Terik
menyengat kulit begitu kaki menginjak tanah gersang berkilau dengan gulma
tumbuh berserakan di atas lanskap datar yang seolah tak berujung. Bandara
sebesar ini, lebih bagus daripada bandara Kota Jogja. Lebih lengang. Tiba-tiba
kau mengatakan sebelumnya kau tidak turun di bandara ini. Pertama kali kau tiba
di sebuah bandara yang lebih kecil, buruk, tetapi lebih padat oleh orang.
Kata-katamu barusan, rencanamu ini, sebenarnya membuatku khawatir. Kau sedang
menapaki sisi masa lalumu, jalan gelap bersama orang lain yang kini kau kenal
sebagai musuh walau aku tahu hatimu tak pernah bisa jujur mengakuinya. Tak
selugas kata-kata yang kerap keluar dari mulutmu, penuh amarah dan benci.
Satu
hal yang selalu aku tidak suka tetapi menikmatinya ketika berada dalam perjalananmu
adalah kau selalu memilih jalur paling nyaman di antara berbagai pilihan orang
travelling. Tak perlu sebuah pencarian atau panggilan. Seseorang datang dengan
sebuah kertas dengan namamu tertera huruf capital, di depannya salutan mister
membuatmu semakin kokoh sebagai seorang yang lebih istimewa daripada seorang
pribumi sepertiku. Seseorang yang kau pikir sedang bergurau ketika aku
mengatakan diriku sebagai seorang proletar yang memimpikan sebuah perjuangan
kelas, sementara kau melihat dengan matamu sendiri aku hidup dalam kehidupanmu
yang jauh dari kata-kata marjinal itu. Kau sendiri memang tak pernah meyakini
ideology yang aku pelajari karena hidupmu begitu sederhana. Sesederhana kehidupan
keras di tanah gurun Australia dengan bencana banjir yang pernah menelan
kehidupan masa kecilmu. Atau cara hidup di dalam keluarga post man yang selalu
mengingatkanmu akan kerja keras. Jiwa yang aku rasakan sebagai seorang partner
bisnismu, bukan kekasihmu.
Kau diam selama perjalanan. Tak mungkin kau
menikmati perbincanganku dengan pak supir yang duduk sendirian dengan
kemudinya. Kemampuanmu berbahasa tak membiarkan dirimu menikmati candaan dan
ketertarikan dengan pulau ini. Lalu aku menelisik matamu, melampaui kaca mata
tebal, dan aku melihatmu terlarut dalam perjalanan sepanjang pantai. Perjalanan
yang kembali mengingatkanku pada hal yang tak aku suka tentang dia, walau
sebenarnya aku sendiri tak pernah bertemu dengannya. Rasa aneh yang
menyebalkan.
Kami
menjauhi batas pantai, menaiki sebuah bukit bebatuan. Sedikit saja kau tertawa
karena mobil terhuyung-huyung berjuang meloncati batu-batu padas. Aku
membiarkan dirimu dan melemparkan pandanganku ke jendela mobil. Sayup-sayup aku
melihat kembali lautan biru, semakin ke atas semakin jelas. Pulau ini begitu
indah dari atas. Pohon-pohon kelapa di antara pohon-pohon lain yang menjulang
tak mau kalah tinggi.
Pintu
mobil terlanjur terbuka oleh seorang penjaga yang sangat sigap menyambut tamu.
Sesuatu yang tak ingin itu terjadi, tapi biarlah. Mereka mengenalmu, menyambutmu,
dan mengucapkan terima kasih karena telah kembali lagi di villa mereka. Aku
berjalan di belakangmu, seperti seorang asistenmu, atau yang mereka anggap
sebagai penerjemahmu dan memang aku sering menerjemahkan keinginanmu yang
begitu banyak kepada orang-orang. Kami menaiki tangga menuju villa, lalu turun
lagi menuruni tangga, sepertinya mereka telah menguasai seluruh area puncak
bukit ini. Tempat paling tepat untuk melihat lautan, atau Kota Mataram dari
atas. Kau berhenti sejenak pada sebuah pintu dan tiba-tiba mengatakan apakah
dia akan mendapatkan kamar upgrade seperti dulu. Hatiku tiba-tiba berontak.
Sayang mulut ini tak sampai untuk mengatakan “Sudahlah! Kau bersamaku saat ini.
MOVE ON!”. Aku mengurung amarah yang membuncak dan melarutkan diri pada
kemewahan vila ini. Sial!
Pagi
harinya, setelah percintaan yang kami lakukan semalam. Dia menyerah duduk di
belakangku, pasrah pada sebuah motor matic yang gigih menampung 200 kg berat
tubuh kami. Awalnya kami ke Senggigi untuk sarapan. Cafe, resto, bar berderet
sepanjang jalan, memunggungi lautan. Tidak susah untuk memilih karena mereka
terlhat nampak serupa. Tidak semudah mengatakan bahwa Lombok adalah Bali 20
tahun kebelakang. Menurutku Lombok dan Bali itu berbeda dari berbagai sisi
budaya. Setelah memuaskan dirinya, aku memacu motor kami, dan tanpa kami sadari
telah membelah Pulau Lombok bolak-balik dalam sehari.
Malamnya
dia terkulai dengan AC yang disetel 18 derajat. Ketika aku melihatnya mengisap-isap
udara dari tenggorokan. Aku tersadar bahwa aku sudah keterlaluan. Sekali lagi
aku menyadari betapa berbeda kehidupan kami. Aku memeluknya agar di segera
tenggelam dalam dengkurannya. Sebelum dia tersungkur dalam ketidaksadarannya
dia mengatakan bahwa dia tidak pernah melakukan liburan seperti ini kecuali
dengan diriku. Hatiku berguncang. Aku tak bisa tidur malam itu.
Lautan
itu terpecah oleh kapal lancip dengan kecepatan yang mampu menghambur-hamburkan
rambut dan kadang membuat mataku terkena percikan garam lautan. Kami terus
melaju hingga Pulau utama tak terlihat. Di depan sana beberapa pulau berjejer. Aku
secara awam mengenalnya sebagai Gili, yang ternyata artinya sama dengan Pulau.
Aku
menapak kaki pada bibir pantai. Begitu aku melonjak, air membasahi celana. Lalu
ia menarikku untuk segera berenang dan meninggalkan kekasihku di pinggir pantai
dengan beernya. Aku tak pernah tahu apakah dia sedang melihatku atau laki-laki
lain dalam sunglassesnya. Tapi biarlah, dia menikmatinya. Aku menikmati
waktu-waktu ini seperti di Karimunjawa. Waktu-waktu ketika kami pertama kali
berpisah untuk waktu yang lama.
Dia
tiba-tiba beranjak dari tidurnya dan menyusulku. Aku tersenyum dan
menyerapahinya dengan “Lazy old man”. Dia diam saja dan tetap berenang mengitariku.
Aku lupa apa saja yang kami bincangkan waktu itu. Entah kenapa aku bisa saja
lupa. Hal teringat hanya ingatan-ingatan kecil dimana kau terbahak-bahak hingga
aku tahu betapa jelek dirimu ketika tertawa.
Aku
mengikutimu berjalan menuju pantai. Lalu aku terbaring di sisimu. Tanpa aku
sangka kau memegang tanganku di tengah kerumunan itu. Aku gagap dan tak tahu
apa yang seharusnya aku lakukan. Aku tidak hanya takut dengan kerumunan itu. Selama
ini aku hanya berani menyatakan perasaanku dalam ruang paling intim.
Genggaman
itu, semakin kuat, seperti tak memberi celah untukku untuk lepas. Aku tak tahu
apa yang sedang kamu pikirkan saat itu. Apakah kau tidak takut untuk didakwa
sebagai maniak seks penggemar anak-anak muda? Apakah kau kelak akan melakukan
hal seperti ini di depan teman-temanku? Kecamuk itu membadai. Lalu aku membuka
mata, horizon langit biru bertemu di ujung lautan yang sama-sama biru walau tak
sama. Sejenak aku teringat pernah mengajamu ke bioskop bersama teman-temanku
tapi aku mensyaratkan dirimu untuk mencopot satu antingmu. Oh sial! Betapa bodoh
diriku. Aku kembali memejamkan mataku.
Aku
membuka mataku hari ini, menyadari dirimu telah pergi. Berkali-kali aku
memanggilmu hingga lirih tak lagi tereja. Tidak pada ramai atau sepi. Senang
atau sedih. Kau telah mengangkat rantai beban itu dan membebaskan diriku. Perjumpaan
yang terlalu singkat. Seperti ingatan-ingatan kita bersama yang tak mampu
terekam otak. Menjadi fragmen bisu, tapi tetap berarti bagiku.
Hanya
kepada langit dan lautan yang lebih biru. Aku terkadang duduk dan hanya
mengingatmu.
No comments:
Post a Comment