Empat bulan
penjara plus denda dua ribu rupiah menjadi hasil akhir persidangan yang panjang
penuh liku. Riki dinyatakan bersalah secara hukum karena telah melakukan
pencurian. Dia memang bersalah, tapi apakah itu salah dia?
Riki bersama kawannya
Pletho tertangkap basah ketika sedang melakukan pencurian sepeda di daerah
Tegalrejo. Sebenarnya Riki hanya menunggu atau berjaga di depan tempat
kejadian. Dia sebenarnya bisa saja lari ketika Pletho tertangkap ketika sedang
akan membawa sepeda curiannya. Dia seharusnya bisa lari seperti Iwan sang otak
pencurian itu. Tetapi dia memilih diam dan pasrah ditangkap oleh warga karena
dia melihat Pletho ditangkap oleh warga.
Riki memang
bersalah karena mengiyakan ajakan Iwan untuk mencuri sepeda. Bocah 16 tahun
yang penurut dan lugu itu memang bersalah karena dia kesulitan untuk mengatakan
tidak! Memang benar dia adalah anak nakal karena tinggal di jalanan karena tak
punya rumah. Rumahnya yang reot di Tegal tak mampu mencukupi kehidupannya
dengan adeknya, sementara orang lain di sekitar tak peduli dengan mereka
disana.
Riki memang bersalah
karena memiliki seorang Ibu yang tak tahan dengan tuntutan hidup sehingga dia
tidak bisa merawat Riki kecil dengan baik. Ibu itu juga tak mampu mencegah kakak
Riki yang kalap, membuang Riki dan adeknya ke Malioboro, Jogja dan jadilah
mereka sebatang kara.
Riki juga
bersalah karena menjadi anak sebuah negara bernama Indonesia yang tak perhatian
dengan Ibunya Riki. Riki juga salah karena hidup dimana orang sekitar tidak
peduli dengan Ibunya yang penuh himpitan.
Ah, Riki sudah
terlanjur di Jogja dan besar di jalan. Karakter kehidupan keras di jalan sudah
menjadi santapan sehari-harinya. Citranya terbentuk menjadi anak nakal walau saya
banyak mendengar Riki ini adalah anak yang baik di mata orang-orang jalanan
seperti tukang becak atau penjual pecel lele di Jalan Mangkubumi.
Seandainya
Riki punya rumah dia tidak perlu melihat dunia malam jalanan. Jika saja ada
seseorang yang mampu melindungi dan membimbing Riki sehingga dia tidak perlu
lagi ke jalan untuk menyambung nafas kehidupannya. Jika saja ada orang itu.
Orang yang tulus tanpa embel-embel agama atau kepentingan politik. Lagi-lagi
Riki bersalah karena tak memiliki itu semua.
Seandainya
Riki bisa memilih negara dimana dia akan hidup. Dia tidak akan memiliki pemerintah
yang sibuk berpolemik dan menari-nari jingkrak dalam panggung politik daripada
memenuhi hak-hak Riki.
Aku merenung
dan mencoba untuk mencari kesalahan-kesalahan Riki. Jangan-jangan apa yang aku
tulis diatas bukanlah akar kesalahannya. Jangan-jangan sebenarnya Riki telah
salah untuk memilih lahir dan hidup di dunia ini?