Panggil namaku Garis. Aku beranjak seperti remaja lelaki pada umumnya,
bermain bola, musik dan aktif di organisasi sekolah di SMA. Dari luar aku
nampak sama seperti mereka, tetapi dari dalam aku merasa berbeda. Hari ini
adalah hari keempat setelah ulang tahunku yang ketujuh belas. Seharusnya aku
merasa bangga dan lebih percaya diri karena telah menempuh akhir baliq. Sebuah batas antara garis tipis
dan tebal seperti hal yang memberdakan antara anak-anak dan dewasa. Tetapi
justru dalam lubuk hati, aku merasa bahwa diriku adalah seorang pembelok.
Iman sebagai penuntun, roboh tepat tiga hari setelah ulang tahunku. Aku
bertemu dengan seseorang dari chat di
Jack’D, namanya Dedi seorang
mahasiswa Fakultas Hukum UGM. Awalnya kami hanya berbincang melalui aplikasi
tersebut. Dia adalah orang yang menarik, kami sering curhat mengenai kehidupan
kami masing-masing. Sampai ketika hari ulang tahunku tiba, dia mengajakku untuk
merayakannya.
Pada awalnya aku takut untuk memenuhi ajakannya karena aku belum pernah
bertemu dengan satu orang pun dari aplikasi chat tersebut. Entah bagaimana
kepercayaan itu terbangun, aku mengiyakan ajakannya.
Saat itu pukul 4 sore, aku masih mengenakan seragam SMA ketika
menunggunya di depan Warung Steak. Hatiku berdegup kencang, aku tidak bisa
membayangkan jika dia menipuku atau yang lebih parah menjebakku. Ketakutan itu
melayang kemana-mana hingga pupus seketika aku melihat kedatangannya dari arah
timur. Dia yang kukenal sebatas foto kini perlahan mendekatiku.
Senyum manis, lebih manis dari foto editan yang dia pasang di profilenya.
Ternyata realitas lebih indah dari maya. Malu-malu aku membalas senyumannya.
Senyum adalah bahasa pertama yang kami gunakan, bukan bahasa verbal atau gerak
tubuh. Aku mengatakannya sebagai bahasa rasa. Bahasa yang asalnya dari hati.
Usai berjabat tangan dan berkenalan secara nyata kami segera masuk dan
memesan makanan. Kami duduk di meja tengah diantara manusia-manusia lain di
ruangan ini. Kami adalah pusat dari keramaian, seperti matahari di antara
deretan planet yang kita huni.
“Selamat ulang tahun!” Ucapnya membuka pembicaraan.
“Terima kasih mas.” Jawabku gugup. Degup jantungku berdetak tak normal,
aku gugup. Biasanya kalau chat di Jack’D
aku lebih santai dan terbuka.
“Ini ulang tahun ke 17 ya? Apa harapanmu di umurmu yang spesial ini?
Tanyanya.
“Pengennya sih bisa masuk UGM.” Jawabku malu-malu.
“Wow, keren sekali. Mau masuk jurusan apa?” Tanyanya lagi. Dia terlihat
antusias.
“Kalau bisa sih akuntansi mas.” Jawabku. Tanpa aku sadari aku sedang
memainkan garpu yang ada diatas meja.
Dengan lembut dia memegang tanganku yang sedang memainkan garpu karena
gugup. “Belajar yang rajin ya. Aku yakin kamu pasti bisa masuk UGM.” Katanya.
Aku menegakkan kepalaku , perlahan menatap wajahnya yang tersenyum
hangat. Aku tidak bisa berbicara apa-apa. Ada hawa hangat yang menjalar dari
tangannya hingga kepalaku. Membuka mataku lebar-lebar bahwa ini bukan mimpi.
Selesai makan kami pergi ke kos Dedi tak jauh dari tempat kami makan
tadi. Kos nya terletak di belakang rumah pemilik kos yang memiliki kebun asri.
Pertama kali aku melihat kamar kosnya aku takjub dengan koleksi buku-buku yang
berjejer rapi di rak yang terpajang di tembok kamarnya. Jas almamater coklat
goni tergantung dibelakang pintu. Cocard kepanitiaan sengaja digantung dengan
paku di tembok seolah itu adalah medali pencapain. Inikah kehidupan seorang
mahasiswa tanyaku dalam hati.
Dedi mengambil sesuatu dari meja belajarnya. Sebuah bingkisan yang
disampul dengan kertas warna merah bercorak ornamen emas.
“Ini buat kamu. Buka aja!” Katanya.
Aku menerima bingkisan itu dan membuka bingkisannya pelan-pelan. Ternyata
itu adalah sebuah buku berjudul “Soe Hok
Gie: Catatan Seorang Demonstran”.
“Soe Hok Gie?” Aku bertanya.
“Seorang aktivis tahun 60-an. Mahasiswa Sastra Indonesia yang menjadi
salah satu manusia besar yang dimiliki oleh bangsa ini. Bukunya inspiratif, aku
kira bagus kalau kamu baca buku ini.” Jawabnya paparnya.
“Terima kasih mas.” Aku menatap buku itu penuh arti.
Kami mulai berbincang panjang lebar hingga lupa akan waktu. Aku merasakan
kenyamanan bersama dengannya. Dia adalah orang pertama dimana aku bisa
berbicara tentang apa saja tanpa rasa takut.
Matahari perlahan terbenam, warna jingga sore berubah menjadi gelap.
Betapa syahdu sore itu ditemani olehnya dan kopi. Dia beranjak lalu menutup
pintu kosnya. Akhirnya hal itu terjadi. Untuk pertama kalinya.
***
Aku duduk bersimpuh di dalam masjid meratapi betapa rapuhnya imanku. Aku
bertanya-tanya kepada Dia, maha pembolak-balik hati. Kenapa dia memberikanku
sebuah cobaan yang teramat besar, bukan kemiskinan, bukan ujian lain kecuali
menyukai laki-laki. Aku merasa kotor.
Handphone dalam saku celana kembali bergetar, mengalihkan kekhusukanku
dalam doa. Aku bisa menebak dari siapa pesan singkat itu berasal. Sejak pagi
tadi dia mengirimkan sms kepadaku, mengucapkan selamat pagi dan menanyakan
kabarku. Aku sengaja belum membalasnya, mencoba mencerna apa yang aku gundahkan
saat ini.
Jika kemarin adalah dosa, Ini bukan salahnya karena tak ada paksaan dan
tipu daya. Tentu juga bukan salah-Nya karena hanya dialah yang Maha Benar. Lalu
apakah ini semua salahku?
Kepala ini berat sekali rasanya hingga hanya bisa tertunduk. Aku tak
ingin menjadi bagian dari kaum yang sombong dan melebihi batas. Tak hal
lainselain berserah diri dan memohon petunjuk.
Aku berjalan menuju serambi masjid. Angin semilir mengayun damai
memberikan kesegaran, suatu pertanda bahwa Dia masih memberikan rahmat walau
untuk seorang pendosa sepertiku. Kulihat teman-temanku duduk-duduk bercanda.
Ada pula teman-teman yang girang bermain voli di lapangan. Aku bergabung
bersama teman-teman, mencoba melupakan gundah sejenak.
Sudah tiga tahun lamanya aku bersekolah, sebentar lagi aku akan segera
meninggalkan sekolah ini untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Banyak
sekali kenangan yang terpahat disini, sepertinya akan berat meninggalkan tempat
ini.
Tiba-tiba seorang teman membangunkanku dari lamunan, tangannya lembut
memegang pundakku dari belakang. Pandanganku teralih kepadanya, dia duduk di
sampingku.
“Kok antum diem, tumben.”
Celetuknya, seolah dia mengamatiku sejak tadi.
“Ah, biasa aja Don.” Aku membalas menepuk bahu Doni.
“Pasti galau mikirin UM-UGM.” Dia menerka.
“Hahaha…” Aku tertawa kecut.
“Manusia kan cuma bisa berikhtiar, setelah itu kan bertawakal. Biar tahu
bahwa manusia itu punya batas dan ada Allah SWT di atas.” Jawabnya bijak
sembari menunjuk jarinya ke langit.
“Ketua rohis itu kalau ngomong penuh makna ya.”
“Eh antum selepas dari SMA mau terus liqo ngga?” Tanyanya.
Pertanyaan spontan yang menjurus. Seolah aku bisa menebak kemana
perbincangan kami akan tertuju.
“Insyallah, akh.” Jawabku. Menurut agamaku insyallah berarti jika Allah
SWT menghendaki namun kali ini dalam lubuk hati, aku mengartikannya sebagai
kebimbangan antara ya dan tidak.
“Tetep istiqomah, akh.” Doni mengingatkanku. Tangannya menepuk bahuku
dengan keyakinan.
Tidak terasa sore telah berada di ujung horison barat menanti datangnya
bulan dan bintang dari timur. Satu per satu teman pergi meninggalkan masjid dan
suasana perlahan menjadi sepi. Aku mengikuti berlalunya ramai, pulang bersama
teman-teman. Kami berpisah di parkiran sepeda motor di samping sekolah.
Kurogoh handphoneku dalam saku celana. Sebuah ikon sms terpampang besar
memenuhi isi layar, dibawahnya tertulis nama Dedi. Sebuah pesan yang singkat:
“Makan bareng jam 7?”
Pesan ini adalah pesan ketiga yang dia kirim hari ini. Pesan yang dikirim
pukul 3 sore tadi. Ada sedikit keraguan untuk membalas pesan singkat yang dia
kirimkan. Namun aku akan merasa bersalah jika tiba-tiba diam dan pergi tanpa
sebuah alasan yang pantas ia tahu. Aku sejenak merenung, menanggalkan kembali
helm yang telah aku pakai.
Mamandang lepas ke atas, langit semburat jingga bercampur biru yang
menawan. Tenang dan damai, begitu aku merasakannya. Ciptaan yang luar biasa atas
kehendak-Nya. Aku berkata dalam hati, jika pertemuanku dengannya adalah
kehendak-Nya, maka terjadilah. Jika saja ini adalah jalan untukku untuk
mengetahui hakikat hidupku, maka kembalikanlah aku pada waktunya nanti. Hanya
nama-Mu yang kurapal dalam doa.
Kupegang handphone ku dengan erat di tengah kecamuk keraguan. Kubuka
pesan darinya, lalu kutekan tombol balas. Pesan singkat segera aku kirimkan
kepadanya.
“Oke mas, ketemu di kosmu jam 7 ya.”
***
Pagi yang awalnya tenang, seketika berubah ketika ibuku teriak-teriak
setelah membaca namaku terpampang di kolom Penerimaan Mahasiswa Baru UGM di
Koran Kedaulatan Rakyat. Satu per satu anggota keluarga dari kakek, bapak
hingga adik dipanggil satu-satu. Tetangga yang mendengar gaduh bungah dari ibu
juga turut ingin tahu apa gerangan.
Aku berada diantara bahagia setengah mati dan malu luar biasa. Entah
seperti apa raut mukaku saat ini, campur-campur bak gado-gado. Kuambil koran
yang sejak tadi silih ganti berada di tangan keluarga dan tetanggaku. Kuamati
dengan seksama, namaku tercetak dengan benar beserta nomor peserta ujian yang
tertera dibelakangnya. Kulihat dikolom paling kanan, jurusan dimana aku
diterima. Aku terhenyak sejenak, lalu kutatap ibuku. Sepertinya ibuku tidak
terlalu memperhatikan dimana aku diterima, dia terlanjur girang membaca namaku
terpampang di halaman Penerimaan Mahasiswa Baru UGM.
Pelan-pelan aku mendekati ibuku, mencoba menyela kegembiraannya.
“Bu….” Sapaku dengan hormat setengah takut.
“Gimana nak?” Mata Ibu berbinar, tersenyum selebar 10 cm layaknya
pramugari yang menyambut para penumpang.
“Bu, saya nggak di terima di Akuntansi lho, tapi di Fakultas Hukum.” Lirih
aku bersuara. Semua terhenyak, aku menjadi pusat dari semua mata-mata serius
yang menatapku tajam.
“Di UGM kan nak?” Tanya Bapakku. Aku tak berkata hanya mengangguk.
“Yeeeey……!” Semua bersorak kembali. Seolah jurusan bukan menjadi hal yang
penting. Bagi mereka masuk UGM lebih penting daripada jurusan yang dipilih.
Hari itu menjadi hari yang penting dan berarti bagi diriku tetapi juga
keluargaku. Aku adalah orang pertama dari anggota keluarga yang bisa belajar di
UGM, bahkan menjadi orang pertama di kampung yang bisa melanjutkan studi di
salah satu perguruan tinggi favorit di Indonesia ini. Sekali lagi aku
menunjukkan kepada mereka betapa lurus hidupku. Hidup yang mereka yakini benar.
Masa-masa awal perkuliahan diawali dengan Ospek yang membuatku dan
keluargaku kelabakan memenuhi syarat yang diwajibkan oleh senior. Katanya
mahasiswa adalah kaum intelektual, namun kenapa mereka membuat kegiatan semacam
ospek kampus yang bagiku tidak mendasar dan manusiawi untuk memperlakukan
anak-anak berumur 18 tahun sepertiku. Bayangkan saja membuat tas dari kantung
gandum hingga topi kertas yang bagiku mirip seperti topi Peterpan dalam dunia
dongeng. Sama sekali tak ada sisi intelektualitasnya bagiku.
Sebagai mahasiswa baru, aku mencoba menyesuaikan diri dengan rutinitas
kampus. Pelan-pelan aku mulai menikmati ritme menjadi seorang mahasiswa.
Maksudku seorang mahasiswa yang tidak hanya kuliah saja.
Siang itu aku dan temanku mampir di sekretariat organisasi yang
kebanyakan laki-laki, atau dalam bahasa mereka disebut ikhwan, berjenggot tipis
serta ada dua tanda hitam dijidat mereka. Mereka menyambut kami dengan ramah
serta banyak berbincang lebar mengenai perkuliahan dan kegiatan yang dilakukan
oleh Keluarga Mahasiswa Muslim Fakultas Hukum (KMMFH).
Mataku menelisik isi sekretariat yang ditata dengan rapi. Banyak sekali
buku-buku tebal berjejer rapi di rak-rak yang berada di pojok ruangan. Mungkin
inilah salah satu perbedaan sekretariat seorang mahasiswa dan siswa. Berbeda
dengan sekretariat organisasi lain, tak ada foto yang terpajang di tembok KMMFH
ini. Hal itu membuat ruangan terkesan sederhana dan lebih luas, jauh dari
semwawut narsistik aktivis mahasiswa.
Iseng aku bertanya kepada senior mengenai hal tersebut, katanya foto
tidak baik untuk dipajang di ruang publik seperti ruang ini. Takut auratnya
tersibak dia terkekeh. Aku sempat terkagum-kagum dengan jawabannya. Setelah
menjawab pertanyaanku, kakak ini mengambil sebuah album foto diantara deretan
buku tebal di rak.
Kubuka buku album itu halaman demi halaman. Kebanyakan foto dipenuhi
dengan foto laki-laki, minim sekali foto perempuan. Pandanganku tiba-tiba
terhenti pada sesosok orang yang sepertinya aku kenal dekat. Seseorang, hanya
seorang, dimana aku bisa berbicara mengenai sisi lain dari hidupku yang tabu.
Sudah lama aku tidak berkomunikasi dengannya, bukankah saat ini kita satu
kampus?
“Apa kabarmu Dedi?”
***
Aku berhadapan dengan pintu yang dicat coklat muda mengkilat. Tertempel
stiker-stiker berbau provokatif ciri khas kamar seorang aktivis yang
menggebu-gebu. Aku mengetuk pintu itu selama tiga kali tetapi tidak ada respon
sama sekali dari empunya kamar. Kamar-kamar kos yang berjejer juga terlihat
sepi sehingga tidak ada orang yang bisa aku tanyai. Lengang sekali siang ini.
Kubaca pesan yang tersimpan dalam handphoneku. Aku tidak salah,
seharusnya aku bertemu dengannya pukul 1 siang di kosnya. Kuputuskan untuk
menelponnya. Rasa cemas muncul ketika nada telpon panjang harus diakhiri oleh
suara operator bukan jawaban darinya. Hampir saja aku pergi meninggalkan
kos-kosan itu ketika dia tiba-tiba datang dari arah parkiran motor yang
terletak di depan. Dedi akhirnya muncul juga.
Hal pertama yang aku lihat darinya adalah senyumannya. Senyuman sama yang
aku lihat ketika pertama kali bertemu dengannya. Senyuman yang mampu membuat
rasa cemasku runtuh dan membuat mulutku ketir untuk berkata-kata.
Dedi segera membereskan buku-buku yang berserakan di lantai kamar.
Sepertinya dia tidak terlalu peduli dengan keadaan kamarnya akhir-akhir ini.
Aku duduk di lantai sembari melihatnya merapikan kamarnya secepat dan
semampunya.
“Wuih…” Keluhnya, seolah lelah akan suatu hal.
“Mau kopi?” Tanyanya. Aku mengangguk, tanpa kontrol sepenuhnya dariku.
Kopi, sesuatu yang jarang sekali aku minum. Biasanya minuman ini aku temui
ketika ronda di kampung, itupun aku hanya melihat ketika bapak-bapak yang turut
jaga minum.
“Gula?” Tanyanya lagi.
“Iya mas.” Jawabku spontan. Tak bisa kubayangkan bagaimana menikmati kopi
yang rasanya pahit.
Dua cangkir kopi tersaji, kepulan uap terlihat lalu lenyap di telan udara
kamar. Seolah itu pertanda bahwa aku harus tinggal lebih lama disini, mengobrol
dengannya. Bukankah ketika kami bertemu biasanya lebih dari sejam-dua jam? Dia menyalakan rokok kreteknya lalu mengoceh,
kata seorang ahli kopi merokok dapat merusak kenikmatan dari kopi. Tetapi persetan
dengan omongan si ahli ,baginya kopi dan rokok adalah hal yang tidak bisa
dipisahkan. Jika dipisahkan maka tidak akan lengkap.
Ketika rokok telah dijepitnya diantara jari tengah dan telunjuk, dia terlihat
begitu lepas. Apapun dia obrolkan mulai dari apa yang dia lakukan hari ini,
kekonyolan yang dia alami hingga folosofi hidup yang dia pegang. Hal terakhir
adalah candu yang membuatku terasa jauh dari realitas. Kadang aku tidak
mengerti yang dia omongkan, namun bagiku caranya berbicara dan aura yang
terpancar sudah lebih dari cukup.
Susah sekali mengimbangi perbincangannya. Satu-satunya kesempatanku untuk
berbicara adalah ketika dia terdiam, menghela nafas panjang. Seolah sedang
melepaskan kepenatan yang menjadi bebannya.
“Mas….” Panggilku lirih. Dia menoleh kearahku. Lagi-lagi senyum itu
terpancar, lama-lama aku benci jika tak melihatnya.
“Kok aku nggak pernah lihat kamu di kampus ya? Kan sekarang kita satu
kampus.” Tanyaku.
“Hmm…kemari.” Dia tak menjawab pertanyaanku, justru memintaku untuk duduk
lebih dekat dengannya.
Dibukanya lengannya menyerahkan dadanya yang bidang untukku bersandar. Kujatuhkan
saja kepalaku kedadanya, menyerah tanpa syarat. Dielus-elusnya kepalaku dengan
tangannya yang magis, membuatku terjatuh lebih oleh candunya. Kupeluk dia
semakin erat hingga kurasakan tiap degup jantungnya.
Tanpa aku sadari diriku sudah tertindih oleh tubuhnya, pakaianku pun
terlucuti tanpa perlawanan. Kutemukan sebuah dunia tanpa jeratan, tanpa
belenggu ini dan itu. Dunia tak beruang dan berwaktu, yang ada hanya aku dan
dia. Dalam dunia tak sadar ini aku menjadi bukan aku dalam realitas. Aku adalah
jelmaan dari sisi lain diriku yang bangkit dari jiwa-jiwa bebas yang dijerat
oleh darma-darma.
Sayang sudah takdirku untuk kembali ke dalam alam sadar realitas setelah
kami kelelahan menikmati candu. Kutatap matanya yang bersinar dalam remang,
pandangan penuh arti. Ingin sekali lagi aku mengajaknya memasuki dunia candu
itu, namun dengan halus dia menolaknya dengan dekapan erat.
Aku terperanjat dan melepas pelukanku darinya ketika suara adzan
berkumandang lirih memasuki celah-celah kecil ventilasi. Aku segera bangkit dan
meraih bajuku yang berserakan di lantai. Dia sama sekali tak mencegahku kali
ini.
“Aku harus pergi.” Kataku.
Dia hanya membalas dengan senyumannya. Tanpa terima kasih, itulah
kata-kata terakhir yang aku katakan kepadanya. Aku telah dipanggil, waktuku
untukmu sudah habis. Aku harus pergi bergantian menemui-Nya sekarang.
***
Seorang teman membanting sebuah majalah ke meja tempat aku dan teman yang
lain sedang makan di kantin. Raut mukanya penuh amarah, jari telunjuknya
menunjuk sebuah foto yang dipasang di salah satu artikel.
“Dunia sudah kiamat, dunia sudah kiamat ini!” Dia mengulang-ulang kata
itu diikuti dengan amarah yang meledak.
Seraya teman-temanku yang lain segera mengambil majalah tersebut dan
membacanya. Mereka pun turut berkomentar “Astaughfirullah…semoga
azab Allah tak menimpa kita semua.” Kata temanku dengan mimik wajah khawatir.
Aku segera meraih majalah yang cukup menggemparkan itu. Foto yang
terpampang di majalah itu menohokku. Seseorang yang sangat aku kenal sekali.
Kubaca artikel itu baris demi baris, sebuah pengakuan seorang muslim akan
identitas seksualnya. Bukan hanya pengakuannya saja, namun artikel itu juga
membahas mengenai visi yang dia usung bersama gerakannya tentang “gay muslim”. Aku tak sanggup untuk
membaca artikel itu lebih jauh lagi.
Pikiranku berkecamuk hebat mengenai kedekatanku dengannya dan rahasia
mengenai identitasku yang aku simpan rapat. Sumpah serapah yang teman-temanku lontarkan
membuat diriku semakin terpojok dalam kegundahan dan ketakutan. Bagaimana jika
teman-temanku tahu akan rahasiaku?
Bayangan-bayangan ketakutan tiba-tiba muncul, mencekikku. Betapa
ngerinya. Tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Inikah pertukaran yang
akan aku hadapi jika aku meneruskan hidupku seperti ini. Kedamaian yang aku
temukan bersama dengannya ternyata memiliki sisi kekacauan yang tak terkira.
Aku mencoba bersikap tenang dan kalem walau raut mukaku tidak bisa
berbohong. Entah kenapa, sepertinya teman-temanku melihatku dengan pandangan
berbeda. Atau jangan-jangan ini hanya ketakutanku saja. Aku lebih baik diam
saja dan berpura-pura mendengarkan perbincangan mereka. Tetapi sungguh, aku
sekarang kosong.
Satu persatu teman-teman pergi meninggalkanku yang masih ingin tinggal lebih
lama, menenangkan diri dalam kesendirian lebih tepatnya. Kulihat majalah yang
tergeletak, terbuang di atas meja. Kuambil majalah tersebut dan aku pun pergi
dari kantin segera.
Aku berjalan menuju arah parkiran motor tak jauh dari sekretariat organisasi
kampus. Seperti biasa, suasana kampus ramai oleh mahasiswa. Terlihat beberapa
temanku yang sedang bermain gitar atau ngobrol. Kutundukkan kepalaku, menyembunyikan
diriku dari pandangan mereka dan untuk menghindari kewajibanku untuk menyapa
mereka.
Langkah kakiku kupercepat agar segera sampai di parkiran motor. Namun
langkahku segera kupelankan ketika seseorang berdiri di lorong parkiran motor.
Kulihat sepatu kanvas butut hitam yang penuh debu, lalu jeans biru dengan
sobekan yang disengaja di lututnya. Senyuman itu, senyuman yang bahkan lebih
manis dari biasanya. Secara ajaib dia berada di depanku, aku dan dia hanya
berjarak tak lebih dari 3 meter.
Hampir saja aku termakan candunya dengan membalas dengan senyumanku.
Tetapi aku segera sadar dan mengingat kembali apa yang akan hadapi. Kedamaian
dan ketakutan itu bercampur menjadi satu.
Kami saling bertatapan dan waktu menjadi beku untuk sesaat. Dia melihat
raut mukaku yang kosong, seketika senyumannya pun sirna menjadi kekosongan. Lengang
dan dingin, semuanya berubah seketika. Tak ada sepatah kata pun yang terucap
seolah mulut-mulut kami membeku.
Kami masih saling pandang. Dia mencoba menelisik dengan tatapan penuh
tanya dan curiga. Tatapan yang menyiksa, tetapi menjelaskan kepadanya akan
lebih menyiksaku. Kuberikan majalah yang aku bawa dari kantin kepadanya.
Aku melanjutkan langkahku. Satu, dua, tiga langkah dan aku melaluinya
seolah melewati orang yang tak pernah aku kenal sebelumnya. Aku meninggalkannya
sekarang, bukan pergi karena tak akan ada jalan untuk pulang kembali.
***
Kini aku tanpa sebuah dunia dimana aku menemukan kedamaian dan ketakutan.
Diriku berada di sebuah sisi lain kehidupan dimana aku menjadi anak dari orang
tuaku, seorang teman bagi teman-temanku dan makhluk ciptaan-Nya. Orang berkata
setiap insan berhak untuk memilih atas penghidupannya. Bagiku sendiri,
pilihanku adalah jalan yang sudah digariskan.
Garis lurus yang membelah garis-garis kusut yang melintangi kehidupan.
Dalam kitab yang aku baca ada dua hal yang perlu harus kupegang teguh, menjauhi
larangan dan mentaati perintah-Nya. Garis bersimpul atau belok adalah larangan-Nya.
Dia yang pernah memberikan kedamaian yang tak bisa kudefinisikan, berada
dalam garis bersimpul itu. Sebuah sisi dunia dimana seharusnya aku tidak berada
disana sama sekali.
No comments:
Post a Comment