan keputusan tepat. Beruntung sekali aku sudah memesan shared taksi sebelumnya karena Nice Trans tidak buka selama 24 jam. Jadi rencanakan baik-baik jika kamu tiba di Bandara Kualanamu cukup larut.

Jarak dari Bandara ke Parapat sangat jauh. Keluhan yang seharusnya tidak perlu aku utarakan karena dulu orang lokal harus menempuh minimal 5-6 jam. Harusnya aku bersyukur. Sudah ada jalan tol yang mampu memangkas jarak menjadi 4 jam saja pada siang hari. Di malam hari, waktu itu kami hanya membutuhkan waktu sekitar 2-3 jam saja karena jalanan sangat lengang. Namun jangan bayangkan jalanan Sumatera yang mulus, lurus, tanpa hambatan. Selepas keluar dari jalan tol kita akan disuguhkan dengan jalanan Sumatera yang sesungguhnya. Berkelok-kelok bagai ular mengoyak perut. Lalu ada lubang yang tak pernah akan kamu duga dan bisa hindari. Belum lagi jalanan Sumatera yang sempit membuat detak jantungmu berpacu lebih kencang ketika berpapasan dengan truk-truk muatan yang memang keluar di malam hari. Sambutan Pulau Sumatera yang tidak terlupakan. Nikmati saja goyangannya!

Pilihan lain yang menurutku menarik dipertimbangkan adalah terbang ke Bandara Silangit, bandara yang terletak di kota Siborong-borong. Hanya butuh waktu sekitar 40 menit untuk pergi menuju Balige, pelabuhan penyeberangan, menggunakan bus damri. Harga dari Yogyakarta menuju Bandara Silangit, transit satu kali di Bandara Kualanamu, membutuhkan biaya sekitar Rp 1.1 juta rupiah. Aku memperoleh tiket dari Yogyakarta-Medan (Kualanamu) sekitar Rp 700 ribu.

Travelling ke Parapat
Tidak ada ruginya untuk mampir ke kota ini sebelum menyeberang ke Pulau Samosir. Parapat bukan hanya sebuah kota untuk menyeberang. Dari tempat ini kita bisa menjelajah banyak hal mulai dari budaya, pusat informasi geopark, alam dan Budaya Batak. Luangkan waktu satu malam untuk tinggal di kota ini. Ada banyak sekali budget hotel di pinggir danau dengan pemandangan yang akan membuatmu menahan napas. Aku memilih Melissa Palace, hotel yang hanya 5 menit jalan kaki ke Pelabuhan Tiga Raja.

Pemilik hotel ini bernama Bang Sirait. Dia dulu pernah kuliah dan bekerja di Yogyakarta. Begitu kami berjumpa dan mulai berbicara, obrolan kami tak putus-putus. Terutama dirinya yang sedang menjelajah kenangannya dulu ketika di Yogyakarta. Bang Sirait bukan tipikal seorang pengelola bisnis wisata yang pragmatis. Dia adalah seorang pegiat wisata yang berorientasi pada nilai customer. Dia adalah seorang yang terbuka dengan berbagai masukan, termasuk hotel yang dikelola sendiri. Dia juga senang untuk berbagai informasi dan pengalamannya. Hal yang paling dibutuhkan bagi seorang traveller.

Ada beberapa tempat yang perlu kamu singgahi di Parapat. Mari kita mulai dengan mengisi perutmu yang lapar kuliner khas Batak. Kita akan pergi ke warung biasa yang menyajikan makanan luar biasa. Nama warung itu adalah Warung Siganupari di Pelabuhan Ajibata. Menu warung itu adalah makanan sehari-hari. Jangan sepelekan walau cuma sekedar makanan sehari-hari. Coba salah satu menu utamanya, Ikan Mujair dengan saus kacang plus andaliman. Saus tidak ada duanya yang membuat lidahmu bergoyang bahagia. Lalu ada juga babi panggang yang juicy. Aku hampir memutuskan untuk tidak mampir ke salah satu restoran babi panggang karo terkemuka di Kota Medan karenanya.
Kedua, kita bisa mampir ke Pusat Informasi Geopark Nasional Danau Toba. Tempat ini tidak jauh dari hotel kami. Aku berjalan menuju tempat itu sembari menikmati pemukiman penduduk di pinggir danau toba. Seperti namanya, tempat ini menyajikan informasi tentang Danau Toba dari sisi sains. Jangan terkejut ketika tahu bahwa kita dikelilingi oleh ring of fire Indonesia. Deretan jalur gunung berapi paling aktif di dunia.

Kita sudah makan dan menambah ilmu, berikutnya jangan lupakan sosok manusia di antara kedua hal itu. Mari kita pergi ke Jangga Dolok. Jangga berarti Desa, Dolok mungkin adalah nama desa yang ada di selatan Parapat, berjarak sekitar 1 jam dari pelabuhan tiga raja. Jonggo Dolok adalah sebuah kampung yang masih mempertahankan tata cara hidup orang Batak jaman dulu. Kampung itu tidak hanya menyajikan rumah-rumah batak asli seperti yang kita lihat dari pecahan uang seratus perak tempo dulu. Kita bisa berbicara dengan tetua yang tinggal di sana. Jangan kaget dengan logat mereka yang terdengar marah-marah. Itulah mereka, gaya bicara khas yang membuat kita terkejut. Coba lontarkan cerita jenaka, mereka pun bisa terbahak.

Salah satu destinasi terakhir dari one day full trip adalah pergi ke Taman Eden. Susun itinarymu ke dalam pilihan terakhir sebelum kamu kembali ke Parapat. Ada cerita menarik di balik tempat wisata kekinian Sumatera Utara ini. Seperti namanya, Taman Eden adalah sebuah kebun besar penuh tumbuhan endemik Sumatera Utara. Di tempat ini kalian akan tahu darimana Andaliman (Cabe Batak) tumbuh. Jika kamu beruntung, kamu bisa petik strawberry dan jeruk sendiri.

Bagi pecinta kopi, di tengah kebun ada sebuah kedai kopi bergaya unik yang menjual Kopi Sidikalang. Nama kedai itu adalah sheerwood coffee. Kopi disajkan dengan gaya khas Sumatera Utara. Tak terlupa, mereka juga menjajakan kudapan-kudapan khas Sumatera Utara yang sudah jarang di temukan di pasar-pasar tradisional.

Satu hal penting sebelum travelling ke Danau Toba, bukan sekedar cekrek upload. Informasi yang disediakan di internet sangat terbatas, apalagi informasi didominasi oleh pengusaha wisata yang menawarkan hal-hal mainstream untuk jualan. Singgah satu hari untuk beristirahat setelah perjalanan jauh dari Medan sekaligus mencari informasi tentang Pulau Samosir dan Danau Toba. Kamu akan memperoleh banyak informasi yang tidak pernah akan kamu peroleh di internet. Sembari melepas keingintahuanmu travelling ke Parapat juga menyenagkan. Satu hari yang menyenangkan.

Monday, 8 January 2018

Dari Perempuan Itu


Perempuan itu terkejut begitu memasuki ruangan tempat dirinya menjalani seleksi wawancara. Ia melihat laki-laki yang ditemuinya di dalam kegiatan seni di Jalan boulevard UGM. Ia tidak terlalu dekat dengan laki-laki itu, tetapi mereka berbincang baik ketika bertemu. Laki-laki itu segera menyadari kedatangan perempuan yang menjaga langkahnya ketika memasuki ruangan.
“Eh kamu to”. Begitu laki-laki itu menyapa. Tanpa sebutan nama hingga membuat perempuan itu merasa bahwa laki-laki itu memang tak mengingat namanya. 

Begitulah pertemuan mereka terjadi, titik awal hingga mereka tumbuh menjadi layaknya seorang kakak-adik. Setidaknya itulah yang sering aku lihat dari hubungan mereka yang sangat unik. Ada saat-saat bahagia, kenangan yang selalu disertai tawa ketika perempuan itu mengingatnya. Atau hal-hal yang ia tak sukai tetapi ia lebih suka menyimpan untuk dirinya sendiri. 

Aku datang tanpa sebuah rencana ke rumah perempuan itu. Ia selalu terbuka untuk diriku. Kami duduk di ruangan bawah tempat kami sering berbincang banyak hal. Siang itu aku menanyakan sebuah rencana santai. Begitu aku menyampaikan hal itu secara sederhana tanpa muluk-muluk. Seperti biasanya ia selalu mengatakan “Apa yang bisa ia bantu.” Aku hampir mengejeknya, balasannya terlalu otomatis seperti seorang pelayan konsumen. Tetapi aku lebih memilih untuk membuka sebuah peluang untuk berbicara hal-hal yang ingin aku ketahui dari perjalanannya selama beraktivisme.

Perempuan itu menerawang ketika aku mengajukan beberapa pertanyaan. Aku sempat berpikir apakah pertanyaanku sedikit rumit untuk digali dari masa lalunya? Beberapa jawaban yang aku dengar terkesan sangat formal, sebuah bukti sukses ideologi organisasi tempatnya menghabiskan bertahun-tahun bersama komunitas tertindas. Ia berkali-kali juga tidak bisa untuk tidak mengaitkan organisasinya. Padahal aku ingin memunculkan subyektivitas dirinya dalam setiap jawabannya. Mungkin aku bukan seorang penanya yang baik, karena seharusnya aku tak perlu berharap dia menjawab sesuatu yang aku inginkan. Aku tahu aku bodoh.

Organisasi tua tempat perempuan mengabdikan diri memang besar pengaruhnya pada gerakan komunitas tertindas, terutama gerakan LGBT. Mereka-mereka yang pernah berada di organisasi itu adalah orang luar biasa yang selalu menginginkan perubahan. Dulu ketika isu HIV AIDS mendominasi segala funding dan wacana. Mereka memilih untuk membuka cakrawala wacana. Perjuangan identitas menjadi pijakan berikutnya untuk mendorong komunitas LGBT untuk bergerak lebih luas memperjuangkan hak mereka. Mereka tak hanya menganggap komunitas LGBT sebagai obyek proyek yang harus selalu didampingi. Mereka meyakini bahwa komunitas memiliki daya untuk menjadi aktor utama perubahan.

Perbincangan kami menjadi tidak teratur. Semakin lama aku bukan menjadi seorang penanya yang pintar. Semakin lama aku pun sedikit khawatir karena berkali-kali ia mengulang nama seorang laki-laki yang telah tiada. Seseorang yang sangat berarti untuk hidupnya. Aku cukup khawatir jika pertanyaanku akan membuka lukanya yang telah sembuh karena ikhlas. Kami diam sejenak, aku lalu mengalihkan pembicaraan pada hal-hal remeh tentang bahasan keseharian komunitas yang tak jauh dari pasangan, pesta atau kesenian. Ternyata dulu dan hari ini tak terlalu berbeda. Masalah-masalah yang seolah terulang, beranak-pinak dan tak terselesaikan. Aku tak ingin menjadi orang yang terlalu pemimis melihat masalah itu. Bukankah perubahan tidak akan pernah terjadi tanpa harapan yang harus selalu hidup. Dari perempuan itu aku semakin percaya bahwa harapan itu harus terus menyala dan diteruskan ke semua orang. Perempuan itu memang tidak terlalu yakin atau mungkin dia tidak terlalu ingat. Beberapa kali dia mengatakan untuk bertanya kepada laki-laki, “kakak”nya yang lebih dulu bergerak bersama komunitas. Aku tahu bahwa aku harus bertanya kepada laki-laki itu. Seorang laki-laki yang menyimpan banyak proses bersamanya. Kadang aku berandai-andai, jika laki-laki itu ingin menggunakan namanya. Mungkin ia telah menjadi seorang direktur, seorang aktivis ternama, atau seorang lain yang besar. Bagiku ia memilih bersama komunitas dan aku hormat padanya.

Aku tak pernah bisa menebak isi kepala perempuan itu. Semakin lama kami berbincang aku ingin semakin dalam menyelam. Mungkin dia akan sangat berbeda memaknai laki-laki itu. Dia lah yang telah lama mengenalnya. Sebelum berada di organisasi yang sama, ia telah mengenalnya melalui mantan kekasihnya. Dari teman kekasihnya ia bertemu dengan laki-laki itu di Boulevard UGM. Mereka berkumpul membicarakan banyak hal terutama kesenian. Di luar jalanan Boulevard perempuan itu juga bertemu dengan laki-laki itu menjadi seseorang yang aktif berbicara LGBT di banyak forum. Kami melihat gerakan yang dibangun oleh laki-laki adalah gerakan menengah. Tetapi aku tak bisa melihat sedangkal itu. Aku harus mendengarkan cerita lain tentang laki-laki itu dari orang lain, perempuan itu tak berani menceritakannya. Dari cerita orang lain, mereka bercerita tentang aksi bersama petani, ramaja jalanan, buruh. Jelaslah bahwa laki-laki itu telah melakukan bunuh diri kelas dan membaur bersama orang-orang kecil.

Melalui perempuan itu aku ingin menceritakan tentang laki-laki itu. Aku tidak ingin orang-orang seperti dirinya berlalu begitu saja dalam waktu. Seperti tahun demi tahun yang lalu, aku dan perempuan itu kehilangan orang-orang besar. Kehilangan selalu memyedihkan, memang. Namun, ada yang lebih menyakitkan jika kami yang pernah bersama mereka tak bisa menyampaikan jiwa mereka kepada lainnya. 

Sebelum teknologi mampu meniadakan kematian. Aku pikir mereka harus tercatat dalam sejarah. Demikian jiwa mereka akan tersampaikan pada lainnya.

Friday, 5 January 2018

Narasi Kecil Gerakan LGBT: Badai di otakku.


Belum terungkap bukan berarti tak ingin dikenang. Tidak tertulis jangan diartikan tak bersejarah.”

Aku selalu antusias mendengarkan cerita senior tentang gerakan LGBT. Cerita tentang bagaimana PLUSH terlahir dan menjadi rumah bagi mereka yang percaya kesetaraan. Di dalam perbincangan, mereka memanggil kisah-kisah yang mengendap lama. Aku menerawang dari dalam mata mereka. Berharap bisa terbawa pada ingatan itu. Setiap perbincangan tentang sejarah selalu menyenangkan. Mereka saling menimpali. Melengkapi ingatan yang terselip oleh waktu. Kadang satu diantara mereka tiba-tiba terkekeh. Teringat cerita jenaka. Lainnya pun ikut tertawa. Sebagai pendengar cerita, aku turut tertawa dan menjadi penonton yang berbahagia. Namun ada rasa sedih setelah mendengarkan cerita mereka. Tidak pernah aku menemukan cerita mereka di dalam buku, jurnal, atau sastra. Mereka seolah tersimpan dalam rahasia sejarah. Teronggok bersama kumpulan narasi kecil. Cerita yang tak terceritakan. Semangat baik yang tak tersampaikan?

Susah sekali menceritakan mereka. Terlalu banyak cerita menggelintar. Pertanyaan bagaimana memulai cerita mereka terngiang-ngiang di dalam benakku setiap kali bertemu dengan mereka. Aku merasa cerita mereka lebih dari sekedar alur peristiwa yang biasa ditemukan dalam ensiklopedia sejarah. Semangat, gagasan dan tantangan mereka harus terceritakan. Cerita mereka adalah persoalan memaknai garis waktu. Makna yang membuat gerakan LGBT tetap hidup hingga hari ini aku bersama mereka.

Menulis adalah caraku menghormati perjuangan mereka. Ini adalah iktikad. Mereka harus terceritakan. Pengorganisator akar rumput. Mereka yang tak pernah silau kedudukan organisasi. Tidak pernah memposisikan diri lebih hebat atau pintar dari komunitas. Mereka adalah teman dari komunitas. Teman yang membangkitkan ketertindasan menjadi sebuah perlawanan berarti. Saat ini mereka telah kembali ke dalam komunitas. Tak menjadi direktur lembaga, politisi atau orang ternama. Mereka adalah orang biasa dan kembali menjadi orang biasa.

Gerakan LGBT di Yogyakarta lahir dari rahim gerakan Kesehatan Reproduksi. Mendengar cerita teman, beberapa dari mereka mengatakan bahwa gerakan advokasi LGBT menjadi embrio wacana dari divisi pengorganisasian gay dan waria di PKBI Yogyakarta. Wacana advokasi tidak terlahir apik seperti konsep hari ini. Ini bukan menjadi sebuah perbandingan. Wacana hari ini adalah pikiran organik yang tumbuh sehingga ia tak lepas dari sejarahnya. Melihat wacana yang populer saat itu, isu HIV AIDS sedang berada di arus utama pengarusutamaan wacana. Ditambah hanya lembaga-lembaga HIV AIDS yang memberikan sokongan dana untuk kepentingan komunitas. Tanpa mengecilkan makna kolektif saat itu. Aku pikir perlu mengakui wacana yang berkembang saat itu membuat gerakan gay dan waria hanya menjadi kelompok yang diakui umum dalam gerakan sosial. Aku yakin, teman-teman ini tidak menyerahkan diri mereka puas dalam wacana lembaga sokongan dana dan wacana umum. Mereka telah berpikir keras mendiskusikan wacana seksualitas lebih luas, tentang orientasi seksual, hak tubuh dan lainnya. Mereka juga mulai berpikir mengajak gerakan Lesbian untuk berjuang bersama.

Sejarah mereka yang dulu cukup aktif di divisi pengorganisasian gay PKBI Yogyakarta juga perlu dicatat sebagai sebuah keberhasilan. Aku masih berhitung soal jumlah, berdasarkan cerita senior, banyak komunitas yang diorganisasi mereka. Ada Pelangi Jogja yang menjadi wadah berkesenian bagi komunitas, Komunitas satu Hati yang aktif dalam kegiatan sosial di Yogyakarta dan komunitas-komunitas tak bernama yang sering berkumpul di alun-alun utara, taman pintar dan titik lainnya. Jika aku harus bertepuk tangan, aku takut jemariku akan remuk saking salutnya. Bisa jadi pengorganisasian waktu itu adalah pengorganisasian terbesar dalam sejarah gerakan LGBT. Tidak hanya itu saja, aku juga mendengar bahwa gerakan LGBT pernah tergabung ke dalam gerakan agraria, buruh dan demokrasi. Interseksionalisme bukan wacana baru hari ini. Mereka telah lebih lama beririsan dengan gerakan lain. Irisan yang hari ini telah lapuk dan kembali dirajut susah payah.

Ternyata ada sedikit keraguan dari iktikad yang besar. Keraguan itu adalah pertanda bahwa aku harus bersabar untuk belajar. Sejarah itu terlalu luas, seperti cerita-cerita yang terlontar santai, mengalir deras hingga aku tak bisa mengimajinasikannya. Sejarah perlu membatasi dirinya agar mampu dimaknai. Aku sedang berpikir keras akan batasan itu. Pilihan yang sangat sulit. Aku pun bersiap untuk salah dengan pikiran terbuka. Menceritakan perjuangan merek adalah perkara rumit. Aku membayangkan setiap orang harus dihargai. Menghargai subyektif mereka, menghargai keakuan mereka. Tulisan seharusnya mampu menangkap bagaimana mereka memandang gerakan LGBT lahir dan tumbuh.

Monday, 1 January 2018

Laki-laki Bersalah

Aku sedih melihat ayahku. Kami terlihat berbincang seperti biasa memang. Seperti hari ini ketika aku pulang ke rumah. Kami bertegur sapa dan berbincang seperti ayah dan anak. Tapi aku merasakan suatu jarak yang coba ia lawan sendirian. Aksen kekakuan itu samar dari sosok dirinya yang senang bercanda. Sampai kapan pun laki-laki itu tak bisa menyembunyikan perasaannya di depanku, termasuk rahasinya. Bertahun-tahun ia menyangka aku tak akan pernah tahu. Padahal sejak ia berniat menyimpan sebuah rahasia, pada hari itu pula aku tahu. Kasihan ayahku. Ia seorang laki-laki bersalah.

Ayahku adalah seorang yang idealis, begitu kata kawanku di kampung. Ia terkenal orang nomor satu penolak budaya tahlilan di kampung. Bagiku ayah tidak serumit itu. Dia hanya seseorang yang memegang prinsip secara teguh. Seorang Muhammadiyah yang melakukan laku Muhammadiyah. Walau aku yakini hal seperti itu adalah politik dan aku telah sering menemukan dualisme dari hidupnya. Tentu aku tidak bisa menghakimi. Bagaimana pun juga seorang seperti diriku yanng meyakini kebenaran relatif tak mampu melakukan hal itu. Namun akhir-akhir ini, kepercayaanku akan kebenaran terkikis. Terutama ketika ibuku mengungkapkan derita yang bertahun-tahun dipendamnya sendiri kepada anak pertamanya, aku.

Tak ada keluarga yang bahagia selamanya. Janji pernikahan berlaku seperti kata-katanya. Mungkin dengan enteng sekali mereka mengatakan komitmennya dulu. Hingga tiba suatu hari di mana jalan berliku penuh cobaan, atau juga ada janji-janji yang ingkar. Begitulah kata-kata, terlalu mudah dikatakan kadang. Lalu apa yang terjadi selanjutnya? Kami anak-anak mereka. Aku tak tahu bagaimana memposisikan diriku di antara mereka. Laki-laki itu linglung tak karuan merasa bersalah, sementara ibuku berkali-kali menangis dan bahkan sempat kabur ke rumahku.

Saat ini ibuku telah baik-baik saja. Itu harapanku. Hanya laki-laki itu yang masih menyimpan sesuatu di dalam otaknya. Dia telah termakan oleh prinsipnya dan sikap dualismenya. Dia memang tersenyum ketika menjelaskan “rahasianya” kepada kami. Tetapi aku tahu gemuruh badai sedang menerjang kepala, mencabik-cabik hatinya. Dan semua ia tuntaskan dengan sebuah pernyataan “menuruti kemauan ibu”. Ingin aku meludah, tapi aku tak tega. Bagaimana pun ia ayah biologisku. Aku juga tak bisa membayangkan perasaan ibuku sendiri jika ia meludah. Selama ini aku terlihat hormat di mata mereka.
Kenapa aku muak. Pernyataan laki-laki itu adalah bukti bahwa ia congkak. Jika tidak aku tegur malam itu. Tentu dia tak akan pernah mengakui bahwa dirinya bersalah kepada kami, anak-anaknya. Walau ia menepis dengan kedok agama, pengakuan hingga memastikan bahwa warisan tetap berada di tangan anak-anak sahnya. Persetan dengan itu semua! Sekali lagi, bagaimana pun laki-laki itu adalah ayah biologisku. Selesai sudah amarahku dan hari ini amarah itu mengendap menjadi strategi jahat yang bisa aku keluarkan sewaktu-waktu kecuali dia tega membunuhku.

Laki-laki bersalah. Yang hari-harinya berlarut kesedihan. Hari-hari terasa begitu cepat. Jangka tiga minggu akan membuatnya gagap. Pilihannya adalah menyerah pada anak-anaknya yang beringas atau berperang dengan sesuatu yang membuatnya jelas kalah. Ia tak punya pilihan kecuali memilih tetap congkak. Jangan bersedih ayah. Begitulah hidup.