Sunday, 10 September 2017

Kepada Laut Yang Lebih Biru

Terik menyengat kulit begitu kaki menginjak tanah gersang berkilau dengan gulma tumbuh berserakan di atas lanskap datar yang seolah tak berujung. Bandara sebesar ini, lebih bagus daripada bandara Kota Jogja. Lebih lengang. Tiba-tiba kau mengatakan sebelumnya kau tidak turun di bandara ini. Pertama kali kau tiba di sebuah bandara yang lebih kecil, buruk, tetapi lebih padat oleh orang. Kata-katamu barusan, rencanamu ini, sebenarnya membuatku khawatir. Kau sedang menapaki sisi masa lalumu, jalan gelap bersama orang lain yang kini kau kenal sebagai musuh walau aku tahu hatimu tak pernah bisa jujur mengakuinya. Tak selugas kata-kata yang kerap keluar dari mulutmu, penuh amarah dan benci.
Satu hal yang selalu aku tidak suka tetapi menikmatinya ketika berada dalam perjalananmu adalah kau selalu memilih jalur paling nyaman di antara berbagai pilihan orang travelling. Tak perlu sebuah pencarian atau panggilan. Seseorang datang dengan sebuah kertas dengan namamu tertera huruf capital, di depannya salutan mister membuatmu semakin kokoh sebagai seorang yang lebih istimewa daripada seorang pribumi sepertiku. Seseorang yang kau pikir sedang bergurau ketika aku mengatakan diriku sebagai seorang proletar yang memimpikan sebuah perjuangan kelas, sementara kau melihat dengan matamu sendiri aku hidup dalam kehidupanmu yang jauh dari kata-kata marjinal itu. Kau sendiri memang tak pernah meyakini ideology yang aku pelajari karena hidupmu begitu sederhana. Sesederhana kehidupan keras di tanah gurun Australia dengan bencana banjir yang pernah menelan kehidupan masa kecilmu. Atau cara hidup di dalam keluarga post man yang selalu mengingatkanmu akan kerja keras. Jiwa yang aku rasakan sebagai seorang partner bisnismu, bukan kekasihmu.
  Kau diam selama perjalanan. Tak mungkin kau menikmati perbincanganku dengan pak supir yang duduk sendirian dengan kemudinya. Kemampuanmu berbahasa tak membiarkan dirimu menikmati candaan dan ketertarikan dengan pulau ini. Lalu aku menelisik matamu, melampaui kaca mata tebal, dan aku melihatmu terlarut dalam perjalanan sepanjang pantai. Perjalanan yang kembali mengingatkanku pada hal yang tak aku suka tentang dia, walau sebenarnya aku sendiri tak pernah bertemu dengannya. Rasa aneh yang menyebalkan.
Kami menjauhi batas pantai, menaiki sebuah bukit bebatuan. Sedikit saja kau tertawa karena mobil terhuyung-huyung berjuang meloncati batu-batu padas. Aku membiarkan dirimu dan melemparkan pandanganku ke jendela mobil. Sayup-sayup aku melihat kembali lautan biru, semakin ke atas semakin jelas. Pulau ini begitu indah dari atas. Pohon-pohon kelapa di antara pohon-pohon lain yang menjulang tak mau kalah tinggi.
Pintu mobil terlanjur terbuka oleh seorang penjaga yang sangat sigap menyambut tamu. Sesuatu yang tak ingin itu terjadi, tapi biarlah. Mereka mengenalmu, menyambutmu, dan mengucapkan terima kasih karena telah kembali lagi di villa mereka. Aku berjalan di belakangmu, seperti seorang asistenmu, atau yang mereka anggap sebagai penerjemahmu dan memang aku sering menerjemahkan keinginanmu yang begitu banyak kepada orang-orang. Kami menaiki tangga menuju villa, lalu turun lagi menuruni tangga, sepertinya mereka telah menguasai seluruh area puncak bukit ini. Tempat paling tepat untuk melihat lautan, atau Kota Mataram dari atas. Kau berhenti sejenak pada sebuah pintu dan tiba-tiba mengatakan apakah dia akan mendapatkan kamar upgrade seperti dulu. Hatiku tiba-tiba berontak. Sayang mulut ini tak sampai untuk mengatakan “Sudahlah! Kau bersamaku saat ini. MOVE ON!”. Aku mengurung amarah yang membuncak dan melarutkan diri pada kemewahan vila ini. Sial!
Pagi harinya, setelah percintaan yang kami lakukan semalam. Dia menyerah duduk di belakangku, pasrah pada sebuah motor matic yang gigih menampung 200 kg berat tubuh kami. Awalnya kami ke Senggigi untuk sarapan. Cafe, resto, bar berderet sepanjang jalan, memunggungi lautan. Tidak susah untuk memilih karena mereka terlhat nampak serupa. Tidak semudah mengatakan bahwa Lombok adalah Bali 20 tahun kebelakang. Menurutku Lombok dan Bali itu berbeda dari berbagai sisi budaya. Setelah memuaskan dirinya, aku memacu motor kami, dan tanpa kami sadari telah membelah Pulau Lombok bolak-balik dalam sehari.
Malamnya dia terkulai dengan AC yang disetel 18 derajat. Ketika aku melihatnya mengisap-isap udara dari tenggorokan. Aku tersadar bahwa aku sudah keterlaluan. Sekali lagi aku menyadari betapa berbeda kehidupan kami. Aku memeluknya agar di segera tenggelam dalam dengkurannya. Sebelum dia tersungkur dalam ketidaksadarannya dia mengatakan bahwa dia tidak pernah melakukan liburan seperti ini kecuali dengan diriku. Hatiku berguncang. Aku tak bisa tidur malam itu.
Lautan itu terpecah oleh kapal lancip dengan kecepatan yang mampu menghambur-hamburkan rambut dan kadang membuat mataku terkena percikan garam lautan. Kami terus melaju hingga Pulau utama tak terlihat. Di depan sana beberapa pulau berjejer. Aku secara awam mengenalnya sebagai Gili, yang ternyata artinya sama dengan Pulau.
Aku menapak kaki pada bibir pantai. Begitu aku melonjak, air membasahi celana. Lalu ia menarikku untuk segera berenang dan meninggalkan kekasihku di pinggir pantai dengan beernya. Aku tak pernah tahu apakah dia sedang melihatku atau laki-laki lain dalam sunglassesnya. Tapi biarlah, dia menikmatinya. Aku menikmati waktu-waktu ini seperti di Karimunjawa. Waktu-waktu ketika kami pertama kali berpisah untuk waktu yang lama.
Dia tiba-tiba beranjak dari tidurnya dan menyusulku. Aku tersenyum dan menyerapahinya dengan “Lazy old man”. Dia diam saja dan tetap berenang mengitariku. Aku lupa apa saja yang kami bincangkan waktu itu. Entah kenapa aku bisa saja lupa. Hal teringat hanya ingatan-ingatan kecil dimana kau terbahak-bahak hingga aku tahu betapa jelek dirimu ketika tertawa.
Aku mengikutimu berjalan menuju pantai. Lalu aku terbaring di sisimu. Tanpa aku sangka kau memegang tanganku di tengah kerumunan itu. Aku gagap dan tak tahu apa yang seharusnya aku lakukan. Aku tidak hanya takut dengan kerumunan itu. Selama ini aku hanya berani menyatakan perasaanku dalam ruang paling intim.
Genggaman itu, semakin kuat, seperti tak memberi celah untukku untuk lepas. Aku tak tahu apa yang sedang kamu pikirkan saat itu. Apakah kau tidak takut untuk didakwa sebagai maniak seks penggemar anak-anak muda? Apakah kau kelak akan melakukan hal seperti ini di depan teman-temanku? Kecamuk itu membadai. Lalu aku membuka mata, horizon langit biru bertemu di ujung lautan yang sama-sama biru walau tak sama. Sejenak aku teringat pernah mengajamu ke bioskop bersama teman-temanku tapi aku mensyaratkan dirimu untuk mencopot satu antingmu. Oh sial! Betapa bodoh diriku.  Aku kembali memejamkan mataku.
Aku membuka mataku hari ini, menyadari dirimu telah pergi. Berkali-kali aku memanggilmu hingga lirih tak lagi tereja. Tidak pada ramai atau sepi. Senang atau sedih. Kau telah mengangkat rantai beban itu dan membebaskan diriku. Perjumpaan yang terlalu singkat. Seperti ingatan-ingatan kita bersama yang tak mampu terekam otak. Menjadi fragmen bisu, tapi tetap berarti bagiku.
Hanya kepada langit dan lautan yang lebih biru. Aku terkadang duduk dan hanya mengingatmu.

No comments:

Post a Comment