![]() |
dkmnuruliman.wordpress.com |
Sesampainya
di depan halaman masjid,orang sudah berjibun memadati shaf demi shaf. Ia pun
segera menggelar koran bekasnya untuk duduk di paling belakang jamaah. Dari
jauh dia melihat rombongan bapak-bapak berpakaian bagus dikawal untuk menempati
shaf di dalam masjid bersama kyai-kyai berjubah serba putih.
Terik
mulai menyengat, namun hal itu sudah biasa bagi Yudi. Ia tak lekas pergi dari
shaf seperti anak-anak lainnya seusai sholat. Dia duduk tenang mencoba
mendengarkan sayup-sayup ceramah yang dikoarkan secara santun dan manis oleh
seorang kyai. Baru ketika ceramah usai, ia beranjak meninggalkan tempat
duduknya lalu bergabung dengan gerombolan orang-orang yang disebut sebagai
fakir miskin.
Seorang
petugas membagikan secarik kertas bertuliskan nomor antrian untuk pengambilan
daging. Dengar-dengar hari ini DPRD kota akan menyembelih sepuluh sapi impor
yang akan dibagikan untuk masyarakat yang membutuhkan. Masyarakat yang
dimaksudkan oleh bapak-bapak adalah masyarakat yang hanya bisa mengkonsumsi tak
lebih dari 5 kg daging per-tahunnya. Mereka percaya di hari yang suci ini,
tidak hanya pahala berlimpah yang akan mereka peroleh tetapi juga membantu
memakmurkan warganya.
Sembari
tukang jagal menyembelih sapi impor itu satu-satu. Seorang bapak yang disegani
diantaranya menemui gerombolan orang-orang dengan secarik kertas nomor antrian.
Dia berdiri menunggingkan tangannya minta dikecup. Satu persatu gerombolan itu
mengecup tangan halus dan putih bapak itu. Yudi pun mengikuti apa yang
dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya. Dipegangnya tangan bapak itu yang
putih, halus dan wangi. Diraba-rabanya tangan bapak itu yang tidak seperti
tangannya. Ia berpikir bagaimana bapak itu bisa berpakaian mewah jika tangannya
putih mulus seolah tak pernah memegang alat kerja. Apakah pak tua yang
mengatakan kekayaan adalah bekas tangan adalah bohong?
“Sebentar
lagi kami akan membagikan daging kurban sapi impor kepada bapak-ibu. Silahkan
dimasak di rumah sebagai kecukupan gizi keluarga.” Bapak itu memulai pidatonya.
“Di
dalam daging sapi impor terdapat protein dan kalsium yang baik untuk menjaga
tulang bapak dan ibu, serta bisa membuat anak bapakdan ibu cerdas dan pintar.”
Bapak itu menggelegar.
Yudi
hanya bisa termangut-mangut mengamini apa yang bapak itu katakan di depan
podium. Ia hanya berharap pidatonya segera usai dan bisa membawa sekresek
daging kurban secepatnya. Sudah dari kemarin dia belum makan dan cacing-cacing
di perutnya mulai memberontak.
Akhirnya
waktu yang dinanti-nanti tiba, kresek-kresek daging bermunculan. Gerombolan
yang tadi duduk anteng di depan podium serentak berdiri dan menyamber kresek
daging itu dari tangan petugas. Si bapak yang sedang berpidato kaget lalu
menyuruh petugas untuk menenangkan keadaan. Namun sayang, gerombolan sudah
terlanjur menjadi brutal. Beruntung Yudi sigap dengan keadaan itu, dengan
tubuhnya yang mungil tapi gesit dia berhasil merampas satu kresek daging.
Segera ia berlari keluar dari kekacauan dan pergi.
Dipanggilnya
ibu penjaga warung tempat biasa berhutang makan. Ibu itu bermuka masam ketika
tahu yang memanggilnya hanyalah Yudi. Warung si Ibu sedang sepi, apalagi saat
ini Idul Adha, banyak orang memilih makan di rumah daripada warungnya. Yudi
memenyerahkan kresek berisi daging kepada ibu itu. Dilihatnya isi kresek itu
dengan sinis oleh si ibu. Ia mencoba mengingat-ingat hutang Yudi dan menaksir
daging yang ditukar oleh Yudi.
“Sana
makan sama sayur dan tempe!” Suruh si ibu.
Yudi
pun segera mengambil piring lalu menumpahkan nasi segunung. Ia pun makan sayur
dan tempe dengan sangat nikmat dan lahap.