Tuesday, 26 July 2016

Di Persimpangan Rindu

Kehidupan adalah perulangan sejarah. Pertemuan awal dengannya pun tidak lebih dari perulangan pengalaman. Kami bertemu, saling bertukar hal privasi, bersenang-senang dan bercinta. Seolah hal itu adalah siklus alamiah yang menyandingi siklus paling alamiah tentang lahir-hidup-mati. Aku merasa hampa, tidak berada. Heidegger mengatakan kejatuhan eksistensial terjadi ketika manusia terperangkap dalam dunia umum atau dunia keseharian bernama common sense. Tidak ada kebaruan. Lebih parah lagi, kami mulai tidak jujur dengan saling menyuguhkan citra bahwa kami adalah manusia-manusia ideal. Dia mencitrakan dirinya sebagai manusia mapan. Dibuatlah sebuah manipulasi dan simulasi yang beranekaragam. Hampir setiap kali kami bertemu kami pergi ke sebuah restoran yang berakhir dengan tagihan sebanyak uang sakuku sebulan. Atau pergi ke bioskop dan tempat-tempat nyaman bentukan ekses dari kapitalisme. Sementara aku mencitrakan diri sebagai seorang sosok kekasih ideal baik secara fisik maupun karakter. Bertutur layaknya buku-buku petualangan indah dan menantang. Kami sama-sama mengkontruksi sebuah euforia romantis. Menjadikan diri kami sama-sama nyaman dan selalu bahagia, tidak ada luka, getir, pilu layaknya kehidupan yang sesungguhnya.

Di ulang tahunku dia mengajakku ke sebuah restoran premium bergaya Jepang dan Korea. Ini adalah perayaan ulang tahun pertama kami dan bagiku perayaan paling mewah sepanjang hidupku. Kami duduk berdua di sebuah ruang private. Lampu  lampion bergantungan anggun di langit-langit. Meja sudah tertata rapi dengan berbagai sendok, garpu dan pisau. Beberapa pot menghiasi pojok ruangan, memberi kesan ruangan itu lebih luas dan ramah. Ini seperti sebuah potret ruang makan keluarga seperti yang pernah aku lihat di film-film Jepang. Malam itu berakhir sangat romantis dan membahagiakan. Oh, Bagaimana aku tidak bisa luluh dengan apa yang dilakukannya selama ini untukku? Sayangnya, di malam itu aku harus memberitahunya bahwa bulan depan aku harus pergi ke Karimunjawa selama dua bulan. Dia sedih karena kami baru saja bertemu tidak lebih dari 4 bulan dan harus berpisah sementara. Kami pun bercinta seolah tidak akan pernah bertemu pernah lagi.

Hari itu akhirnya tiba, dia memberkatiku dengan pelukan perpisahan dan membekali diriku dengan ciuman goodbye for now. Aku berangkat ke pulau di utara Pulau Jawa, meninggalkan dirinya yang meratap pilu. Kini dunia romantis yang kami bangun bertali pada sebuah jaringan nirkabel tak kasat mata bernama sms. Pagi, siang dan malam kami mencoba untuk saling berkabar dan saling mengatakan cinta.

Di bulan pertama, kehadiran kami di ruang realitas mampu tergantikan secara virtual diantara barisan teks. Aku terheran-heran dan tergelitik tentang cara kami mempertahankan relasi. Sungguh, selama ini aku yang tidak percaya dengan dunia yang tak beruang dan mewaktu, harus mengakui bahwa hari ini kasih tidak lagi terbatas. Namun di bulan kedua, aku mulai gelisah. Ada sesuatu yang menyerang batinku. Kekuatan metafisika yang membuatku berkelisut di dalam tidur. Membangunkanku di tengah malam yang sunyi dan melamun lebih lama.

Aku mengadu pada Pulau Tengah dan Pulai Kecil. Aku bertanya kemanakah hasratku pergi? Keramaian adalah kekosongan. Kesenangan adalah kehampaan. Dan senja menjawab peraduanku dengan sebuah jawaban, rindu. Apakah aku sedang rindu padanya? Apakah aku adalah orang yang tak mampu menahan dahaga akan kehadirannya? Bagaimana dengan ruang virtual yang telah menembus batas-batas kasih dalam ruang? Apakah rindu adalah sakau bagi pecinta? Apakah aku jatuh cinta? Hujaman tanya itu semakin mendekatkanku pada apa yang selama ini hilang. Sebuah kepercayaan pada cinta yang sakral. Aku menyerah kalau harus rindu. Aku bertekuk lutut jika memang cinta.

Hari-hari di awal Bulan Agustus adalah sebuah penantian. Waktu tidak lagi menjadi ukuran pasti. Menjadi relatif dan menjebakku dalam penantian panjang. Aku sadar bahwa waktu tidak lagi lagi linier. Kulihat sekitarku lebih mendalam, aku berdiri di sebuah persimpangan. Persimpangan rindu.
Kutenteng tasku di pundak, kutatap lautan jauh dimana Pulau Jawa bersembunyi dibalik batas pandang. Aku berdoa semoga ombak tak mengamuk kali ini. Aku ingin segera kembali kepelukannya dan menghapus getir rindu dengan manis bibir tipisnya.

Yang Tidak Terceritakan di 28 Februari

Kehidupan dimulai dengan sebuah permulaan. Permulaan itu adalah pertemuan, 28 Februari 2010, pijakan pertama untuk setapak demi setapak merangkai waktu menjadi jalinan kronologi dan cerita-cerita. Kami bertemu di sebuah sore biasa yang cenderung mendung. Dia tinggal di sebuah kompleks perumahan estate yang cukup mewah di Kota Yogyakarta. Rumah dua tingkat seragam berjejer mewah dan elegan, beberapa satpam melirikku ketika aku memasuki kawasan itu. Seolah ingin mengatakan orang asing dilarang iseng-iseng di area ini. Ya, kedatanganku memang hanya keisengan belaka. Menjawab undangan seorang asing yang aku temui di sebuah website yang konon banyak penipu disana. Tetapi aku sudah hampir di rumahnya, aku tak mau mundur. Lagipula aku menyukai “orang asing”, aku menantang diriku dengan misteri, dan aku pecandu kebaruan.

Di depan gerbang gerbang rumah aku berhenti mengambil handphoneku. Kulihat dari luar dia melambai-lambaikan tangannya. Aku gelagapan, dia cukup agresif dengan keterbukaan dan keceriaannya. Aku membalasnya dengan senyum dan salam dalam bahasanya yang kulafalkan dengan artikulasi samar karena gugup.

Aku duduk di ruang tamu sederhana, di sofa hijau gelap dengan pola flora. Kulihat sekelilingku beberapa foto, botol liquor dan lukisan-lukisan yang terlihat dibeli di Perempatan Sagan. Dua gelas teh melesat dan kini berada di atas meja kaca, meja yang menjadi batas antara si tuan rumah dan aku, si tamu. Perbincangan pun dimulai, pelan-pelan aku dengarkan kata-katanya dengan seksama. Kadang aku membalas ngawur karena aku salah menerka omongannya. Dia hanya tersenyum dan maklum. Aku malu kelisutan, tetapi aku mencoba untuk menunjukkan wibawaku sebagai seorang mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM yang telah terkareditas secara internasional. Mungkin dia bisa membaca wajahku yang tegang. Dia menawarkan musik untuk diputar. Aku bertanya apakah dia memiliki lagunya BB King, tetapi dia menawarkan alternatif lain bernama John Farrnham. Seorang musisi legendari dari negaranya. Lagu pop cinta dengan beat yang menyenangkan. Kakiku secara otomotis berjingkat-jingkat mengikuti melodi. Dia melirikku senang.

Musik adalah mantra. Musik memang bukan dirangkai dengan bahasa-bahasa sulit dan tak bisa dicerna seperti mantra kuno. Tetapi musik memiliki kekuatan seperti mantra, menghipnotis, menarik jiwaku kedalam atmosfer absurd imajiner. Ajaibnya, kami jadi bisa berbincang dengan lancar dan rileks. Perbincangan ekonomi, politik hingga religi. Dari perdebatan hingga kelakar tertawa. Inikah chemistry itu? Sebuah tali gaib yang mengikat secara kasatmata.

Dia mampu mencium keingintahuanku yang besar mengenai duniannya. Aku pun dibawanya ke sebuah ruangan di belakang kamar tamu. Disana sehari-hari dia bekerja sebagai seorang konsultan bisnis. Dia memperlihatkan beberapa desain yang dibuat oleh tim nya. Dengan bangga dia berkoar-koar mengenai kejayaan yang dia raih di bisnisnya. Dalam hati aku bertanya-tanya, bagaimana desain murahan seperti itu bisa terjual di pasaran. Mungkin itulah pasar, tempat pembuangan barang murahan yang diproduksi secara masal.

Aku mencoba mengalihkan topik perbincangan. Kumulai dengan bertanya mengenai foto-foto yang terpajang di atas rak teve. Satu per satu dia menjelaskan, memberiku sebuah pintu untuk menelisik kehidupan yang paling private dari dirinya. Hingga dia berhenti pada penjelasan sebuah foto. Seorang bertopi yang sedang merangkul koala. Dia menghela nafas panjang. Akhirnya aku menemukan bahwa dirinya adalah seorang yang terluka karena ditinggal kekasih. Dia adalah tumbal ambisi materialisme bernama uang. Ketika dia sadarsemua sudah terlambat. Dia berusaha untuk menjaga relasinya tetapi si kekasih sudah pergi bersama hasratnya yang lain. Luka itu masih terlihat dari nanar matanya. Bagaimana denganku? Jika dia adalah korban dari seorang kekasih, maka aku adalah korban dari realitas bahwa cinta dan seks bisa menjadi suatu hal yang terpisahkan. Bahwa cinta tidak lagi transenden tetapi imanen. Seks adalah suatu hal yang profan bukan lagi sakral. Walau kami berbeda cerita kehidupan, tetapi kami memiliki kesamaan sebagai orang yang terluka.

Aku memeluknya karena iba, dia membalasku dengan sebuah ciuman.Tidak! mungkin aku yang menciumnya. Ciuman pertamaku dengannya. Setelah itu dia berkata bahwa aku adalah orang yang baik dan menarik. Maka kami pun bercinta di ranjangnya.

Dimanakah banalitas itu? Kutemukan sentuhan-sentuhan yang mengobati luka. Bisikan-bisikan mistis yang membuat bulu kudukku begidik. Kuraba senyumnya dalam remang, kutemukan sebuah kedamaian dan kebahagiaan. Aku menyangka itu hanyalah sebuah kamuflase pada awalnya. Imagologi atas nafsu yang disajikan lebih romantis dan melankolis. Tetapi pemikiranku runtuh ketika dia mencoba mensucikanku dari kotor atas perbuatan hina di pertemuan pertama kami. Kamar mandi ala barat dengan wangi palm oil yang tidak akan pernah kulupakan. Dia membasuhku dengan air hangat, menyeka mukaku dengan tangannya. Katanya ini yang dilakukan orang jepang untuk menghormati partnernya. Aku terperanjat, dia meruntuhkan berbagai pandanganku akan cinta walau tidak sepenuhnya percaya atas creative destruction yang ditawarkannya.
Aku pun pamit untuk pulang. Dia membekali kepergianku dengan ciuman agar selamat dan bisa bertemu. Aku agak risih karena tidak terbiasa. Ketika sampai di rumah, sebuah ikon pesan tertera di layarku.

“Thank you for coming. See You soon. Hugs W”

Kata Banksy “there are second opportunity called tomorrow.” Saat itu aku tahu bahwa hari ini akan berlanjut pada besok. Sebuah kesempatan kedua untukku untuk bertemu dengan cinta. Kesempatan menjadi seorang pecinta setelah terluka. Atau apalah itu.

Monday, 18 July 2016

Dibaliknya Ada Kejujuran



            Kami berdua berjuang melaju ke atas bukit di Pantai Parangtritis. Jalan yang penuh lubang dan curam membuat si ducky, motor vario biru kami, tersengal-sengal menaiki jalanan yang tak biasa ia lalui. Sejujurnya, baru pertama kali ini aku melewati jalanan yang cukup sepi dan rusak ini. Padahal sudah berkali-kali aku pergi ke Pantai Parangtritis namun aku tidak pernah mendengar dan tahu bahwa ada sebuah “tempat rahasia” seperti yang dikatakan oleh Wolfie. Sebuah tempat sempurna untuk menikmati senja katanya.

            Dari belakang aku memeluk Wolfie dan tak begitu memperdulikan imajinasi-imajinasi yang diiming-imingkan olehnya. Buat apa bertanya-tanya akan absurditas sebuah kata. Lebih baik aku menikmati perjalanan ini. Lagipula jarang sekali aku bisa sedekat ini dengannya, apalagi cuma berdua saja. 

            Ducky berhenti di sebuah warung kecil di atas bukit. Seorang Ibu menyapa kami dari dalam warungnya. Sepertinya ibu ini sudah hafal dengan si Wolfie. Ini bukan kejadian pertama, dulu waktu kami ke Pantai Ngobaran. Beberapa penduduk disana juga mengenalnya. Anak ini memang mudah dekat dengan orang, tetapi aku kira dia bisa sedekat ini karena sudah sering bertemu dengan mereka. Pantas anak ini tidak kelar-kelar kuliah, terlalu banyak berpetualang gumamku dalam hati. 

            Setelah mengobrol sejenak dengan Ibu penjaja warung, kami berjalan menaiki jalan setapak di samping warung. Dia terus saja melaju, kakinya dengan kokoh menaiki tangga satu demi satu. Sementara aku yang jarang berolah raga dan tubuh segemuk ini harus mati-matian mengikuti ritmenya. Ingin sekali kuberteriak memintanya untuk memperlambat langkahnya. Atau permintaan yang lebih yaitu menggandeng tanganku. Tempat ini kan lumayan sepi jadi kita tidak perlu malu-malu berpacaran, pikirku. Tetapi,  egoku terlalu kuat. Kubiarkan saja dia melangkah bebas. 

            Perlahan dari atas aku melihat permukaan laut yang biru dengan ombaknya yang tenang. Angin sepoi-sepo menghempas. Ternyata Ombak Parangtritis yang seram itu terlihat tenang dan indah dari atas sini. Seketika semangatku membara. Aku terpacu untuk mendaki lebih cepat ke puncak. 

            Dari puncak dia berdiri menghadap selatan, memandang lautan lepas. Bebas. Dia berbalik memandangku ketika tahu aku sudah berada di puncak. Adegan ini mirip sekali dengan film-film drama romantis. Sayang tak ada backsound musik dan senja belum tiba. Lihatlah matanya yang berbinar cerah. Siapa yang tidak luluh karenanya. Diulungkannya tangannya, membuka dada, memanggil jiwaku yang haus olehnya. Aku pun mendekat. 

            Dia merangkulku mesra. Kami sama-sama memandang lautan berbatas horison. Lapang sekali laut yang menghubungkan Samudra Hindia ini. Kulihat wajahnya yang damai. Kucondongkan kepalaku hendak menciumnya. Membawa suasana menuju klimaks. Tetapi dia menghentikanku, tanpa kata dan hanya dengan senyumannya. Seolah itu mampu menjelaskan segala pemakluman. Aku sedikit kecewa.

            Akhirnya kami duduk berdua saja di pinggir tebing menunggu senja. Kugenggam tangan yang menyangga duduknya. Terlihat geliat risih, namun dia membiarkanku menang kali ini. Matanya masih menatap lautan lepas. Entah apa yang dilihatnya dari luasnya laut. 

            “Sepertinya enak ya kalau punya rumah pinggir pantai.” Katanya.
            “Kenapa?” Tanyaku.
“Tiap hari bisa melihat pemandangan seperti ini. Melihat keseluruhan, meniadakan subyek imparsial.” Paparnya serius.
“Maksudnya?” Aku bingung dengan kata-katanya.
“Melihat bukan hanya ombaknya saja, bukan hanya batas horison. Tetapi keseluruhan sebagai lautan lepas bebas.” Dia tersenyum.

Gila! Orang ini filosofis sekali batinku. Sudah beberapa bulan aku mengenal, bahkan dekat dengannya. Tetapi dia selalu mampu memberikan kejutan yang tak pernah kuduga. Mungkin hal inilah yang membuatku jatuh hati dengannya.

“Menurutmu, apa itu kejujuran?” Dia bertanya.
“Hmm…ketika kita berperilaku dan berbicara dengan sebenar-benarnya.” Jawabku.
“Bagaimana caranya?” Tanyanya.
“Hah?...Kalau kita mau jujur, ya kita bisa jujur.” Jawabku singkat.

Tak ada satu kata pun dia membalas. Terdiam, pandangannya kembali terbebas ke lautan. Perlahan Senja tiba menuruni batas horison. Bulat sempurna, dengan langit jingga merona. Aku menyaksikannya terbenam di lautan. Cahayanya terpendar di permukaan laut yang tenang. Aku tidak pernah menyangka kalau senja bisa seindah ini. Sekarang mataku berkaca-kaca.  

Dari sudut penglihatan, aku tahu Wolfie sedang memandangku. Tak kubalas memandangnya dan terus melihat cahaya senja yang mulai hilang ditelan lautan. Ada sedikit rasa balas dendam walau setitik. Tak kuasangka dia memeluk dan mencium keningku. Tidak seperti biasanya dia memiliki inisiatif untuk mengungkapkan rasa sayangnya. Hatiku berjingkrak riang. Tuhan memberi hal yang terbaik disaat yang terbaik. Jadi inilah pemberian dan waktu terbaik itu.

Kami saling memandang. Tanpa kata dan belaian kasih, hanya saling memandang. Tetapi momen ini lebih intim dari bercumbu mesra di kamar gelap. 

Malam pun tiba. Gelap menyelubungi sekitar, kami segera turun. Sampai di bawah, warung di bawah pun sudah tutup. Wolfie mengajakku pergi ke Pantai Parangtritis. 

I have surprize for you.” Katanya.

 Si Ducky segera membawa kami di Pantai Parangtritis. Dari kejauhan hanya terlihat gelap dan riuh ombak. Pergi ke pantai di malam hari seolah mendatangi maut karena kita tidak tahu secara persis dimanakah ombak itu akan datang. Tak perlu ragu betapa ombak Pantai Parangtritis cukup mematikan. Belum lama aku membaca beberapa wisatawan meninggal karena terseret ombak. Bulu romaku bergidik sekarang. 

Ternyata setelah kami mendekat ke bibir pantai. Ada beberapa penjaja jagung dan wedang ronde disana. Di temani dengan lampu petromak mereka melayani wisatawan yang sengaja datang di malam hari. Kami duduk di gerobak penjual wedang ronde yang berada tepat di bibir pantai. Tak jauh dari batas ombak tergulung habis. 

“Mana surprize nya? Tanyaku.
“Tunggu sebentar lagi. Kira-kira jam 11 malam lah.” Jawabnya.
“Jadi kita mau pulang jam berapa?” Tanyaku lagi.
“Kamu mau pulang ke kota selarut ini? Tanyanya balik.

Sekali lagi dia membuatku terbungkam. Terpaksa aku harus mengikuti rencananya. Entah tidur di hotel, tidur lesehan di pantai atau tak tidur sama sekali. Aku hanya bisa pasrah. 

Malam semakin larut bersama riuh ombak yang mengganas. Dari seramnya lautan aku melihat sisi kontras dari anggunnya bulan purnama sempurna. Bersinar megah diantara ribuan bintang yang memenuhi langit kelam.

Kami terdiam menikmati suasana malam. Wolfie beranjak dan pergi ke dalam gelap. Tak lama dia kembali dan memanggilku. Dia ingin aku mengikutinya. Apakah ini adalah waktu untuk kejutan itu?

Tak jauh dari penjaja wedang ronde, dia mengajakku berpindah ke seorang penjual "kerak telur". Kesan awalku ketika melihat pedagang itu mirip dengan penjual kerak telur. Lihat saja ada beberapa butir telur yang terjejer rapi. Dari kejauhan aku mendengar orang-orang tertawa samar dalam gelap. 

Wolfie menggelar tikar yang disewanya dari penjual "kerak telur" itu. Kami duduk jauh dari terang. Rasa antusias memacu jantungku untuk berdegup kencang. Aku jadi membayangkan hal-hal seronok. Tetapi amankah di tempat seperti ini. Imajinasiku semakin menggila. 

"Ini kejutannya!" Katanya.
"Apa ini?" Tanyaku. Kubuka bungkus makanan yang dia bawa.
"Omelet?" Tanyaku lagi.
"Coba deh makan." Pintanya. 

Kucicipi omelet itu yang sudah diiris sama rata. Rasanya tak jauh berbeda dari omelette. Lalu apa yang menjadi kejutannya? Aku terheran-heran. Ada sedikit rasa kecewa karena kukira ada hal yang lebih spesial dari sekedar omelet.

"Ini bukan sembarang omelette. Namanya magic mushroom." Dia berbisik lirih.

Aku tambah bingung. Dia pun akhirnya ikut makan beberapa iris omelet itu. Lama-lama aku merasa ada efek yang aneh dari makanan itu. Otot pipiku tertarik, memaksaku untuk tertawa. Ada rasa geli yang menggelitik dipikiranku padahal aku sadar tidak ada hal yang lucu sama sekali. Aku sadar, tetapi telah lepas kendali.

Begitu juga dengan Wolfie. Ledakan tawa dan kata-kata makian. Jiwa berontaknya keluar, sementara aku hanya bisa tertawa kecil menimpali tingkah lakunya. Seolah omelet itu mampu mengeluarkan jiwa-jiwa jujur kami. Menghadirkan diri kami yang lain.

Aku merangkul dirinya yang kalap. Menyeretnya hingga terjauh ke pasir. Kami pun sama-sama tertawa. Aku benar-benar terbawa suasana.

"I love you Wolfie." Kataku.
"I love you too Panda." Katanya.

Panda? Hatiku seketika remuk. Aku kira dia akan memanggil namaku. Tetapi justru nama lama itu yang dia ucapkan. Jadi itulah isi hatinya yang paling jujur. Bukan aku, tetapi dia. 

Mentari malu-malu terlihat dari ufuk timur. Aku terbangun dari tidurku. Kulihat Wolfie berdiri di bibir pantai, menanti hancurnya buih-buih ombak. Aku menghampirinya. 

Kami berdua berdiri bersebelahan, memandang lautan. Disaat-saat seperti ini terjadi suatu kebekuan yang tidak pernah kami ketahui sebabnya. Kami yang telah sama-sama bertelanjang diri seharusnya mampu untuk lebih terbuka. Tetapi kenyataannya berbeda. Mungkin ini hal lain.

Aku berharap dia akan memulai pembicaraan. Tapi dia justru bungkam dengan kepala yang tertunduk.