Malam ini
adalah pertama kali aku bertemu dengan drawing
for fun, mereka-mereka yang tidak mau disebut sebagai sebuah komunitas.
Entah kenapa mereka tidak mau disebut sebagai komunitas, padahal mereka telah
membuat sebuah pameran seni rupa yang bagiku adalah sebuah pencapaian. Mereka lebih
menyukai disebut sebagai proyek kecil-kecilan atas kesenangan mereka
menggambar.
Tidak ada
sebuah profile yang mampu mendiskripsikan mereka kecuali kesenangan akan kopi,
nongkrong dan nggambar. Bisa jadi
berawal dari sebuah kesenangan, bukan hal-hal yang kaku karena norma atau
target dari sebuah tujuan, mereka dengan lebih leluasa berkarya tanpa batas
Hal yang
mereka lakukan, drawing for fun, saya
kira adalah hal yang menarik. Karya seni yang dalam pandangan awam saya cukup
kompleks karena membutuhkan sebuah proses yang serius dari konsep hingga
penciptaan. Membuat sebuah karya menjadi eksklusif karena bisa jadi hanya
orang-orang yang “berpendidikan” atau “gifted”
saja yang mampu membuat sebuah karya.
Namun, kawan-kawan drawing for fun,
mampu meruntuhkan sisi “eksklusifitas” sebuah karya seni menjadi hal yang murni
karena kesenangan belaka. Tetapi bukan berarti karya mereka tidak memiliki
makna dan pesan.
Ketika saya
melihat karya mereka, terutama teman-teman saya, saya mendapatkan sebuah
gambaran bahwa karya mereka tidak terlepas dari pengalaman hidup dan filosofi
yang mereka anut sendiri. Mereka kemudian dengan “kesenangannya” menerjemahkan
hal-hal tersebut kedalam sebuah karya seni. Kalau tidak salah ada sekitar 30
karya yang dipamerkan oleh perupa-perupa muda malam itu.
Jika diijinkan
saya ingin mengulas secara awam mengenai beberapa karya kawan saya yang
dipamerkan malam ini. Saya memberanikan diri untuk mencoba mengulas karya
karena karya mereka tidak lepas dari penikmat seni (baca: saya). Bagi saya
otoritas mereka terbatas pada proses pembuatan karya seni dan hak cipta atas
karya tersebut. Sedangkan saya sebagai penikmat, saya kira sah-sah saja untuk
menilai karya tersebut.
Bebas, gue banget, adalah pandangan pertama
saya melihat karya-karya mereka. Saya
akan memulai memberikan pendapat mengenai karya salah satu punggawa drawing for fun bernama Udien Aee. Ada
tiga karya yang dipamerkan oleh Udien malam ini. Karya pertama, saya melihat
sosok seorang Putri, kekasihnya, dengan keinginan-keinginan yang ia ingin dapatkan.
Udien seolah mampu menangkap apa yang kekasihnya inginkan lalu diterjemahkan
dalam karyanya.
Udien Aee. Semua Berawal Dari Kecil, Ballpoint on Oncord, 20 cm x 20 cm |
Karya kedua
dan ketiga menjadi perhatian menarik bagi saya. Lewat kedua karya berjudul
“Semua berawal dari kecil” dan “Nada kehidupan”, Udien berfilsafat secara
sederhana melalui karyanya. Sebuah simbol “rumah” dalam karya keduanya, bagi
Udien mungkin rumah berawal dari kecil. Hal itulah yang bisa saya tangkap
ketika melihat karyanya yang kedua.
Udien Aee. Nada Kehidupan. Pencil and Ballpoint on Samson Paper. 20 cm x 20 cm |
Karya ketiga
berjudul “Nada kehidupan”, seolah Udien ingin menunjukkan bahwa nada kehidupan
itu tidaklah selalu merdu tetapi juga pilu. Dari ketiga karya tersebut saya
bisa berpendapat bahwa karya yang ditampilkan Udien cukup eksplisit sehingga
mudah dipahami. Kita tidak perlu menafsirkan atau mengaitkan simbol untuk
mengetahui maksud dari karya seni tersebut. Tetapi sekali lagi, hal tersebut
tidak mengurangi arti atau makna dari karya tersebut saya kira. Terlebih saya
merasakan “kesenangan” atas karya-karya Udien yang lugas dan jujur. Tanpa
melihat deskripsi karya, saya pun bisa menebak bahwa ketigakarya tersebut
adalah karya Udien Aee.
Perupa kedua
bernama lengkap Ahmad Fauzi Hananta atau ketika dikampus dipanggil dengan
Uzaak, padahal adik saya ini kalau di rumah dipanggil Uzy. Dia hanya
menampilkan satu karya saja berjudul “Jelita Senja”. Dipoles dengan gaya pop
dengan corak distorsi warna-warni nampaknya Uzaak adalah sosok Eutopis,
menggambarkan sesosok kekasih dalam nama Jelita Senja. Entah dia si Jelita
senja adalah sosok yang riil atau hanya fantasi, karena ketika melihat karya
Uzaak ini kita dihentikan pada batas untuk mengetahui sosoknya. Dia bermain
dengan simbol perempuan yang kemudian diasosiasikan pada padanan kata Jelita
dan Senja.
Uzaak. Jelita Senja. Ink, Pen, Water Colour in Book Paper. 20 cm x 20 cm |
Jelita
digambarkannya dengan sosok seorang perempuan berjilbab, mungkin bagi dia
jelita itu adalah seorang perempuan berjilbab atau dia menemukan “jelita” dari
sosok berjilbab. Senja? Sekali lagi saya menerka, senja mungkin adalah waktu
paling galau buat perupa ini. Atau mungkin senja disimbolkan sebagai “waktu
pulang”. Dia, Jelita senja, adalah tempat dimana dia akan berpulang. Melankolis
sekali kalau demikian.
Satu karya
yang menjadi favorit saya malam ini adalah karya perupa bernama Panggih Ismoyo
berjudul freedom. Karya yang simbolik dengan goresan realis yang sangat kuat,
begitu saya memandangnya. Melihat karyanya, seseorang yang tertunduk murung karena
tali yang terputus. Mungkin si perupa ingin menggambarkan bahwa kebebasannya
telah terpotong?
Panggih. Freedoom. Drawing pen on paper. 29.7 cm x 42 cm |
Karya kedua
Panggih berjudul “Tongue without bones”
juga tak kalah seru. Kita kembali diajak untuk membaca simbol-simbol yang ia
ciptakan. Pandangan pertama melihat karya ini, lidah tak bertulang itu
berbahaya. Chaos!
Karya terakhir
yang ingin saya bahas kali ini berasal dari seorang perupa bernama Iwan bersama
karyanya berjudul “Abaikan Cibiran.” Iwan seolah ingin mengajak kita untuk
mengabaikan caci-maki dan tetap fokus dengan apa yang kita lakukan. Dalam hal
ini Iwan menggambarkan mengenai pemikiran, proses berkeseniannya, dan hal-hal
lain yang susah sekali saya baca dalam karyanya.
Iwan. Abaikan Cibiran. Water colour, ink on paper. 29.7 cm x 21 cm |
Demikian
ulasan saya mengenai kegiatan bersenang-senang mereka, proyek kecil-kecilan
hingga karya yang mereka pamerkan. Pada akhirnya saya hanya berdoa semoga Tuhan
memberikan balasan yang setimpal atas kesenangan mereka yang mereka tularkan
kepada kami si penikmat kesenangan mereka (baca: karya seni mereka).
Awal dari
kebahagiaan adalah kesenangan dan kesenangan mereka itu sederhana. Menggambar
di kala selo ditemani rokok dan kopi.
Namaste!
No comments:
Post a Comment