Wednesday, 29 January 2020

MyPangandaran


Memilih Pangandaran adalah pilihan singkat setelah rencana pergi ke Malang dibatalkan. Pergi ke Malang di Bulan Januari (musim hujan) memang bukan waktu yang tepat. Aku beruntung karena seminggu sebelum keberangkatan, dua orang temanku pergi ke Malang dan menceritakan pengalaman buruk mereka. Aku pun segera mencari alternatif lain, suatu tempat yang menyenangkan di musim hujan, pantai!

Pangandaran melesat ke dalam rencanaku mempertimbangkan waktu perjalanan (aku mempertimbangkan waktu perjalanan tidak lebih dari 8 jam dari Jogja) dan biaya yang dibutuhkan. Selain dua pertimbangan tersebut, nama Pangandaran yang telah dikenal luas membuatku penasaran seperti apa kota yang sempat disebut Ridwan Kamil akan dibangun seperti Hawaii itu. Aku sebenarnya berharap Pangandaran tetap menjadi Pangandaran dengan nilai lokalnya. Tetapi Hawaii? Apakah terdengar terlalu ambisius?

Cerita mengenai Legenda Nyi Roro Kidul dan Pangandaran yang menjadi tempat persinggahannya juga menjadi salah satu alasanku memilih kota pantai ini. Aku selalu tertarik dengan budaya apalagi yang memiliki kaitan dengan Budaya Jogja. Sosok Nyi Roro Kidul adalah tokoh sentral dalam beberapa budaya di Jawa. Menelisik asal-usul dan budaya legenda ini bagiku adalah sebuah petualangan.

Transportasi

Harga, Jadwal Estu Trans Pangandaran
Ada beberapa pilihan untuk pergi ke Pangandaran dari Yogyakarta. Hampir semua moda transportasi bisa digunakan, termasuk pesawat! Aku meminta rekomendasi dari seorang teman asli Pangandaran, Mempertimbangkan lokasi tempatku menginap (berada di daerah Karang Tirta), ia menyarankan untuk menggunakan Estu Travel (supir sehandal dan secepat Max verstappen, gila!) dengan biaya 120 ribu rupiah saja. Estu travel bukan seperti travel pada umumnya. Dia tidak bisa menjemput dan mengantar kita sesuai dengan lokasi yang kita inginkan. Aku naik di kantor mereka di Ruko Gamping dan akan turun di Gapura Karang Tirta (perlu berjalan sekitar 1 500 meter ke hotel).

Jarak dari Jogja ke Pangandaran sekitar 250 km. Jarak tersebut ditempuh dalam waktu sekitar 6-7 jam. Pertimbangkan pergi ke tempat ini menggunakan travel jika kamu tidak siap untuk duduk selama itu. Jangan khawatir, Estu Trans akan transit di tengah perjalanan, di daerah Gombong. Kita bisa pergi ke toilet atau makan di restoran transit. Membandingkan makanan di restoran transit dengan makanan lokal yang penuh cita rasa lokal adalah sebuah kesalahan besar. Tetapi jika kita membandingkan dengan makanan dari Jogja, it is other taste!

Itinary
Mencari informasi mengenai wisata di Pangandaran adalah sebuah tantangan. Tidak banyak referensi online yang mencukupi asupan kebutuhanku. Salah satu portal wisata yang cukup diandalkan adalah mypangandaran.com (mereka juga mengembangkan versi mobile app walau belum sempurna). Konten informasi berputar pada pantai dan green canyon. Sebut saja pantai pangandaran yang jadi tempat persinggahan Nyi Roro Kidul, menyusuri aliran sungai di Green Canyon atau berenang di Batu Karas. Aku sudah membayangkan tempat itu akan disesaki banyak orang! Suatu hal yang terlalu lumrah dan membosankan. Aku jadi khawatir tidak bisa banyak menggali pengalaman budaya di sana.

Biasanya aku menggali informasi dari agen tur (mereka menjual paket tur, tapi ingat, mereka adalah orang lokal dan memiliki pengetahuan kelokalan), tetapi ternyata cukup susah menemukan mereka di internet. Temanku mengatakan untuk pergi saja langsung ke sana. Dia bilang, jika beruntung, aku akan bertemu dengan agen tour, tetapi jika tidak maka perjalanan ini adalah petualanganku.

MyPangandaran, My Adventure

Aku tiba di Pangandaran jam 3 sore. Supir Estu Trans kebingungan di mana aku harus turun walau aku sudah menunjukkan google map. Aku seharusnya tidak terlalu mengharapkan dia membaca peta dengan baik (Apalagi ternyata google map memberikan arahan yang salah!). Akhirnya supir bilang lebih baik turun di daerah yang ramai, sekitar 3 km dari homestayku.

Setelah turun aku segera membuka Gojek. Aku membaca gojek belum lama ada di Pangandaran, sekitar 1 tahun. Voila! Tidak ada gojek satu pun yang berada di areaku. Aku coba memaksa gojek untuk mengambil pesananku hingga aku sendiri yang menyerah. Aku bertanya kepada orang lokal. Mereka mengatakan hanya ada angkot, padahal homestayku tidak berada di jalur utama dan aku harus balik ke jalur yang sebelumnya Estu Trans lalui. Taksi belum dipikirkan untuk ada. Becak tidak ada. Ojek lokal tidak ada di tempatku saat itu.

Stress? Tidak! Tidak ada gunanya merutuki keadaan, kita hanyalah tamu. Aku pergi ke Indomaret untuk membeli minuman dingin (Siapa tahu aku dapat pencerahan). Penjaga Indomaret mengenali diriku sebagai backpacker dan aku pun menceritakan masalahku. Penjaga Indomaret menawarkan dirinya untuk mengantarkan kami. Ah, mereka terlalu baik. Petualangan pun dimulai!

Foto bersama teman Indomaret, Toni berdiri di sebelahku


Friday, 17 January 2020

“Laki-Laki di Tengah Feminis”


Sebelum memulai ocehan ini aku ingin mengatakan,”Siapa pula yang ingin menjadi laki-laki?”. Perdebatan gender dalam perpektif esensialis dan non-esensialis belum usai atau bahkan memang tidak pernah akan usai. Namun secara praktik, kebanyakan orang masih melihat gender dalam bingkai dualisme laki-laki dan perempuan, bahkan ketika melihat komunitas LGBTIQ. Ocehan ini adalah pengalaman subyektif penulis sehingga konteks pemikiran ini secara nyata berdasarkan kehidupan si penulis. Bisa jadi pengalaman subyektif ini bisa menjadi representasi sebuah fakta umum, bisa jadi tidak.

Sore ini aku mendapatkan sebuah screenshot dari status seorang aktivis queer. Intinya dia bilang bahwa dia sebel dengan aktivis-aktivis (termasuk lesbian dan gay) yang sok-sokan tahu tentang transpuan feminin, bagaimana orang-orang ini bisa tahu wong mereka bukan transpuan? Yang paling tahu soal transpuan adalah transpuan sendiri.

Perkataan diatas terdengar sangat benar. Siapa yang bisa menyangkal bahwa pengalaman transpuan-lah yang paling bisa menggambarkan situasi mereka sendiri. Namun di dalam konteks gerakan lebih besar, gerakan queer, dimana transpuan tidak berdiri sendiri. Pernyataan tersebut mematikan daya kritis kawan-kawan lain. Menempatkan pengalaman subyektif identitas tertentu juga bisa menyebabkan sesat pikir karena seorang transpuan bisa saja tidak mampu memahami akar masalah karena keterbatasan pengetahuan, informasi dll. Lantas apakah kita masih mau selalu menurut atas pengalaman subyektif seseorang sebagai suatu kebenaran umum? Lalu kenapa harus merasa paling benar jika ruang dialektika selalu terbuka untuk siapapun?

Beranjak dari pengalaman penulis ketika diundang di dalam pertemuan nasional gerakan queer di Jakarta. Dalam diskusi kecil penulis duduk bersama Komnas Perempuan, aktivis lesbian, aktivis dan HIV-AIDS. Waktu itu kami sedang membicarakan rencana program nasional. Kami berangkat dari melihat penindasan yang terjadi di komunitas LGBTIQ. Semua serempak bahwa lesbian, transpuan dan transmen adalah kelompok yang paling tertindas. Penulis bukan bermaksud untuk menyangkal kenyataan tersebut, penulis mencoba untuk menambahkan pandangan bahwa juga terjadi penindasan yang terjadi di komunitas gay atau laki-laki heteroseksual. Penulis mengatakan bahwa saat ini belum ada data yang menggambarkan penindasan yang terjadi di dalam komunitas gay dan laki-laki heteroseksual. Hal itu terjadi karena semua laki-laki dianggap memiliki privelege. Data-data kekerasan didominasi data perempuan yang menggunung saja.

Gay dan laki-laki sangat mungkin mendapatkan kekerasan karena mereka harus mengikuti pola-pola heteronormatif. Apabila laki-laki tidak mampu untuk memenuhi pola tersebut, maka mereka akan dianggap sebagai laki-laki yang gagal. Beberapa laki-laki gay juga akhirnya terpaksa menikah karena tuntutan sosial. Bagi penulis semua itu adalah kekerasan. Namun ternyata usulan penulis tidak mendapatkan tanggapan bahkan diacuhkan. Program yang ditulis memang berbasis gender, tetapi targetnya tentu saja diutamakan untuk perempuan saja.

Penulis merasa bahwa gerakan feminis masih berorientasi pada keperempuanan. Setelah beberapa gelombang gerakan feminis lahir seharusnya muncul pemikiran yang lebih radikal dalam melihat akar masalah. Tidak semua laki-laki memiliki privelese, diantaranya justru menanggung beban sosial yang lebih berat untuk menjadi laki-laki sejati dalam kontruksi masyarakat. Feminis seharusnya mampu melihat bahwa heteronormatif, patriarkhi adalah penindasan senyata-nyatanya dan siapa saja bisa menjadi korban.

Friday, 10 January 2020

What do We Talk About Travelling?


Aku punya kebiasaan bersama teman-temanku ketika akhir pekan tiba. Kami suka pergi ke tempat seduh kopi di kota Jogja untuk menikmati karakteristik seduh kopi yang barista sajikan. Tetapi kami tidak hanya minum kopi saja. Selalu ada obrolan di sela kami menikmati kopi. Travelling adalah salah satu bahasa menarik yang kami bahas.

Hari ini influencer menjadi panutan bagi orang-orang yang ingin melakukan travelling. Mereka kebanyakan bertebaran di intagram dengan foto narsistik mereka di tempat yang intagramable. Aku berpikir bagaimana mereka bisa memiliki konten foto yang betul sedap dipandang mata. Misteri itu terjawab ketika aku melakukan perjalanan ke Banyuwangi beberapa tahun silam. Di akhir perjalanan, aku berpindah dari hotel ke tempat singgah Backpacker Banyuwangi yang dibangun oleh salah satu tetua traveller di sana. Tanpa disangka-sangka, aku bertemu dengan dua orang influencer dari Jogja, yang juga kawan yang aku kenal sudah lama.

Secara kebetulan aku dan mereka cuma punya sisa waktu 1 hari. Aku pun menawarkan untuk pergi bersama karena aku menyewa mobil. Mereka menolak tawaranku karena memiliki perbedaan rencana. Sisa hariku akan kuhabiskan ke alas purwo, sementara mereka akan pergi menggunakan motor untuk berkeliling ke 6 tempat dari Banyuwangi utara hingga selatan. Aku tersentak setelah mendengar itinary mereka. Bagiku hal itu sangat mustahil, namun nyatanya mereka berhasil mengunjungi 6 tempat tersebut dalam 1 hari.

Aku pun iseng berbicara apa yang ada di dalam tas mereka yang sangat besar itu dan apa yang mereka lakukan di tempat-tempat itu. Isi tas yang bejibun itu adalah baju dan aksesoris untuk foto. Mereka bilang, untuk satu tempat mereka hanya menghabiskan sekitar 10 menit saja untuk berfoto. Itu berarti travelling mereka kebanyakan disita oleh waktu perjalanan daripada menikmati tempat-tempat tersebut. Walau demikian aku takjub dengan daya kreatif mereka dalam mengambil foto. Sungguh penipuan maha dasyat!

Balik lagi ke meja di mana kopi telah terseduh dan aku menikmatinya bersama teman-temanku di akhir pekan. What do we talk about travelling? Kami berbicara mengenai pengalaman kami yang subyektif ketika travelling. Pengalaman subyektif yang membekas, tidak hanya foto yang diambil paksa. Selalu ada pertemuan dengan orang baru, menemukan makanan yang sungguh lezat, cerita jenaka kebodohan kami, waktu yang menyenangkan bersama teman-teman. Semua itu tentu saja tidak bisa dilakukan dalam waktu kurang dari 10 menit di satu tempat.

Aku berpikir belum tentu semua influencer memiliki pengalaman menarik dibalik foto-foto mereka. Lalu kenapa melakukan perjalanan? Anyway, memang tidak ada yang salah dari sebuah travelling sejauh mereka tidak meninggalkan dampak negatif kepada tempat yang mereka kunjungi.
Seorang backpacker melakukan perjalanan dengan modal sederhana menjelajahi tempat-tempat yang ingin mereka kunjungi. Biasanya mereka cukup santai dan menikmati waktu perjalanananya. Aku dulu sering backpaking bersama teman-teman dan hal itu menjadi sebuah pengalaman yang tidak terlupakan.

What do I talk about travelling now? Aku sadar bahwa staminaku menjadi kendala untuk melakukan backpacking yang harus menempuh jarak yang panjang. Hari ini aku lebih menyukai menghabiskan waktu di suatu tempat dalam waktu yang cukup lama. Mungkin terdengar membosankan? Bagiku menyelami suatu tempat begitu menyenangkan. Aku jelas menikmati waktuku dengan santai. Bertemu dengan orang-orang dan membangun hubungan baik dengan mereka. Aku memiliki kesempatan untuk mengenal suatu tempat lebih dalam, baik secara geografis dan historis. Hal-hal itulah yang menjadi obrolan hangat aku dan temanku ketika berbicara travelling.

Untuk akomodasi aku jarang sekali tinggal di hotel. Akhir-akhir ini aku menggunakan airbnb.com untuk menemukan beragam hunian yang nyaman dan harga terjangkau. Rencana berikutnya aku akan pergi ke Pangandaran. Aku sudah tak memiliki ingatan lagi tentang tempat itu karena terakhir aku pergi kesana waktu aku masih kecil. Minggu depan aku akan menginap di sebuah tempat yang sangat menyenangkan. Namanya TheBungalow at Paddy Field. Reviewnya sangat bagus sekali. Host rumah tersebut dan kebersihan adalah hal yang paling disoroti. Salah satu yang membuatku tak mungkin tidak memilih ini karena host selalu punya bir dingin di dalam kulkas!