Thursday, 17 April 2014

Surat Untuk Kekasih #1



Untuk Sayangku,
Saat ini aku masih mencari berbagai alasan untuk tetap peduli kepadamu. Seperti ketika mencari sebuah alasan untuk ikut merayakan ulang tahunmu. Apakah kamu percaya bahwa setiap tindakan kita harus didasari oleh sebuah alasan? Atau kadang kita hanya mengikuti intuisi atau dalam bahasa melankolimu kau sebuat sebagai kata hati?
Jika demikian, seberapa pentingkah kesadaran itu? Alasan dibalik sebuah tindakan adalah nyawa dari kesadaran. Kalau saja aku ikut merayakan ulang tahunmu tanpa sebuah alasan pasti maka aku berada dalam ketidaksadaran. Aku curiga jangan-jangan kau telah membiusku dengan cintamu. Sekali lagi.
Aku belum tahu secara pasti kapan aku akan menemuimu, tetapi aku sudah merencanakan sebuah perjalanan pribadiku ketika aku berkunjung ke kotamu. Kita tidak perlu berdiskusi untuk mengkompromikan agenda kita karena bagaimanapun juga aku harus tunduk oleh kegiatanmu yang berjubel. Perjalanan pribadi adalah upayaku untuk menunggu waktu senggangmu. Apakah aku terdengar sangat menyedihkan?
Tapi aku cukup bersyukur karena aku bertindak tanpa suatu alasan. Melupakan sisi rasional seorang manusia. Tak perlu bersedih untuk suatu hal yang tak kita sadari.
Rencananya aku ingin naik Gunung Gede. Bukan puncak yang ingin kutaklukan, tetapi aku ingin pergi ke Lembah Mandalawangi. Bukan karena puisi atau bunga edelweis. Dari namanya justru aku terpikat daya magisnya. Banyak yang mengatakan bahwa lembah itu sangat sunyi dan dingin. Jika diperumpamakan, maka hal itu mungkin mirip dengan hatimu kepadaku.
Ketika banyak orang terpikat oleh kehangatan jiwa dari hati, maka sebaliknya aku menemukan keindahanmu dari dingin dan sepinya jiwamu kepadaku.
Pendakian Gunung Gede sangatlah repot. Bisa dikatakan pendakian ini adalah pendakian terumit sepanjang pendakianku selama ini. Banyak sekali peraturan yang harus aku patuhi, termasuk minimal jumlah pendaki adalah 3 orang. Peraturan itu memupuskan harapanku untuk melakukan honeymoon bersamamu disana. Kau tahu kenapa aku ingin mengajakmu kesana? Karena aku ingin kau tahu betapa dinginnya hatimu kepadaku dan betapa indahnya hal itu.
Beberapa hari lagi kau akan merayakan ulang tahunmu. Aku masih kebingungan untuk membeli sebuah kado spesial untukmu. Bagaimana jika kutawarkan kehadiranku sebagai kado untukmu? Aku kira dirimu akan muntah jika aku menawarkannya kepadamu.
Karenanya aku berpikir beberapa kali tentang buku, jam tangan, atau hanya bunga. Mana diantara hal itu yang lebih berkesan. Jika diperbolehkan berpendapat, aku ingin menghadiahkan dirimu suatu hal yang tak bisa terbeli. Atau suatu hal yang tak bisa diikat oleh mata uang. Jika demikian maka kado bukan bingkisan dengan sampul meriah bukan?
Sekarang kamu tahu kenapa aku berpikir keras memikirkan hal itu.
Sepertinya aku berpikir terlalu jauh mengenai sebuah kado. Aku baru sadar bahwa aku lupa berapa umurmu saat ini. 21, 22 atau 23 tahun? Deretan angka yang diukur oleh waktu.
Saat ini mungkin dirimu tidak terlalu khawatir dengan umur, tetapi aku kira kau akan memikirkannya lebih ketika kau sudah lebih tua. Akhir-akhir ini kita banyak tertarik oleh bahasan kematian. Sepertinya itu bermula dariku.
Waktu dan kematian adalah suatu konteks yang berbeda, begitu juga dengan umur dan tua. Waktu adalah sebuah dimensi diantara ruang. Umur, aku kira waktu menjadi dasar penilaiannya. Sementara tua adalah sebuah proses degenerasi organ-organ. Seperti keriput yang mulai terlihat dikeningmu akibat radikal bebas yang mengerogoti sel-sel DNA-mu.
Apakah hal itu tidak berkaitan sama sekali? Aku tidak pernah mengatakan hal itu tidak berkaitan, tetapi aku ingin kau memahami sebuah konteksnya. Pahamilah bahwa umur bukanlah satu-satunya penentu kematian.
Aku ingin mengutip sebuah pepatah latin untuk menjelaskan kematian kepadamu:
Nascentes morimur (From the moment we are born, we begin to die)
Apa artinya kehidupan selain permulaan akan sebuah kematian. Seperti kehidupan, kematian mungkin adalah sebuah proses yang nantinya akan membawa kita pada titik akhir. Mari sama-sama melihat kamus bahwa antonim dari kehidupan adalah kematian. Ia layaknya sebuah keping uang kan?
Aku banyak membaca artikel yang dibuat oleh ilmuwan mengenai kematian. Mereka ingin mengetahui kematian bukan dari sisi takdir tetapi sisi keilmuwan. Sejauh ini mereka belum tahu secara pasti karena kematian bukan semata-mata hilangnya fungsi organ tubuh dan panca indra. Kematian juga menghilangkan nyawa, suatu hal yang saat ini belum diketahui dimanakah ia berada di dalam tubuh manusia. Kematian menyisakan sebuah misteri besar bagi para ilmuwan, manusia dan aku sendiri.
Kadang aku terheran-heran, dibalik misteri kematian. Ada saja ilmuwan yang berpikir akan keabadian. Memang zaman ini adalah zaman dimana kita harus bervisi. Merencanakan masa depan dari masa depan. Tetapi apakah hal itu tidak terlalu jauh? Apalagi dari teori-teori penciptaan alam semesta kita dibuat sadar akan sisi transendensi dari manusia.
Sebuah misteri besar yang kita sebut sebagai transenden. Seperti pertanyaan akan kehidupan setelah kematian. Jika saja aku tahu kebenarannya, mungkin aku tidak pantas untuk takut oleh kematian. Kau jangan tertawa jika aku yang membangga-banggakan mati muda sebenarnya takut akan kematian.
Kuberikan kau kutipan dari Seneca:
Non mortem timemus, sed cogitationem mortis
(We do not fear death, but the thought of death)
Kuharap kau memahami asal muasal ketakutanku pada kematian. Sesungguhnya yang aku takutkan akan kematian adalah pikiran mengenai hal itu. Suatu misteri yang belum terjawab oleh satu orang manusia pun di dunia ini. Tentang rasa kematian, tentang setelah kematian. Aku tak mampu membohongi sisi manusiawiku.
Kematian ada di depan kita. Itu nyata. Mati muda atau mati tua? Tetap saja itu kematian.
Sepertinya kita sekarang mulai sepaham bahwa saat ini kita sedang berada dalam sebuah alur menuju kematian. Jika diperbolehkan aku ingin menamakan proses itu sebagai kehidupan.
Kau adalah bagian dari proses kematianku. Dibalik pikiran-pikiran yang menyeramkan, aku menikmati delusi yang kau tawarkan. Begitu indah ketika aku mengingat memori kita naik gunung atau camping di pantai. Entah bagaimana kau bisa membuat proses menuju kematian ini sangat menyenangkan. Kau kadang membuatku lupa akan hal-hal seram dibalik kematian. Apakah kau juga merasa demikian?
Aku minta maaf sepertinya kita terlalu jauh. Sebaiknya kita kembali pada ulang tahunmu saja. Dua minggu lagi umurmu akan bertambah begitu juga kau akan semakin tua. Aku tidak akan mengejekmu karena ketuanmu. Aku kira dibalik itu semua banyak hal yang telah kau peroleh dan kau manifestasikan ke dalam pikiranmu. Dirimu yang dulu tentu saja berbeda dengan dirimu yang sekarang. Sekarang ketahuilah bahwa manusia itu berubah. Masih ingat kita pernah mendebatkan hal ini dulu?
Nanti aku akan membahas mengenai perubahan dalam suratku yang mendatang. Kau hanya perlu menunggu karena disana ada sepucuk rindu.
Satu lagi, aku jengkel ketika kau selalu bertanya apa yang harus kau lakukan menghadapi masalah-masalah yang kau hadapi. Bukannya tidak ingin menjadi pendengar atas keluh kesahmu, aku hanya takut kau menjadi buta. Aku selalu membaca analisis yang kau gambarkan atas masalah yang kau hadapi. Pemikiranmu saat ini seharusnya mampu menunjukkan solusinya. Terbukti, tanpa saran-saranku kau tahu sendiri apa yang harus kau lakukan.
Kebutaan terjadi ketika kau tahu apa yang harus kau lakukan tetapi kau tidak melakukannya. Tentu ada banyak hal yang melatarbelakanginya, kau tahu akan hal itu. Disitulah aku khawatir. Bagiku kebutaan adalah ketidakmampuan orang melihat suatu hal yang benar-benar jelas atau ketidakmampuan melihat karena kebutaan itu sendiri.
Cukup dulu untuk saat ini. Terima kasih sudah melabeliku dengan kata cerewet. Ketahuilah ini semata-mata untukmu. Seseorang yang membuatku merasa nyaman dan damai menuju kematian.

Salam

Beaver


Friday, 11 April 2014

Cinta Untuk Agnostik: Garis



Panggil namaku Garis. Aku beranjak seperti remaja lelaki pada umumnya, bermain bola, musik dan aktif di organisasi sekolah di SMA. Dari luar aku nampak sama seperti mereka, tetapi dari dalam aku merasa berbeda. Hari ini adalah hari keempat setelah ulang tahunku yang ketujuh belas. Seharusnya aku merasa bangga dan lebih percaya diri karena telah menempuh akhir baliq. Sebuah batas antara garis tipis dan tebal seperti hal yang memberdakan antara anak-anak dan dewasa. Tetapi justru dalam lubuk hati, aku merasa bahwa diriku adalah seorang pembelok.
Iman sebagai penuntun, roboh tepat tiga hari setelah ulang tahunku. Aku bertemu dengan seseorang dari chat di Jack’D, namanya Dedi seorang mahasiswa Fakultas Hukum UGM. Awalnya kami hanya berbincang melalui aplikasi tersebut. Dia adalah orang yang menarik, kami sering curhat mengenai kehidupan kami masing-masing. Sampai ketika hari ulang tahunku tiba, dia mengajakku untuk merayakannya.
Pada awalnya aku takut untuk memenuhi ajakannya karena aku belum pernah bertemu dengan satu orang pun dari aplikasi chat tersebut. Entah bagaimana kepercayaan itu terbangun, aku mengiyakan ajakannya.
Saat itu pukul 4 sore, aku masih mengenakan seragam SMA ketika menunggunya di depan Warung Steak. Hatiku berdegup kencang, aku tidak bisa membayangkan jika dia menipuku atau yang lebih parah menjebakku. Ketakutan itu melayang kemana-mana hingga pupus seketika aku melihat kedatangannya dari arah timur. Dia yang kukenal sebatas foto kini perlahan mendekatiku.
Senyum manis, lebih manis dari foto editan yang dia pasang di profilenya. Ternyata realitas lebih indah dari maya. Malu-malu aku membalas senyumannya. Senyum adalah bahasa pertama yang kami gunakan, bukan bahasa verbal atau gerak tubuh. Aku mengatakannya sebagai bahasa rasa. Bahasa yang asalnya dari hati.
Usai berjabat tangan dan berkenalan secara nyata kami segera masuk dan memesan makanan. Kami duduk di meja tengah diantara manusia-manusia lain di ruangan ini. Kami adalah pusat dari keramaian, seperti matahari di antara deretan planet yang kita huni.
“Selamat ulang tahun!” Ucapnya membuka pembicaraan.
“Terima kasih mas.” Jawabku gugup. Degup jantungku berdetak tak normal, aku gugup. Biasanya kalau chat di Jack’D aku lebih santai dan terbuka.
“Ini ulang tahun ke 17 ya? Apa harapanmu di umurmu yang spesial ini? Tanyanya.
“Pengennya sih bisa masuk UGM.” Jawabku malu-malu.
“Wow, keren sekali. Mau masuk jurusan apa?” Tanyanya lagi. Dia terlihat antusias.
“Kalau bisa sih akuntansi mas.” Jawabku. Tanpa aku sadari aku sedang memainkan garpu yang ada diatas meja.
Dengan lembut dia memegang  tanganku yang sedang memainkan garpu karena gugup. “Belajar yang rajin ya. Aku yakin kamu pasti bisa masuk UGM.” Katanya.
Aku menegakkan kepalaku , perlahan menatap wajahnya yang tersenyum hangat. Aku tidak bisa berbicara apa-apa. Ada hawa hangat yang menjalar dari tangannya hingga kepalaku. Membuka mataku lebar-lebar bahwa ini bukan mimpi.
Selesai makan kami pergi ke kos Dedi tak jauh dari tempat kami makan tadi. Kos nya terletak di belakang rumah pemilik kos yang memiliki kebun asri. Pertama kali aku melihat kamar kosnya aku takjub dengan koleksi buku-buku yang berjejer rapi di rak yang terpajang di tembok kamarnya. Jas almamater coklat goni tergantung dibelakang pintu. Cocard kepanitiaan sengaja digantung dengan paku di tembok seolah itu adalah medali pencapain. Inikah kehidupan seorang mahasiswa tanyaku dalam hati.  
Dedi mengambil sesuatu dari meja belajarnya. Sebuah bingkisan yang disampul dengan kertas warna merah bercorak ornamen emas.
“Ini buat kamu. Buka aja!” Katanya.
Aku menerima bingkisan itu dan membuka bingkisannya pelan-pelan. Ternyata itu adalah sebuah buku berjudul “Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran”.
“Soe Hok Gie?” Aku bertanya.
“Seorang aktivis tahun 60-an. Mahasiswa Sastra Indonesia yang menjadi salah satu manusia besar yang dimiliki oleh bangsa ini. Bukunya inspiratif, aku kira bagus kalau kamu baca buku ini.” Jawabnya paparnya.
“Terima kasih mas.” Aku menatap buku itu penuh arti.
Kami mulai berbincang panjang lebar hingga lupa akan waktu. Aku merasakan kenyamanan bersama dengannya. Dia adalah orang pertama dimana aku bisa berbicara tentang apa saja tanpa rasa takut.
Matahari perlahan terbenam, warna jingga sore berubah menjadi gelap. Betapa syahdu sore itu ditemani olehnya dan kopi. Dia beranjak lalu menutup pintu kosnya. Akhirnya hal itu terjadi. Untuk pertama kalinya.  

***
Aku duduk bersimpuh di dalam masjid meratapi betapa rapuhnya imanku. Aku bertanya-tanya kepada Dia, maha pembolak-balik hati. Kenapa dia memberikanku sebuah cobaan yang teramat besar, bukan kemiskinan, bukan ujian lain kecuali menyukai laki-laki. Aku merasa kotor.
Handphone dalam saku celana kembali bergetar, mengalihkan kekhusukanku dalam doa. Aku bisa menebak dari siapa pesan singkat itu berasal. Sejak pagi tadi dia mengirimkan sms kepadaku, mengucapkan selamat pagi dan menanyakan kabarku. Aku sengaja belum membalasnya, mencoba mencerna apa yang aku gundahkan saat ini.
Jika kemarin adalah dosa, Ini bukan salahnya karena tak ada paksaan dan tipu daya. Tentu juga bukan salah-Nya karena hanya dialah yang Maha Benar. Lalu apakah ini semua salahku?
Kepala ini berat sekali rasanya hingga hanya bisa tertunduk. Aku tak ingin menjadi bagian dari kaum yang sombong dan melebihi batas. Tak hal lainselain berserah diri dan memohon petunjuk.
Aku berjalan menuju serambi masjid. Angin semilir mengayun damai memberikan kesegaran, suatu pertanda bahwa Dia masih memberikan rahmat walau untuk seorang pendosa sepertiku. Kulihat teman-temanku duduk-duduk bercanda. Ada pula teman-teman yang girang bermain voli di lapangan. Aku bergabung bersama teman-teman, mencoba melupakan gundah sejenak.
Sudah tiga tahun lamanya aku bersekolah, sebentar lagi aku akan segera meninggalkan sekolah ini untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Banyak sekali kenangan yang terpahat disini, sepertinya akan berat meninggalkan tempat ini.
Tiba-tiba seorang teman membangunkanku dari lamunan, tangannya lembut memegang pundakku dari belakang. Pandanganku teralih kepadanya, dia duduk di sampingku.
“Kok antum diem, tumben.” Celetuknya, seolah dia mengamatiku sejak tadi.
“Ah, biasa aja Don.” Aku membalas menepuk bahu Doni.
“Pasti galau mikirin UM-UGM.” Dia menerka.
“Hahaha…” Aku tertawa kecut.
“Manusia kan cuma bisa berikhtiar, setelah itu kan bertawakal. Biar tahu bahwa manusia itu punya batas dan ada Allah SWT di atas.” Jawabnya bijak sembari menunjuk jarinya ke langit.
“Ketua rohis itu kalau ngomong penuh makna ya.”
“Eh antum selepas dari SMA mau terus liqo ngga?” Tanyanya.
Pertanyaan spontan yang menjurus. Seolah aku bisa menebak kemana perbincangan kami akan tertuju.
“Insyallah, akh.” Jawabku. Menurut agamaku insyallah berarti jika Allah SWT menghendaki namun kali ini dalam lubuk hati, aku mengartikannya sebagai kebimbangan antara ya dan tidak.
“Tetep istiqomah, akh.” Doni mengingatkanku. Tangannya menepuk bahuku dengan keyakinan.
Tidak terasa sore telah berada di ujung horison barat menanti datangnya bulan dan bintang dari timur. Satu per satu teman pergi meninggalkan masjid dan suasana perlahan menjadi sepi. Aku mengikuti berlalunya ramai, pulang bersama teman-teman. Kami berpisah di parkiran sepeda motor di samping sekolah.
Kurogoh handphoneku dalam saku celana. Sebuah ikon sms terpampang besar memenuhi isi layar, dibawahnya tertulis nama Dedi. Sebuah pesan yang singkat:
Makan bareng jam 7?
Pesan ini adalah pesan ketiga yang dia kirim hari ini. Pesan yang dikirim pukul 3 sore tadi. Ada sedikit keraguan untuk membalas pesan singkat yang dia kirimkan. Namun aku akan merasa bersalah jika tiba-tiba diam dan pergi tanpa sebuah alasan yang pantas ia tahu. Aku sejenak merenung, menanggalkan kembali helm yang telah aku pakai.
Mamandang lepas ke atas, langit semburat jingga bercampur biru yang menawan. Tenang dan damai, begitu aku merasakannya. Ciptaan yang luar biasa atas kehendak-Nya. Aku berkata dalam hati, jika pertemuanku dengannya adalah kehendak-Nya, maka terjadilah. Jika saja ini adalah jalan untukku untuk mengetahui hakikat hidupku, maka kembalikanlah aku pada waktunya nanti. Hanya nama-Mu yang kurapal dalam doa.
Kupegang handphone ku dengan erat di tengah kecamuk keraguan. Kubuka pesan darinya, lalu kutekan tombol balas. Pesan singkat segera aku kirimkan kepadanya.
“Oke mas, ketemu di kosmu jam 7 ya.”

***
Pagi yang awalnya tenang, seketika berubah ketika ibuku teriak-teriak setelah membaca namaku terpampang di kolom Penerimaan Mahasiswa Baru UGM di Koran Kedaulatan Rakyat. Satu per satu anggota keluarga dari kakek, bapak hingga adik dipanggil satu-satu. Tetangga yang mendengar gaduh bungah dari ibu juga turut ingin tahu apa gerangan.
Aku berada diantara bahagia setengah mati dan malu luar biasa. Entah seperti apa raut mukaku saat ini, campur-campur bak gado-gado. Kuambil koran yang sejak tadi silih ganti berada di tangan keluarga dan tetanggaku. Kuamati dengan seksama, namaku tercetak dengan benar beserta nomor peserta ujian yang tertera dibelakangnya. Kulihat dikolom paling kanan, jurusan dimana aku diterima. Aku terhenyak sejenak, lalu kutatap ibuku. Sepertinya ibuku tidak terlalu memperhatikan dimana aku diterima, dia terlanjur girang membaca namaku terpampang di halaman Penerimaan Mahasiswa Baru UGM.
Pelan-pelan aku mendekati ibuku, mencoba menyela kegembiraannya.
“Bu….” Sapaku dengan hormat setengah takut.
“Gimana nak?” Mata Ibu berbinar, tersenyum selebar 10 cm layaknya pramugari yang menyambut para penumpang.
“Bu, saya nggak di terima di Akuntansi lho, tapi di Fakultas Hukum.” Lirih aku bersuara. Semua terhenyak, aku menjadi pusat dari semua mata-mata serius yang menatapku tajam.
“Di UGM kan nak?” Tanya Bapakku. Aku tak berkata hanya mengangguk.
“Yeeeey……!” Semua bersorak kembali. Seolah jurusan bukan menjadi hal yang penting. Bagi mereka masuk UGM lebih penting daripada jurusan yang dipilih.
Hari itu menjadi hari yang penting dan berarti bagi diriku tetapi juga keluargaku. Aku adalah orang pertama dari anggota keluarga yang bisa belajar di UGM, bahkan menjadi orang pertama di kampung yang bisa melanjutkan studi di salah satu perguruan tinggi favorit di Indonesia ini. Sekali lagi aku menunjukkan kepada mereka betapa lurus hidupku. Hidup yang mereka yakini benar.
Masa-masa awal perkuliahan diawali dengan Ospek yang membuatku dan keluargaku kelabakan memenuhi syarat yang diwajibkan oleh senior. Katanya mahasiswa adalah kaum intelektual, namun kenapa mereka membuat kegiatan semacam ospek kampus yang bagiku tidak mendasar dan manusiawi untuk memperlakukan anak-anak berumur 18 tahun sepertiku. Bayangkan saja membuat tas dari kantung gandum hingga topi kertas yang bagiku mirip seperti topi Peterpan dalam dunia dongeng. Sama sekali tak ada sisi intelektualitasnya bagiku.
Sebagai mahasiswa baru, aku mencoba menyesuaikan diri dengan rutinitas kampus. Pelan-pelan aku mulai menikmati ritme menjadi seorang mahasiswa. Maksudku seorang mahasiswa yang tidak hanya kuliah saja.
Siang itu aku dan temanku mampir di sekretariat organisasi yang kebanyakan laki-laki, atau dalam bahasa mereka disebut ikhwan, berjenggot tipis serta ada dua tanda hitam dijidat mereka. Mereka menyambut kami dengan ramah serta banyak berbincang lebar mengenai perkuliahan dan kegiatan yang dilakukan oleh Keluarga Mahasiswa Muslim Fakultas Hukum (KMMFH).
Mataku menelisik isi sekretariat yang ditata dengan rapi. Banyak sekali buku-buku tebal berjejer rapi di rak-rak yang berada di pojok ruangan. Mungkin inilah salah satu perbedaan sekretariat seorang mahasiswa dan siswa. Berbeda dengan sekretariat organisasi lain, tak ada foto yang terpajang di tembok KMMFH ini. Hal itu membuat ruangan terkesan sederhana dan lebih luas, jauh dari semwawut narsistik aktivis mahasiswa.
Iseng aku bertanya kepada senior mengenai hal tersebut, katanya foto tidak baik untuk dipajang di ruang publik seperti ruang ini. Takut auratnya tersibak dia terkekeh. Aku sempat terkagum-kagum dengan jawabannya. Setelah menjawab pertanyaanku, kakak ini mengambil sebuah album foto diantara deretan buku tebal di rak.
Kubuka buku album itu halaman demi halaman. Kebanyakan foto dipenuhi dengan foto laki-laki, minim sekali foto perempuan. Pandanganku tiba-tiba terhenti pada sesosok orang yang sepertinya aku kenal dekat. Seseorang, hanya seorang, dimana aku bisa berbicara mengenai sisi lain dari hidupku yang tabu. Sudah lama aku tidak berkomunikasi dengannya, bukankah saat ini kita satu kampus?
“Apa kabarmu Dedi?”
***
Aku berhadapan dengan pintu yang dicat coklat muda mengkilat. Tertempel stiker-stiker berbau provokatif ciri khas kamar seorang aktivis yang menggebu-gebu. Aku mengetuk pintu itu selama tiga kali tetapi tidak ada respon sama sekali dari empunya kamar. Kamar-kamar kos yang berjejer juga terlihat sepi sehingga tidak ada orang yang bisa aku tanyai. Lengang sekali siang ini.
Kubaca pesan yang tersimpan dalam handphoneku. Aku tidak salah, seharusnya aku bertemu dengannya pukul 1 siang di kosnya. Kuputuskan untuk menelponnya. Rasa cemas muncul ketika nada telpon panjang harus diakhiri oleh suara operator bukan jawaban darinya. Hampir saja aku pergi meninggalkan kos-kosan itu ketika dia tiba-tiba datang dari arah parkiran motor yang terletak di depan. Dedi akhirnya muncul juga.
Hal pertama yang aku lihat darinya adalah senyumannya. Senyuman sama yang aku lihat ketika pertama kali bertemu dengannya. Senyuman yang mampu membuat rasa cemasku runtuh dan membuat mulutku ketir untuk berkata-kata.
Dedi segera membereskan buku-buku yang berserakan di lantai kamar. Sepertinya dia tidak terlalu peduli dengan keadaan kamarnya akhir-akhir ini. Aku duduk di lantai sembari melihatnya merapikan kamarnya secepat dan semampunya.
“Wuih…” Keluhnya, seolah lelah akan suatu hal.
“Mau kopi?” Tanyanya. Aku mengangguk, tanpa kontrol sepenuhnya dariku. Kopi, sesuatu yang jarang sekali aku minum. Biasanya minuman ini aku temui ketika ronda di kampung, itupun aku hanya melihat ketika bapak-bapak yang turut jaga minum.
“Gula?” Tanyanya lagi.
“Iya mas.” Jawabku spontan. Tak bisa kubayangkan bagaimana menikmati kopi yang rasanya  pahit.
Dua cangkir kopi tersaji, kepulan uap terlihat lalu lenyap di telan udara kamar. Seolah itu pertanda bahwa aku harus tinggal lebih lama disini, mengobrol dengannya. Bukankah ketika kami bertemu biasanya lebih dari sejam-dua jam?  Dia menyalakan rokok kreteknya lalu mengoceh, kata seorang ahli kopi merokok dapat merusak kenikmatan dari kopi. Tetapi persetan dengan omongan si ahli ,baginya kopi dan rokok adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Jika dipisahkan maka tidak akan lengkap.
Ketika rokok telah dijepitnya diantara jari tengah dan telunjuk, dia terlihat begitu lepas. Apapun dia obrolkan mulai dari apa yang dia lakukan hari ini, kekonyolan yang dia alami hingga folosofi hidup yang dia pegang. Hal terakhir adalah candu yang membuatku terasa jauh dari realitas. Kadang aku tidak mengerti yang dia omongkan, namun bagiku caranya berbicara dan aura yang terpancar sudah lebih dari cukup.
Susah sekali mengimbangi perbincangannya. Satu-satunya kesempatanku untuk berbicara adalah ketika dia terdiam, menghela nafas panjang. Seolah sedang melepaskan kepenatan yang menjadi bebannya.
“Mas….” Panggilku lirih. Dia menoleh kearahku. Lagi-lagi senyum itu terpancar, lama-lama aku benci jika tak melihatnya.   
“Kok aku nggak pernah lihat kamu di kampus ya? Kan sekarang kita satu kampus.” Tanyaku.
“Hmm…kemari.” Dia tak menjawab pertanyaanku, justru memintaku untuk duduk lebih dekat dengannya.
Dibukanya lengannya menyerahkan dadanya yang bidang untukku bersandar. Kujatuhkan saja kepalaku kedadanya, menyerah tanpa syarat. Dielus-elusnya kepalaku dengan tangannya yang magis, membuatku terjatuh lebih oleh candunya. Kupeluk dia semakin erat hingga kurasakan tiap degup jantungnya.
Tanpa aku sadari diriku sudah tertindih oleh tubuhnya, pakaianku pun terlucuti tanpa perlawanan. Kutemukan sebuah dunia tanpa jeratan, tanpa belenggu ini dan itu. Dunia tak beruang dan berwaktu, yang ada hanya aku dan dia. Dalam dunia tak sadar ini aku menjadi bukan aku dalam realitas. Aku adalah jelmaan dari sisi lain diriku yang bangkit dari jiwa-jiwa bebas yang dijerat oleh darma-darma.
Sayang sudah takdirku untuk kembali ke dalam alam sadar realitas setelah kami kelelahan menikmati candu. Kutatap matanya yang bersinar dalam remang, pandangan penuh arti. Ingin sekali lagi aku mengajaknya memasuki dunia candu itu, namun dengan halus dia menolaknya dengan dekapan erat. 
Aku terperanjat dan melepas pelukanku darinya ketika suara adzan berkumandang lirih memasuki celah-celah kecil ventilasi. Aku segera bangkit dan meraih bajuku yang berserakan di lantai. Dia sama sekali tak mencegahku kali ini.
“Aku harus pergi.” Kataku.
Dia hanya membalas dengan senyumannya. Tanpa terima kasih, itulah kata-kata terakhir yang aku katakan kepadanya. Aku telah dipanggil, waktuku untukmu sudah habis. Aku harus pergi bergantian menemui-Nya sekarang.
***
Seorang teman membanting sebuah majalah ke meja tempat aku dan teman yang lain sedang makan di kantin. Raut mukanya penuh amarah, jari telunjuknya menunjuk sebuah foto yang dipasang di salah satu artikel.
“Dunia sudah kiamat, dunia sudah kiamat ini!” Dia mengulang-ulang kata itu diikuti dengan amarah yang meledak.
Seraya teman-temanku yang lain segera mengambil majalah tersebut dan membacanya. Mereka pun turut berkomentar “Astaughfirullah…semoga azab Allah tak menimpa kita semua.” Kata temanku dengan mimik wajah khawatir.
Aku segera meraih majalah yang cukup menggemparkan itu. Foto yang terpampang di majalah itu menohokku. Seseorang yang sangat aku kenal sekali. Kubaca artikel itu baris demi baris, sebuah pengakuan seorang muslim akan identitas seksualnya. Bukan hanya pengakuannya saja, namun artikel itu juga membahas mengenai visi yang dia usung bersama gerakannya tentang “gay muslim”. Aku tak sanggup untuk membaca artikel itu lebih jauh lagi.
Pikiranku berkecamuk hebat mengenai kedekatanku dengannya dan rahasia mengenai identitasku yang aku simpan rapat. Sumpah serapah yang teman-temanku lontarkan membuat diriku semakin terpojok dalam kegundahan dan ketakutan. Bagaimana jika teman-temanku tahu akan rahasiaku?
Bayangan-bayangan ketakutan tiba-tiba muncul, mencekikku. Betapa ngerinya. Tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Inikah pertukaran yang akan aku hadapi jika aku meneruskan hidupku seperti ini. Kedamaian yang aku temukan bersama dengannya ternyata memiliki sisi kekacauan yang tak terkira.
Aku mencoba bersikap tenang dan kalem walau raut mukaku tidak bisa berbohong. Entah kenapa, sepertinya teman-temanku melihatku dengan pandangan berbeda. Atau jangan-jangan ini hanya ketakutanku saja. Aku lebih baik diam saja dan berpura-pura mendengarkan perbincangan mereka. Tetapi sungguh, aku sekarang kosong.
Satu persatu teman-teman pergi meninggalkanku yang masih ingin tinggal lebih lama, menenangkan diri dalam kesendirian lebih tepatnya. Kulihat majalah yang tergeletak, terbuang di atas meja. Kuambil majalah tersebut dan aku pun pergi dari kantin segera.
Aku berjalan menuju arah parkiran motor tak jauh dari sekretariat organisasi kampus. Seperti biasa, suasana kampus ramai oleh mahasiswa. Terlihat beberapa temanku yang sedang bermain gitar atau ngobrol. Kutundukkan kepalaku, menyembunyikan diriku dari pandangan mereka dan untuk menghindari kewajibanku untuk menyapa mereka.
Langkah kakiku kupercepat agar segera sampai di parkiran motor. Namun langkahku segera kupelankan ketika seseorang berdiri di lorong parkiran motor. Kulihat sepatu kanvas butut hitam yang penuh debu, lalu jeans biru dengan sobekan yang disengaja di lututnya. Senyuman itu, senyuman yang bahkan lebih manis dari biasanya. Secara ajaib dia berada di depanku, aku dan dia hanya berjarak tak lebih dari 3 meter.
Hampir saja aku termakan candunya dengan membalas dengan senyumanku. Tetapi aku segera sadar dan mengingat kembali apa yang akan hadapi. Kedamaian dan ketakutan itu bercampur menjadi satu.
Kami saling bertatapan dan waktu menjadi beku untuk sesaat. Dia melihat raut mukaku yang kosong, seketika senyumannya pun sirna menjadi kekosongan. Lengang dan dingin, semuanya berubah seketika. Tak ada sepatah kata pun yang terucap seolah mulut-mulut kami membeku.
Kami masih saling pandang. Dia mencoba menelisik dengan tatapan penuh tanya dan curiga. Tatapan yang menyiksa, tetapi menjelaskan kepadanya akan lebih menyiksaku. Kuberikan majalah yang aku bawa dari kantin kepadanya.
Aku melanjutkan langkahku. Satu, dua, tiga langkah dan aku melaluinya seolah melewati orang yang tak pernah aku kenal sebelumnya. Aku meninggalkannya sekarang, bukan pergi karena tak akan ada jalan untuk pulang kembali.
***
Kini aku tanpa sebuah dunia dimana aku menemukan kedamaian dan ketakutan. Diriku berada di sebuah sisi lain kehidupan dimana aku menjadi anak dari orang tuaku, seorang teman bagi teman-temanku dan makhluk ciptaan-Nya. Orang berkata setiap insan berhak untuk memilih atas penghidupannya. Bagiku sendiri, pilihanku adalah jalan yang sudah digariskan.
Garis lurus yang membelah garis-garis kusut yang melintangi kehidupan. Dalam kitab yang aku baca ada dua hal yang perlu harus kupegang teguh, menjauhi larangan dan mentaati perintah-Nya. Garis bersimpul atau belok adalah larangan-Nya.
Dia yang pernah memberikan kedamaian yang tak bisa kudefinisikan, berada dalam garis bersimpul itu. Sebuah sisi dunia dimana seharusnya aku tidak berada disana sama sekali.