Wednesday, 13 September 2017

Setan di Dalam

Apa yang lebih berbahaya antara malaikat yang nampak seperti setan, ataukah setan yang terlihat seperti malaikat? Laki-laki itu dulunya tenang, tak terusik. Hingga suatu hari ia menemukan sesuatu yang mambangkitkan setan di dalam jiwanya. Siapa yang akan sangka. Laki-laki itu terlihat sangat baik dengan kegiatan filantropisnya. Ia juga sangat menarik dengan pengalaman di atas rata-rata orang seumurannya. Siapa saja mungkin bisa terjebak untuk terpikat dengannya, apalagi mereka telah rela berbincang lebih dari satu jam secara intens.
Laki-laki itu sebenarnya telah mencari sebuah ketenangan dalam dunia asing yang tak mengenal kedekatan. Ia menyendiri dalam sebuah luka dan ingatan dosa-dosa. Sesuatu yang memenjaranya untuk melakukan dosa-dosa itu lagi. Sayang, Tuhan tak rela ia menjadi orang baik. Suatu hari dia bertemu dengan seseorang yang membuat setan itu pelan-pelan meniupi kupingnya. Membangkitkan masa lalu kelam yang memenjarakannyanya selama ini.
Orang yang ditemuinya hari itu adalah anak muda baik-baik. Atau bahkan dia sangat lugu dengan ketidaktahuannya. Lalu semacam bisa dikatakan bodoh berkat rasa keingintahuannya yang polo situ. Dia tidak pernah tahu dunia gelap dan kelam semacam ini. Setan itu mampu melihat celah, lalu dengan dayanya ia mengontrol mulut laki-laki dan berhasillah setan mengambil hati anak muda itu. Anak muda yang baru saja merayakan fase dewasanya, percayalah dia akan suatu keselamatan keselamatan di dalam dunia gelap dan kelam. Sesuatu kesempatan lebih jauh yang akan membuatnya semakin terjerumus, menjadi tumbal setan yang terlelap sekian lama.
Suatu hari mereka bertemu di sebuah mall cukup mewah mewah di Kota Jogja. Bagi anak lugu itu, hal itu sangat jarang baginya. Setan itu selalu tahu kelemahan anak itu, ia juga semakin pandai membuat anak itu terkagum-kagum padanya. Memang itulah caranya setan menjadi lebih kuat. Ia melihat seorang anak tak berdaya, seolah rela menjadi pesakitan (masokhis). Naluri itu membuat laki-laki itu haus, rasa yang selama ini telah lenyap dan kembali lagi. Hanya dengan menatap anak itu dia sudah tahu betapa nikmatnya. Apalagi ketika angin secara sengaja mengirimkan bau keringat anak itu yang telah tercampur oleh pewangi kimia murahan. Basa basi itu membuat laki-laki hampir memakannya mentah-mentah. Tapi setan adalah seorang penasehat yang hebat. Hari itu mereka berakhir. Anak itu pergi dengan sebuah keingintahuan. Laki-laki itu berpisah dengan hasrat yang semakin menggelora. Seperti seorang serigala mempermainkan mangsanya. Dan itulah yang setan inginkan sebenar-benarnya.
Hari-hari berikutnya mereka bertemu kembali. Dengan kekuatannya, setan itu berhasil menahan laki-laki itu untuk memangsa anak itu dan membiarkannya pergi begitu saja. Tanpa sepengatahuan laki-laki, yang telah buta dengan hasratnya. Si anak tak sengaja telah memupuk rasa yang selama ini tak pernah ia rasakan. Hatinya telah jatuh pada sesuatu tanpa sebuah alasan lain kekaguman dan kepercayaan akan penyelamat di dunia yang gelap dan kelam. Lalu anak muda itu akhirnya mencari-cari dan menemukan sebuah definisi atas rasa yang ia alami. Itulah cinta. Terpendam, membayang-bayang setiap saat. Membuat anak muda itu tahu rasa candu.
Tanpa pernah setan duga, laki-laki itu sadar jalan yang sedang ia tempuh. Ia segera berbalik menuju ruang kesendiriannya. Anak muda yang telah terjatuh, tak tahu apa-apa. Dia hanya tahu laki-laki yang dikenalnya tidak pernah menghubunginya. Ia terlalu sibuk dengan dirinya walau hanya untuk sekedar nonton film seperti yang mereka lakukan dulu. Setelah cinta, anak muda itu akhirnya mengenal sebuah rasa sakit. Bukan sakit seperti yang pernah ia derita. Ia tidak nampak. Tidak terlihat. Namun rasanya begitu nyeri di ingatan, ngilu di relung hati. Dan anak muda itu pun menyerah.
Setan merasa tak berdaya. Berkali-kali ia membujuk  laki-laki itu tapi ia tak bergeming. Dia menikmati kesendiriannya di dalam penjara. Tetapi setan bukanlah setan jika ia menyerah. Ia menggunakan kekuatannya yang paling kuat. Kekuatan itu adalah menunggu.
Hari yang ditunggu setan telah tiba. Laki-laki itu kembali membuka aplikasi kencan dan ia menemukan kembali anak muda itu. Awalnya ia berpikir panjang untuk membuka profile anak muda itu. Tapi ia terlanjur mencium hasratnya, bau yang tak terhindarkan. Terkirimlah sebuah pesan dan dibalas dengan terbuka. Setan girang bukan main. Kali ini ia tak lagi ingin berbasa-basi. Ia ingin laki-laki itu menunjukkan wujudnya yang sebenarnya. Wujud dimana setan dan dirinya adalah satu.
Tibalah anak muda itu di rumah laki-laki. Ia sekali lagi terpana dengan suasana rumah yang berbeda dari rumah-rumah lainnya. Berbeda juga dengan rumah keluarganya yang terlalu normal, rumah seorang pegawa negeri dengan gambar Pancasila lengkap dengan presiden dan wakilnya terpajang di ruang tamu. Lalu ada juga kaligrafi arab yang menyesaki ruang tamu dengan warna yang terlalu mencolok dan sebenarnya tidak serasi. Tapi ayahnya bersikeras jika tulisan arab akan mengusir setan dari rumahnya.
Rumah laki-laki itu penuh dengan lukisan, temboknya digambar besar. Seperti galeri seni tetapi perabotan rumah membuat rumah itu tetap berfungsi sebagai rumah. Mereka duduk di sofa hijau di depan televisi besar. Anak itu masih mengenakan jaket. Matanya tak berani memandang laki-laki itu walau mereka sedang dalam perbincangan. Laki-laki itu tak mau menunggu, ia mengalirkan hasratnya. Ia menangkap tangan anak muda itu, dan tahulah ia sebenarnya dibalik jaket itu ia sedang gemetaran. Laki-laki itu bertanya apakah anak muda itu baik-baik saja? Pertanyaan basa-basi agar anak muda itu tak melawan. Dan benar, anak muda itu tak melawan ketika tangannya menangkup di selangkangan laki-laki itu. Tangan anak muda itu gemetar, tapi sebenarnya hal itulah yang ia inginkan selama ini. Menyentuh sesuatu yang sama dengan miliknya, tetapi bukan miliknya. Anak muda itu menutup matanya. Ia justru menemukan imajinasi liarnya. Keras dan panas. Ia pun berakhir di sebuah ranjang.
Serigala tak pernah memangsa dengan mudah. Ia dengan senang hati memainkan mangsanya hingga ia menyerah. Seperti itulah yang laki-laki itu lakukan. Anak muda itu tak tahu lagi ketika tubuhnya penuh sensasi. Rasa yang awalnya ia pertahankan untuk tidak menikmatinya, tapi jebol juga karena kesadarannya lenyap. Laki-laki itu tahu anak muda itu sedang tinggi, dan itulah saatnya. Dengan kekuatannya ia membuat anak muda itu tak berdaya.
Terjadilah apa yang diinginkan setan dan laki-laki itu. Ketika hasrat telah membuncah ia melupakan kemanusiannya. Ia tak mampu mendengar, matanya telah buta. Hanya ada satu hal di dalam pikirannya. Hanya ada kepuasan dirinya di dalam dirinya.
Ritual itu telah selesai setelah benih-benih itu tercecer, di dalam dan di tubuh anak muda itu. Setan sekejap lenyap. Ia pun turut puas. Baru kali ini laki-laki itu tersadar bahwa anak muda itu sedang merintih, menangis.
Laki-laki itu panik. Ia terdiam melihat anak muda itu terkulai lemas. Setan dan dia adalah satu. Ia tersadar bahwa ia sebenarnya tak merasa kasihan atau mengasihi. Ia membuka sebuah kotak di bawa tempat tidurnya. Laki-laki itu masih terampil membuat simpul. Tak lama anak muda itu telah terikat tak berdaya. Anak muda itu ketakutan tetapi tak berdaya melawan.
Laki-laki dan setan adalah satu. Semua bukan suatu kebetulan. Anak muda itu terpilih bukan suatu ketidaksengajaan. Anak muda itu ditakdirkan memainkan perannya. Suatu peran bukan drama, atau bukan sekedar ritual, tetapi bagian  dari puncak spiritual tertinggi. Laki-laki itu memegang kemaluan anak muda itu. Ia tahu ia benar. Keras dan panas. Anak muda itu telah memenuhi takdirnya.

Apakah ada setan atau malaikat?      

Sunday, 10 September 2017

Kepada Laut Yang Lebih Biru

Terik menyengat kulit begitu kaki menginjak tanah gersang berkilau dengan gulma tumbuh berserakan di atas lanskap datar yang seolah tak berujung. Bandara sebesar ini, lebih bagus daripada bandara Kota Jogja. Lebih lengang. Tiba-tiba kau mengatakan sebelumnya kau tidak turun di bandara ini. Pertama kali kau tiba di sebuah bandara yang lebih kecil, buruk, tetapi lebih padat oleh orang. Kata-katamu barusan, rencanamu ini, sebenarnya membuatku khawatir. Kau sedang menapaki sisi masa lalumu, jalan gelap bersama orang lain yang kini kau kenal sebagai musuh walau aku tahu hatimu tak pernah bisa jujur mengakuinya. Tak selugas kata-kata yang kerap keluar dari mulutmu, penuh amarah dan benci.
Satu hal yang selalu aku tidak suka tetapi menikmatinya ketika berada dalam perjalananmu adalah kau selalu memilih jalur paling nyaman di antara berbagai pilihan orang travelling. Tak perlu sebuah pencarian atau panggilan. Seseorang datang dengan sebuah kertas dengan namamu tertera huruf capital, di depannya salutan mister membuatmu semakin kokoh sebagai seorang yang lebih istimewa daripada seorang pribumi sepertiku. Seseorang yang kau pikir sedang bergurau ketika aku mengatakan diriku sebagai seorang proletar yang memimpikan sebuah perjuangan kelas, sementara kau melihat dengan matamu sendiri aku hidup dalam kehidupanmu yang jauh dari kata-kata marjinal itu. Kau sendiri memang tak pernah meyakini ideology yang aku pelajari karena hidupmu begitu sederhana. Sesederhana kehidupan keras di tanah gurun Australia dengan bencana banjir yang pernah menelan kehidupan masa kecilmu. Atau cara hidup di dalam keluarga post man yang selalu mengingatkanmu akan kerja keras. Jiwa yang aku rasakan sebagai seorang partner bisnismu, bukan kekasihmu.
  Kau diam selama perjalanan. Tak mungkin kau menikmati perbincanganku dengan pak supir yang duduk sendirian dengan kemudinya. Kemampuanmu berbahasa tak membiarkan dirimu menikmati candaan dan ketertarikan dengan pulau ini. Lalu aku menelisik matamu, melampaui kaca mata tebal, dan aku melihatmu terlarut dalam perjalanan sepanjang pantai. Perjalanan yang kembali mengingatkanku pada hal yang tak aku suka tentang dia, walau sebenarnya aku sendiri tak pernah bertemu dengannya. Rasa aneh yang menyebalkan.
Kami menjauhi batas pantai, menaiki sebuah bukit bebatuan. Sedikit saja kau tertawa karena mobil terhuyung-huyung berjuang meloncati batu-batu padas. Aku membiarkan dirimu dan melemparkan pandanganku ke jendela mobil. Sayup-sayup aku melihat kembali lautan biru, semakin ke atas semakin jelas. Pulau ini begitu indah dari atas. Pohon-pohon kelapa di antara pohon-pohon lain yang menjulang tak mau kalah tinggi.
Pintu mobil terlanjur terbuka oleh seorang penjaga yang sangat sigap menyambut tamu. Sesuatu yang tak ingin itu terjadi, tapi biarlah. Mereka mengenalmu, menyambutmu, dan mengucapkan terima kasih karena telah kembali lagi di villa mereka. Aku berjalan di belakangmu, seperti seorang asistenmu, atau yang mereka anggap sebagai penerjemahmu dan memang aku sering menerjemahkan keinginanmu yang begitu banyak kepada orang-orang. Kami menaiki tangga menuju villa, lalu turun lagi menuruni tangga, sepertinya mereka telah menguasai seluruh area puncak bukit ini. Tempat paling tepat untuk melihat lautan, atau Kota Mataram dari atas. Kau berhenti sejenak pada sebuah pintu dan tiba-tiba mengatakan apakah dia akan mendapatkan kamar upgrade seperti dulu. Hatiku tiba-tiba berontak. Sayang mulut ini tak sampai untuk mengatakan “Sudahlah! Kau bersamaku saat ini. MOVE ON!”. Aku mengurung amarah yang membuncak dan melarutkan diri pada kemewahan vila ini. Sial!
Pagi harinya, setelah percintaan yang kami lakukan semalam. Dia menyerah duduk di belakangku, pasrah pada sebuah motor matic yang gigih menampung 200 kg berat tubuh kami. Awalnya kami ke Senggigi untuk sarapan. Cafe, resto, bar berderet sepanjang jalan, memunggungi lautan. Tidak susah untuk memilih karena mereka terlhat nampak serupa. Tidak semudah mengatakan bahwa Lombok adalah Bali 20 tahun kebelakang. Menurutku Lombok dan Bali itu berbeda dari berbagai sisi budaya. Setelah memuaskan dirinya, aku memacu motor kami, dan tanpa kami sadari telah membelah Pulau Lombok bolak-balik dalam sehari.
Malamnya dia terkulai dengan AC yang disetel 18 derajat. Ketika aku melihatnya mengisap-isap udara dari tenggorokan. Aku tersadar bahwa aku sudah keterlaluan. Sekali lagi aku menyadari betapa berbeda kehidupan kami. Aku memeluknya agar di segera tenggelam dalam dengkurannya. Sebelum dia tersungkur dalam ketidaksadarannya dia mengatakan bahwa dia tidak pernah melakukan liburan seperti ini kecuali dengan diriku. Hatiku berguncang. Aku tak bisa tidur malam itu.
Lautan itu terpecah oleh kapal lancip dengan kecepatan yang mampu menghambur-hamburkan rambut dan kadang membuat mataku terkena percikan garam lautan. Kami terus melaju hingga Pulau utama tak terlihat. Di depan sana beberapa pulau berjejer. Aku secara awam mengenalnya sebagai Gili, yang ternyata artinya sama dengan Pulau.
Aku menapak kaki pada bibir pantai. Begitu aku melonjak, air membasahi celana. Lalu ia menarikku untuk segera berenang dan meninggalkan kekasihku di pinggir pantai dengan beernya. Aku tak pernah tahu apakah dia sedang melihatku atau laki-laki lain dalam sunglassesnya. Tapi biarlah, dia menikmatinya. Aku menikmati waktu-waktu ini seperti di Karimunjawa. Waktu-waktu ketika kami pertama kali berpisah untuk waktu yang lama.
Dia tiba-tiba beranjak dari tidurnya dan menyusulku. Aku tersenyum dan menyerapahinya dengan “Lazy old man”. Dia diam saja dan tetap berenang mengitariku. Aku lupa apa saja yang kami bincangkan waktu itu. Entah kenapa aku bisa saja lupa. Hal teringat hanya ingatan-ingatan kecil dimana kau terbahak-bahak hingga aku tahu betapa jelek dirimu ketika tertawa.
Aku mengikutimu berjalan menuju pantai. Lalu aku terbaring di sisimu. Tanpa aku sangka kau memegang tanganku di tengah kerumunan itu. Aku gagap dan tak tahu apa yang seharusnya aku lakukan. Aku tidak hanya takut dengan kerumunan itu. Selama ini aku hanya berani menyatakan perasaanku dalam ruang paling intim.
Genggaman itu, semakin kuat, seperti tak memberi celah untukku untuk lepas. Aku tak tahu apa yang sedang kamu pikirkan saat itu. Apakah kau tidak takut untuk didakwa sebagai maniak seks penggemar anak-anak muda? Apakah kau kelak akan melakukan hal seperti ini di depan teman-temanku? Kecamuk itu membadai. Lalu aku membuka mata, horizon langit biru bertemu di ujung lautan yang sama-sama biru walau tak sama. Sejenak aku teringat pernah mengajamu ke bioskop bersama teman-temanku tapi aku mensyaratkan dirimu untuk mencopot satu antingmu. Oh sial! Betapa bodoh diriku.  Aku kembali memejamkan mataku.
Aku membuka mataku hari ini, menyadari dirimu telah pergi. Berkali-kali aku memanggilmu hingga lirih tak lagi tereja. Tidak pada ramai atau sepi. Senang atau sedih. Kau telah mengangkat rantai beban itu dan membebaskan diriku. Perjumpaan yang terlalu singkat. Seperti ingatan-ingatan kita bersama yang tak mampu terekam otak. Menjadi fragmen bisu, tapi tetap berarti bagiku.
Hanya kepada langit dan lautan yang lebih biru. Aku terkadang duduk dan hanya mengingatmu.