Friday, 28 February 2014

Drawing For Fun



Malam ini adalah pertama kali aku bertemu dengan drawing for fun, mereka-mereka yang tidak mau disebut sebagai sebuah komunitas. Entah kenapa mereka tidak mau disebut sebagai komunitas, padahal mereka telah membuat sebuah pameran seni rupa yang bagiku adalah sebuah pencapaian. Mereka lebih menyukai disebut sebagai proyek kecil-kecilan atas kesenangan mereka menggambar. 

Tidak ada sebuah profile yang mampu mendiskripsikan mereka kecuali kesenangan akan kopi, nongkrong dan nggambar. Bisa jadi berawal dari sebuah kesenangan, bukan hal-hal yang kaku karena norma atau target dari sebuah tujuan, mereka dengan lebih leluasa berkarya tanpa batas

Hal yang mereka lakukan, drawing for fun, saya kira adalah hal yang menarik. Karya seni yang dalam pandangan awam saya cukup kompleks karena membutuhkan sebuah proses yang serius dari konsep hingga penciptaan. Membuat sebuah karya menjadi eksklusif karena bisa jadi hanya orang-orang yang “berpendidikan” atau “gifted” saja yang mampu membuat sebuah karya.  Namun, kawan-kawan drawing for fun, mampu meruntuhkan sisi “eksklusifitas” sebuah karya seni menjadi hal yang murni karena kesenangan belaka. Tetapi bukan berarti karya mereka tidak memiliki makna dan pesan. 

Ketika saya melihat karya mereka, terutama teman-teman saya, saya mendapatkan sebuah gambaran bahwa karya mereka tidak terlepas dari pengalaman hidup dan filosofi yang mereka anut sendiri. Mereka kemudian dengan “kesenangannya” menerjemahkan hal-hal tersebut kedalam sebuah karya seni. Kalau tidak salah ada sekitar 30 karya yang dipamerkan oleh perupa-perupa muda malam itu.

Jika diijinkan saya ingin mengulas secara awam mengenai beberapa karya kawan saya yang dipamerkan malam ini. Saya memberanikan diri untuk mencoba mengulas karya karena karya mereka tidak lepas dari penikmat seni (baca: saya). Bagi saya otoritas mereka terbatas pada proses pembuatan karya seni dan hak cipta atas karya tersebut. Sedangkan saya sebagai penikmat, saya kira sah-sah saja untuk menilai karya tersebut.

Bebas, gue banget, adalah pandangan pertama saya melihat karya-karya mereka.  Saya akan memulai memberikan pendapat mengenai karya salah satu punggawa drawing for fun bernama Udien Aee. Ada tiga karya yang dipamerkan oleh Udien malam ini. Karya pertama, saya melihat sosok seorang Putri, kekasihnya, dengan keinginan-keinginan yang ia ingin dapatkan. Udien seolah mampu menangkap apa yang kekasihnya inginkan lalu diterjemahkan dalam karyanya. 

Udien Aee. Semua Berawal Dari Kecil, Ballpoint on Oncord, 20 cm x 20 cm
Karya kedua dan ketiga menjadi perhatian menarik bagi saya. Lewat kedua karya berjudul “Semua berawal dari kecil” dan “Nada kehidupan”, Udien berfilsafat secara sederhana melalui karyanya. Sebuah simbol “rumah” dalam karya keduanya, bagi Udien mungkin rumah berawal dari kecil. Hal itulah yang bisa saya tangkap ketika melihat karyanya yang kedua.
Udien Aee. Nada Kehidupan. Pencil and Ballpoint on Samson Paper. 20 cm x 20 cm

Karya ketiga berjudul “Nada kehidupan”, seolah Udien ingin menunjukkan bahwa nada kehidupan itu tidaklah selalu merdu tetapi juga pilu. Dari ketiga karya tersebut saya bisa berpendapat bahwa karya yang ditampilkan Udien cukup eksplisit sehingga mudah dipahami. Kita tidak perlu menafsirkan atau mengaitkan simbol untuk mengetahui maksud dari karya seni tersebut. Tetapi sekali lagi, hal tersebut tidak mengurangi arti atau makna dari karya tersebut saya kira. Terlebih saya merasakan “kesenangan” atas karya-karya Udien yang lugas dan jujur. Tanpa melihat deskripsi karya, saya pun bisa menebak bahwa ketigakarya tersebut adalah karya Udien Aee.

Perupa kedua bernama lengkap Ahmad Fauzi Hananta atau ketika dikampus dipanggil dengan Uzaak, padahal adik saya ini kalau di rumah dipanggil Uzy. Dia hanya menampilkan satu karya saja berjudul “Jelita Senja”. Dipoles dengan gaya pop dengan corak distorsi warna-warni nampaknya Uzaak adalah sosok Eutopis, menggambarkan sesosok kekasih dalam nama Jelita Senja. Entah dia si Jelita senja adalah sosok yang riil atau hanya fantasi, karena ketika melihat karya Uzaak ini kita dihentikan pada batas untuk mengetahui sosoknya. Dia bermain dengan simbol perempuan yang kemudian diasosiasikan pada padanan kata Jelita dan Senja. 

Uzaak. Jelita Senja. Ink, Pen, Water Colour in Book Paper. 20 cm x 20 cm
Jelita digambarkannya dengan sosok seorang perempuan berjilbab, mungkin bagi dia jelita itu adalah seorang perempuan berjilbab atau dia menemukan “jelita” dari sosok berjilbab. Senja? Sekali lagi saya menerka, senja mungkin adalah waktu paling galau buat perupa ini. Atau mungkin senja disimbolkan sebagai “waktu pulang”. Dia, Jelita senja, adalah tempat dimana dia akan berpulang. Melankolis sekali kalau demikian.

Satu karya yang menjadi favorit saya malam ini adalah karya perupa bernama Panggih Ismoyo berjudul freedom. Karya yang simbolik dengan goresan realis yang sangat kuat, begitu saya memandangnya. Melihat karyanya, seseorang yang tertunduk murung karena tali yang terputus. Mungkin si perupa ingin menggambarkan bahwa kebebasannya telah terpotong? 
Panggih. Freedoom. Drawing pen on paper. 29.7 cm x 42 cm

Karya kedua Panggih berjudul “Tongue without bones” juga tak kalah seru. Kita kembali diajak untuk membaca simbol-simbol yang ia ciptakan. Pandangan pertama melihat karya ini, lidah tak bertulang itu berbahaya. Chaos!  
 
Panggih. Tongue without bones. Drawing pen, ink in paper. 29.7 cm x 42 cm
Karya terakhir yang ingin saya bahas kali ini berasal dari seorang perupa bernama Iwan bersama karyanya berjudul “Abaikan Cibiran.” Iwan seolah ingin mengajak kita untuk mengabaikan caci-maki dan tetap fokus dengan apa yang kita lakukan. Dalam hal ini Iwan menggambarkan mengenai pemikiran, proses berkeseniannya, dan hal-hal lain yang susah sekali saya baca dalam karyanya. 

Iwan. Abaikan Cibiran. Water colour, ink on paper. 29.7 cm x 21 cm
Demikian ulasan saya mengenai kegiatan bersenang-senang mereka, proyek kecil-kecilan hingga karya yang mereka pamerkan. Pada akhirnya saya hanya berdoa semoga Tuhan memberikan balasan yang setimpal atas kesenangan mereka yang mereka tularkan kepada kami si penikmat kesenangan mereka (baca: karya seni mereka).

Awal dari kebahagiaan adalah kesenangan dan kesenangan mereka itu sederhana. Menggambar di kala selo ditemani rokok dan kopi. 

Namaste!

Friday, 7 February 2014

Cinta Untuk Agnostik



“Some people deserve for love, some people don’t!”

Mengutip sebuah kata-kata kritis yang pernah kubaca, “Buddha tidak memeluk agama Budha. Yesus tidak memeluk agama Katholik. Agama yang mereka peluk adalah cinta.” Bisa dikatakan cinta adalah awal dari segalanya, contohnya adalah agama. Aku kira semua agama basisnya adalah cinta, walau cinta sendiri tidak sesempit hubungan sejoli saja. 

Seperti agama yang percaya akan Tuhan (cinta), ada yang berpegang teguh dan ada orang yang tidak memeluknya sama sekali.  Ada monotheism, polytheism, atheism bahkan agnotheism. Berbicara mengenai cinta sejoli aku adalah seorang agnostik. Mungkin cinta itu ada, tetapi aku tidak memeluknya, bahkan tidak peduli lagi.

“People don’t change one day, they just reveal real them.”

                Kehidupanlah yang membuka tabir akan cinta. Kita tidak pernah tahu kapan datangnya cinta itu. Hanya kehidupanlah yang akan mempertemukan kita dengannya. Berkata percaya, tidak percaya atau tidak peduli lagi bukan berarti orang itu berubah. Keehidupanlah yang menunjukkan mereka untuk percaya atau sebaliknya.

                Aku bertemu dengan cinta ketika aku sudah bersama dengan orang lain. Bukan berarti aku tidak mencintai partner pertamaku. Tetapi aku bertemu dengan cinta sesungguhnya darinya yang datang setelah aku bersama dengan orang lain. 

                Cukuplah cinta untuk cinta. Itulah yang bisa kugambarkan mengenai perasaan yang aku alami waktu itu. Tidak ada pretensi atau ekspektasi walau banyak drama yang kami lakukan. Tetapi drama itu sendiri malah membuka pandanganku lebih luas akan cinta. Sampai akhirnya dia harus pindah ke luar kota dan kami pun semakin jauh. 

                Aku mencoba untuk melupakannya. Banyak cara, tinggal bersama dengan partnerku selama kurang lebih 4 tahun. Menjalin hubungan lainnya, terhitung sudah dua orang yang pernah dekat denganku. Hal yang sia-sia belaka. Pada akhirnya aku jatuh kembali ke dalam pelukannya melalui tulisan, ingatan atau mimpi. Bersama dengan yang lain hanya semakin membuatku berangan-angan seandainya aku bisa bersamanya. Seperti itu, seindah itu.

                Tidak ada yang seperti cintanya…

                Maka sebut saja aku pecundang, bodoh, dungu, pembohong atau pelacur sekalipun. Itulah wajah yang selama ini aku tutupi dengan topengku. 

                Greet me, bless me, the agnostic!

                Seks?

                Ada yang berkata bahwa seks harus diawali dengan cinta. Ada pula yang berkata biarlah seks itu mengalir ketika cinta lahir. Cinta dan seks adalah kesatuan. 

Bagiku sebagai seorang agnostik, aku memandangnya secara berbeda. Kehidupan  menuntunku berjalan ke arah yang berbeda. Seks adalah seks, upaya pemenuhan kebutuhan biologis. Sedangkan cinta adalah sesuatu yang aku yakini ada, tetapi aku tidak peduli akannya. Tak mau memeluknya, karena dia telah hilang walau bukan berarti tidak ada. 

Aku adalah orang yang hilang yang mereka sebut sebagai jalang.

Mungkin memang seperti itu. Membarakan sisi-sisi kebinatangan, dan meredam sisi kemanusiaan.

Untuk mereka yang datang ke kehidupanku akhir-akhir ini. Tentu seharusnya mereka tahu bagaimana aku memandang mereka. Dan seharusnya mereka pun membuka mata, melihatku bukan sebagai topeng, tetapi sebagai aku, agnostik (jalang).

Tuesday, 4 February 2014

SSC Jogja: Berbagi Itu Bukan Berarti Memberi Uang



Matahari sudah kembali ke peraduannya, lampu-lampu kota menyala di sepanjang Jalan Mangkubumi. Waktu itu hujan rintik, saya duduk di depan Indomaret tak jauh dari Stasiun Tugu. Satu per satu kawan-kawan hadir. Hari itu Hari Minggu, kami akan mengadakan #PAKSUTRIS, salah satu agenda turun lapangan dari Save Street Child Jogja. Ada belasan kawan yang datang sore itu, mereka adalah keluarga baruku.
Sudah sekitar setengah tahun saya bergabung dengan sebuah komunitas bernama Save Street Children Jogja atau yang dikenal dengan SSC Jogja. Sebenarnya saya sudah cukup lama mendengar adanya komunitas ini yaitu sekitar tahun 2011 tetapi baru pada pertengahan tahun 2013 bisa bergabung dengan komunitas ini.
Awal cerita, saya bertemu dengan komunitas ini secara langsung di bunderan UGM. Mereka memiliki agenda rutin bernama #PAKSUTRIS (Paket Susu Gratis) tiap minggu sore. Kegiatan ini adalah ruang bagi volunteer untuk saling bertemu dan juga menjadi ruang berbagi kepada adik-adik di jalanan dengan memberi susu secara gratis. 
Kebanyakan volunteer SSC Jogja adalah anak-anak muda yang masih kuliah di Yogyakarta. Saya cukup salut kepada kawan-kawan SSC Jogja yang mau berbagi dengan kaum marjinal di sela-sela kuliah yang cukup padat dan aktivitas lainnya. Ketua SSC Jogja pada waktu itu adalah Arga Aditya seorang mahasiswa ISI Jogja.
SSCJ adalah bagian dari keluarga besar Save Street Children yang saat ini sudah berada di 17 kota di Indonesia. SSC Jogja berdiri pada tanggal 7 Agustus 2011 yang diinisiasi oleh Aris Setyawan yang juga mahassiwa ISI. Awalnya komunitas ini terkenal dengan “ngamen bareng anak-anak jalanan”. Namun semenjak SSC Jogja dinahkodai oleh Arga, SSC Jogja lebih fokus mendampingi anak-anak jalanan untuk belajar baca, tulis dan hitung. Pada waktu itu SSCJ memiliki dua kelas, yaitu Kelas Tegalmojo, Monjali dan Kelas Badran, Jalan Godean.

Menyelami Dunia Anak Jalanan
Pertama kali bergabung saya belajar untuk berinteraksi dengan anak-anak khususnya anak jalanan. Hal tersebut cukup menantang bagiku karena saya belum memiliki pengalaman dengan anak jalanan sebelumnya. Menurutku karakter anak jalanan berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Karakter anak jalanan cenderung lebih eksplisit dan bebas. Hal yang paling mencolok mungkin adalah dandanan mereka. Lihat saja dandanan ala punk dan hip-hop mereka. Kadang saya berpikir darimana mereka memperoleh ide, baju dan aksesoris itu.  Berinteraksi dengan mereka seolah berinteraksi dengan anak yang jauh lebih tua dari umur mereka sesungguhnya.
Pendekatan yang digunakan pun berbeda. Saya banyak belajar dari kawan-kawan SSC Jogja. Misalnya, kita harus menempatkan diri kita sejajar dengan mereka, bukan seperti guru-murid atau kakak-adik tetapi sebagai seorang teman.
Saya masih ingat salah satu usahsaya untuk mendekati mereka. Melihat tren di kalangan adek-adek kami yang serba hardcore dan rapper, saya mulai mendengarkan beberapa musik NOK37, Los Psayaalamos dan band-band hip-hop lokal. Upaysaya berhasil, berbicara dengan bahasan yang mereka tahu mendekatkanku lebih dekat dengan mereka. Bahkan pernah saya diajak untuk nonton konser musik dengan mereka.
Eksperimen lain juga pernah saya lsayakan yaitu menggunakan Bahasa Jawa Kromo ketika berbicara dengan mereka. Hal tersebut saya dapat dari wejangan Mbak Weldy seorang aktivis yang giat bergerilya dijalanan mendampingi anak-anak jalanan. Saya mencoba menggunakan Bahasa Jawa Kromo ketika berbincang dengan adek-adek jalanan. Tutur kata mereka yang biasanya eksplisit berubah menjadi santun. Saya terkejut, siapa bilang mereka liar dan tidak bisa santun.
Sejak saat itu saya mulai belajar untuk lebih memahami karakter dan dunia anak jalanan, khususnya di sekitar Jalan Mangkubumi dan Malioboro. Mendekati anak-anak jalanan tidak bisa menggunakan pendekatan biasa. Kita harus mencoba masuk ke dalam dunia mereka yang sesungguhnya dan mencoba untuk lebih fleksibel merespon hal-hal yang mungkin berbeda dengan kehidupan sehari-hari kita. Kita juga harus menanggalkan sikap judgemental kita kepada mereka. Buang jauh-jauh stigma kita bahwa anak jalanan adalah anak nakal, anak liar dan kriminal. Tetapi bukan berarti kita tidak bisa menentukan sikap jika ada suatu hal yang salah, misal ketika mereka bertutur kata kasar dan perilsaya kasar kita harus mengingatkan mereka bahwa hal tersebut tidak baik.
Menyelami kehidupan anak-anak jalanan memberikanku gambaran mengenai kehidupan mereka. Kadang saya merenung, anak sekecil mereka sudah menghadapi kehidupan jalanan yang bebas dan keras sementara anak-anak kecil seumuran mereka sedang asyik bermain dan belajar. Perilsaya mereka yang bebas membuat mereka dijuluki sebagai “anak nakal”. Apakah itu adil? Hal itulah yang saya sering dengar ketika berdiskusi dengan aparatus negara dan orang-orang yang katanya ahli.
Anak kecil menurutku seperti kertas putih, perilsayanya tercermin dari apa yang dilihat dan dipelajarinya. Mereka semata-mata tidak pantas disalahkan atas karakter yang terbentuk dari pengaruh lingkungannya. Justru mereka sebenarnya adalah korban kekerasan.
Kekerasan yang saya pahami dapat berupa kekerasan verbal, fisik dan struktural. Kekerasan verbal berupa ucapan, makian sedangkan fisik contohnya adalah pemukulan. Hal-hal tersebut saya cermati menjadi hal-hal yang lazim dalam keseharian mereka.
Pernah ketika saya mengajar di Badran bersama kawan-kawan di rumah Bu Waginah, seorang ibu dari adik kami yang tinggal bersama keluarga lain di satu rumah kontrakan. Kami sedang asyik mengobrol dengan adik-adik. Tiba-tiba dari luar rumah masuk seorang suami dan istri. Dari gelagatnya istrinya sedang kesal sementara suaminya berusaha memberikan pengertian dengan mengejarnya ke dalam rumah.
Mereka seolah tidak peduli dengan keberadaan kami. Mereka masuk dari dalam kamar. Dari dalam kamar saya mendengar bantingan dan suara pemukulan. Saya sempat panik berada di tengah kejadian tersebut. Tetapi saya malah terheran-heran melihat adik-adik kami yang masih bisa tertawa dan fokus belajar bersama kakak pengajar.
Dari potret tersebut saya melihat bahwa kekerasan verbal dan fisik adalah hal yang lazim bagi mereka. Bahkan saya pernah mendengar bahwa mereka kadang adalah korban kekerasan itu sendiri. Saya kira hal itulah yang menjadi salah satu faktor yang membentuk karakter mereka.
Bentuk lain dari kekerasan adalah kekerasan struktural. Kekerasan struktural adalah kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah atau sistem. Kemiskinan dan diskriminasi adalah bentuk dari kekerasan struktural karena bersifat sistemik. Adik-adik kami yang tidak punya rumah atau yang tinggal di kawasan kumuh adalah bentuk riil. Bukankah menurut undang-undang adik-adik kami ini dipelihara oleh negara atau dengan kata lain hak-haknya harus dipenuhi negara?
Jadi menurut saya kita harus memandang lebih lebih luas dan dalam mengenai kehidupan anak jalanan. Kita tidak boleh semata menyalahkan mereka tanpa tahu masalah yang sedang mereka hadapi. Mereka bukan orang yang pantas diusir dari kota istimewa ini, mereka justru adalah orang yang perlu kita perjuangkan.

Menatap Masa Depan SSC Jogja
Pernah seorang kawan berkata sebelum membantu orang lain kita harus membantu diri kita terlebih dahulu. Barulah setelah mapan kita bisa membantu orang lain lebih maksimal. Walau ada keraguan dalam diri saya pribadi mengenai mapan dan kapan bisa mapan, tetapi perkataan kawan saya ini ada benarnya.
Pada waktu Arga, ketua SSC Jogja generasi II, masih menjadi Ketua SSC Jogja sebagian besar pekerjaan dan tangung jawab kegiatan SSC Jogja dipegang oleh dia sendiri. Memang sudah ada struktur organisasi yang cukup sederhana seperti bendahara, sekretaris. Tetapi setelah saya dan kawan-kawan berdiskusi kembali mengenai kondisi SSC Jogja saat itu dan untuk kedepan. Kami menilai manajemen organisasi SSC Jogja belum tertata dengan rapi.
Ada beberapa pertimbangan yang kami pikirkan yaitu pertama keberlanjutan SSC Jogja kedepan. Kedua, dependensi kepada satu sosok tidak baik bagi gerakan sosial seperti SSC Jogja. Ketiga, kontribusi SSC Jogja kepada anak-anak jalanan akan lebih maksimal jika bisa melibatkan lebih banyak kawan-kawan. Keempat, arah gerakan SSC Jogja yang belum terkonsepsi dengan baik.
Atas pertimbangan hal-hal tersebut maka untuk pertama kalinya SSC Jogja mengadakan musyawarah anggota dimana kami secara bersama-sama merekontruksi organisasi SSC Jogja agar sesuai dengan kebutuhan dan konteks ruang lingkup gerakan kami.
Hasil dari musyawarah anggota tersebut, kami merumuskan visi SSC Jogja yaitu “Meningkatkan taraf hidup anak jalanan dan anak marjinal.” Taraf hidup bisa dimaknai dengan meningkatnya kesejahteraan anak-anak baik dibidang ekonomi, sosial politik dan budaya. Kini pelan-pelan SSC Jogja merubah sedikit orientasi gerakannya yang pada awalnya hanya berfokus pada pendidikan saja tetapi lebih luas lagi.
Kami juga tidak hanya berfokus pada anak-anak saja tetapi pelan-pelan pandangan kami semakin meluas kepada peran orang tua, lingkungan sekitar bahkan pemerintah. Berbicara mengenai anak jalanan dan permasalahannya tidak bisa dilihat secara parsial. Posisi anak jalanan dalam keluarga dan lingkungan menunjukkan bahwa masalah yang terkait dengan anak jalanan ini tidak bisa dipisahkan dari peran pihak lain.
Sebagai contoh fenomena anak jalanan yang mengamen di jalanan. Kita harus mencoba menggali permasalahan tersebut tidak hanya dari anak jalanan tetapi juga peran orang tua sebagai pengasuh dan peran negara yang menjamin hak-hak anak.
Bisa dikatakan SSC Jogja telah melakukan sebuah reformasi dari gerakan mengajar menjadi gerakan advokasi di bidang pendidikan, ekonomi, sosial politik, kesehatan, dan budaya.
Advokasi pendidikan adalah upaya yang kami lsayakan untuk merespon masalah pendidikan yang kami temukan di lapangan. Kegiatan baca, tulis dan hitung masih kami lsayakan secara rutin. Di sela-sela kegiatan tersebut kami menambahkan tambahan materi seperti kreativitas dan sains. Materi kreativitas seperti membuat kerajinan tangan sedangkan sains berupa eksperimen ilmu pengetahuan alam sederhana. Kami juga melsayakan pendampingan kepada adek-adek kami yang ingin kembali ke sekolah formal atau sekolah informal.
Sejauh tulisan ini dimuat, kami sudah membantu seorang anak bernama Wiwin untuk kembali sekolah di sekolah dasar. Kami juga sedang merencanakan untuk memasukkan satu anak lagi di sekolah yang sama dengan Wiwin. Di sisi lain kami juga mencoba untuk mendekati adik-adik kami yang lain seperti Bagas, Sigit dan Anjar untuk bersekolah di Kejar Paket A.
Di bidang advokasi kesehatan kami berupaya untuk mendampingi anak jalanan ketika mereka membutuhkan bantuan untuk mengakses fasilitas kesehatan dan edukasi kesehatan. Terkait dengan bidang kesehatan kami pernah bekerja sama dengan Bank Sampah untuk memperkenalkan hidup bersih secara sederhana seperti bagaimana kita memandang sampah dan pentingnya mencuci tangan.
Kami juga pernah mendampingi salah satu Ibu adik kami, Bu Waginah, yang harus melsayakan operasi katarak. Kendala biaya menjadi masalah beliau untuk melsayakan operasi. Kawan-kawan SSC Jogja berupaya membantu beliau dengan cara pendampingan akses jaminan kesehatan sosial.
Sedikit demi sedikit SSC Jogja semakin besar saat ini. Jumlah volunteer juga semakin banyak, tercatat sekitar 44 orang bergabung menjadi volunteer SSC Jogja. Kegiatan SSC Jogja pun semakin beragam dan kami juga mulai menjalin kerjasama dengan berbagai pihak yang memiliki isu yang sama.
Kami merasa bahwa SSC Jogja sendiri tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan yang ada di Yogyakarta. Tetapi jika kami berjejaring dengan komunitas atau organisasi yang lain kami bisa bahu membahu untuk sama-sama bergerak. Lebih jauh lagi kami pun bisa mendorong pemerintah secara lebih massive dengan menyuarakan isu yang sama.
Di umur yang mendekati 3 tahun ini kami cukup bersyukur masih bisa menghidupkan SSC Jogja sebagai wadah yang peduli terhadap jalanan.

Bukan Memberi Uang
            Bagi sebagian orang yang mungkin memberi dapat diartikan sebagai memberikan sesuatu kepada orang yang membutuhkan. Contoh yang paling mudah adalah dengan memberikan sedekah (uang) kepada anak jalanan. Memberikan sesuatu kepada yang membutuhkan adalah kewajiban karena dibalik harta yang dimiliki terdapat hak-hak untuk orang lain. Tetapi apakah pemberian itu benar-benar bermanfaat? Atau jangan-jangan ada sisi lain yang tidak pernah kita duga selama ini.
Memberi bisa jadi bukan sebuah solusi yang bersifat berkelanjutan bahkan hal tersebut bisa membuat si penerima uang justru menjadi tergantung dengan pemberian. Mereka yang sebenarnya masih punya daya untuk bekerja akhirnya justru terjebak pada zona nyaman atas pemberian tersebut.
Tidak bisa dipungkiri bahwa anak-anak jalanan butuh uang untuk makan sehari-hari. Tetapi jika kita berpikir kembali mengenai memberikan uang kepada mereka, bagaimanakah sisi kemanfaatan dari pemberian tersebut?
Saya meyakini ada hak mereka atas apa yang saya miliki saat ini. Kepedulian dan perjuangan ini adalah hak mereka, bukan semata sebagian harta yang kita miliki adalah milik mereka. Kadang kita tersibukkan dengan kegiatan kita masing-masing hingga berkata tidak memiliki waktu untuk berkegiatan sosial dan cukup dengan bersedekah saja. Apakah benar demikian? Waktu satu hingga dua jam saja dalam semingu tidak bisa kita luangkan?
Kami memiliki seorang kawan yang berprofesi sebagai auditor. Saya yang saat ini masih berkuliah di Fakultas Ekonomi memiliki sedikit gambaran mengenai salah satu profesi ini. Ditengah kesibukan proyek dan deadline, dia masih mampu meluangkan waktunya berbagi di komunitas SSC Jogja. Kenapa kita tidak bisa?
Kenapa tidak mencoba meluangkan waktu untuk orang-orang disekitar kita. Kadang mereka tidak membutuhkan uang, justru sorang kawan yang memperhatikan mereka. Menjadi pendengar atas keluh mereka dan menjadi bagian keluarga dari kehidupan mereka. Bukankah hal tersebut lebih berarti?
SSC Jogja adalah komunitas yang peduli terhadap permasalahan anak jalanan di Yogyakarta. Peduli yang saya maksud bukan sekedar memberikan uang kepada anak-anak jalanan. Bersama SSC Jogja saya belajar untuk berbagi kehidupan dengan mereka. Layaknya hubungan sesama, kami menganggap mereka sebagai kawan bukan orang yang dianggap lebih rendah sehingga perlu kita bantu. Bukankah sudah selayaknya manusia itu setara dan saling membantu bukan?
Sebenarnya tanpa saya sadari mereka banyak membantu saya untuk lebih bersyukur atas apa yang saya miliki. Mereka juga menunjukkan kepada saya bagaimana arti perjuangan hidup itu. Dari apa yang saya miliki saat ini, tempat tinggal dan berbagai fasilitas mapan lainnya. Saya adalah orang buta jika tidak bisa bersyukur dan hanya berdiam diri melihat masalah jalanan yang nyata.
Peduli terhadap anak jalanan juga kami maknai sebagai ketulusan kami kepada mereka. Sejauh ini kami belum pernah memakai funding sebagai sumber pendanaan kami. Berdasar pengalaman kawan, kadang jika menggunakan funding maka gerakan akan tersetir oleh proposal dan kurang peka dengan konteks lapangan yang kadang berubah dari perencanaan.
Hal yang kami upayakan untuk mendanai kegiatan kami adalah dengan mengumpulkan kertas bekas, botol, baju bekas yang kami jual ke pengepul. Barang-barang tersebut kami peroleh dari donatur-donatur yang mengetahui informasi dari sosial media kami.
Memang kami tidak memiliki kas yang besar bahkan basecamp pun kami tidak punya. Tetapi ada suatu kebanggaan bergabung dengan komunitas ini. Bagiku bergabung dengan SSC Jogja, saya merasakan nafas gerakan sosial yang sesungguhnya.